Mengapa RUU Perampasan Aset Mandek di DPR? Puan Maharani Ungkap Alasan Krusial, Demi Hukum atau Kepentingan?

Mengapa RUU Perampasan Aset Mandek di DPR? Puan Maharani Ungkap Alasan Krusial, Demi Hukum atau Kepentingan?

Ketua DPR RI Puan Maharani menjelaskan alasan lambannya pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Dalam pusaran isu pemberantasan korupsi yang tak kunjung padam, satu rancangan undang-undang (RUU) vital terus menjadi sorotan sekaligus pertanyaan besar publik: RUU Perampasan Aset. Betapa tidak, RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh untuk memiskinkan koruptor dan mengembalikan kerugian negara ini sudah lama dinantikan, namun tak kunjung menemukan titik terang pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kegelisahan publik semakin memuncak, menciptakan narasi pertanyaan kritis: apakah DPR benar-benar berkomitmen?

Di tengah riuhnya spekulasi dan desakan, Ketua DPR RI, Puan Maharani, akhirnya buka suara. Penjelasannya memberikan gambaran tentang kompleksitas di balik "mandeknya" RUU Perampasan Aset ini. Bukan sekadar masalah waktu, melainkan melibatkan aspek fundamental hukum dan legislasi yang memerlukan kehati-hatian ekstra. Mari kita selami lebih dalam alasan-alasan yang dikemukakan Puan, dan menakar apakah penundaan ini memang demi kepentingan hukum yang lebih besar atau justru menyembunyikan dinamika politik yang belum terungkap.

RUU Perampasan Aset: Harapan Baru untuk Keadilan dan Pengembalian Kerugian Negara

Sebelum menyelami argumentasi Puan Maharani, penting untuk memahami mengapa RUU Perampasan Aset begitu krusial bagi Indonesia. Selama ini, upaya pemberantasan korupsi kerap terganjal oleh sulitnya pengembalian aset hasil kejahatan. Banyak koruptor yang, meski telah divonis dan mendekam di penjara, masih bisa menikmati hasil kejahatannya karena aset-aset mereka sulit dilacak atau disita secara hukum yang berlaku saat ini. Sistem hukum kita, terutama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), cenderung berfokus pada pembuktian kesalahan pelaku, bukan pada asal-usul kekayaan yang mencurigakan.

RUU Perampasan Aset hadir sebagai angin segar. Konsep utamanya adalah memungkinkan negara untuk merampas aset yang diduga kuat berasal dari tindak pidana, bahkan jika pelaku belum divonis bersalah atau telah meninggal dunia. Ini adalah langkah maju yang signifikan, karena membalikkan beban pembuktian dan memberikan landasan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum untuk memulihkan aset negara yang telah dijarah. Potensi dampak positifnya tak main-main: kerugian negara bisa pulih, efek jera bagi calon koruptor semakin kuat, dan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan bisa terwujud. Inilah mengapa publik, dan juga pemerintah, begitu mendesak agar RUU ini segera disahkan.

Puan Maharani Membuka Tabir: Alasan di Balik Kehati-hatian DPR

Puan Maharani menegaskan bahwa DPR bukannya tidak mau membahas RUU ini. Justru, kehati-hatian adalah kunci. Ia mengungkapkan beberapa alasan mendasar mengapa pembahasan RUU Perampasan Aset memerlukan waktu dan pertimbangan yang lebih mendalam:

1. Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum: Membangun Fondasi yang Kokoh
Ini adalah alasan utama yang dikemukakan Puan. RUU Perampasan Aset tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus selaras dan tidak bertentangan dengan undang-undang lain yang sudah ada, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru.

Bayangkan jika RUU ini disahkan tanpa harmonisasi yang matang. Bisa jadi, ada pasal-pasal yang tumpang tindih, saling bertentangan, atau bahkan menciptakan celah hukum baru yang justru bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Alih-alih memperkuat pemberantasan korupsi, kita malah akan berhadapan dengan kekacauan hukum di kemudian hari. Harmonisasi ini penting untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari "adu pasal" di pengadilan, yang pada akhirnya hanya akan memperlambat proses penegakan hukum.

2. Mencegah Celah Hukum dan Tantangan Konstitusi di Masa Depan
Puan juga menyoroti pentingnya menyusun RUU ini secara teliti untuk mencegah munculnya celah hukum yang bisa menjadi bumerang. Sebuah undang-undang yang terburu-buru dan tidak komprehensif berpotensi besar untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji materi (judicial review). Jika hal ini terjadi, bukan hanya waktu dan energi yang terbuang percuma, tetapi juga semangat pemberantasan korupsi bisa kembali melemah karena ketidakpastian hukum.

Pembahasan mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa RUU ini tidak hanya efektif dalam merampas aset, tetapi juga menjamin hak asasi manusia dan prinsip-prinsip due process of law. Membangun sebuah fondasi hukum yang kuat berarti memastikan bahwa undang-undang tersebut memiliki legitimasi konstitusional yang tak tergoyahkan, sehingga mampu bertahan dari berbagai gempuran hukum di masa mendatang.

3. Kompleksitas Substansi yang Membutuhkan Diskusi Mendalam
RUU Perampasan Aset bukan sekadar regulasi sederhana. Ia menyentuh inti dari sistem peradilan pidana dan hak kepemilikan. Banyak isu kompleks yang harus diuraikan, seperti:
* Definisi Aset: Apa saja yang termasuk aset hasil tindak pidana? Bagaimana dengan aset yang sudah berpindah tangan berkali-kali?
* Mekanisme Pembuktian: Bagaimana membuktikan aset tersebut berasal dari kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana? Siapa yang memiliki beban pembuktian?
* Perlindungan Hak Pihak Ketiga: Bagaimana melindungi hak pihak ketiga yang mungkin tidak bersalah namun asetnya terkait dengan tindak pidana?
* Wewenang Lembaga: Lembaga mana yang akan berwenang melakukan perampasan aset (kejaksaan, kepolisian, KPK, atau badan khusus)? Bagaimana koordinasi antarlembaga?

Semua pertanyaan ini membutuhkan diskusi multi-perspektif dari berbagai ahli hukum, akademisi, praktisi, dan juga perwakilan masyarakat sipil. Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsensus yang baik tentu tidak sebentar.

Apakah Ini Penundaan yang Beralasan atau Menghambat Keadilan?

Argumentasi Puan Maharani tentu memiliki validitas hukumnya. Namun, di sisi lain, desakan publik juga sangat kuat. Ada kekhawatiran bahwa terlalu banyak kehati-hatian bisa berujung pada penundaan yang tidak perlu, atau bahkan menjadi taktik untuk mengulur waktu. Apalagi, RUU ini sudah menjadi prioritas sejak lama dan sudah melewati berbagai tahap pembahasan di tingkat pemerintah.

Tensi antara urgensi dan kehati-hatian ini menjadi krusial. Masyarakat bertanya, apakah DPR benar-benar sedang bekerja keras untuk merampungkan harmonisasi ini, ataukah ada faktor-faktor non-teknis lainnya yang turut memengaruhi laju pembahasan? Transparansi dari DPR menjadi sangat penting untuk menjawab keraguan ini. Publik perlu diinformasikan secara berkala mengenai progres harmonisasi dan target waktu yang jelas.

Masa Depan RUU Perampasan Aset: Menanti Kepastian dan Komitmen Politik

Penjelasan Puan Maharani memang memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai tantangan legislasi RUU Perampasan Aset. Ini bukan sekadar persoalan "mau atau tidak mau," melainkan juga tentang bagaimana memastikan sebuah undang-undang yang lahir benar-benar efektif, kuat secara hukum, dan tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Namun, ini tidak berarti bahwa prosesnya harus berlarut-larut tanpa batas.

Komitmen politik dari seluruh fraksi di DPR, bersama dengan pemerintah, adalah kunci untuk mempercepat pembahasan. Dengan keseriusan dan niat baik untuk memberantas korupsi, jalan keluar dari kebuntuan harmonisasi pasti bisa ditemukan. Publik berharap agar DPR dapat segera menyelesaikan "pekerjaan rumah" harmonisasi ini dan membawa RUU Perampasan Aset ke meja pembahasan paripurna. Hanya dengan begitu, harapan akan keadilan dan pengembalian aset negara dapat benar-benar terwujud, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dapat kembali bangkit.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah argumen DPR tentang kehati-hatian ini bisa diterima sepenuhnya, ataukah ada desakan yang lebih mendalam untuk segera mengesahkan RUU yang sudah lama dinantikan ini? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah ini dan mari kita diskusikan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.