Drama Tak Berujung Keraton Surakarta: Mengapa Jokowi Tegas Menolak Intervensi?

Drama Tak Berujung Keraton Surakarta: Mengapa Jokowi Tegas Menolak Intervensi?

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa urusan suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat adalah "urusan internal" keluarga keraton dan pemerintah tidak akan mengintervensi.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Drama Tak Berujung Keraton Surakarta: Mengapa Jokowi Tegas Menolak Intervensi?



Keraton Surakarta Hadiningrat, simbol kemegahan dan warisan budaya Jawa yang tak ternilai, kini kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena perayaan adat yang megah, melainkan karena gejolak internal yang tak kunjung padam. Perseteruan suksesi yang telah berlangsung selama puluhan tahun di antara para pewaris tahta seolah menjadi drama epik tanpa akhir. Di tengah pusaran konflik yang kerap mencuat ke permukaan, sebuah pernyataan tegas dari orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo, baru-baru ini menyita perhatian. "Itu urusan internal," ujar Jokowi lugas, menanggapi isu suksesi Keraton Surakarta. Pernyataan ini bukan sekadar tanggapan biasa, melainkan sebuah penegasan sikap negara yang memiliki implikasi mendalam. Mari kita selami lebih jauh makna di balik sikap presiden ini, latar belakang konflik Keraton, dan apa dampaknya bagi masa depan institusi budaya yang begitu dihormati ini.

Latar Belakang Konflik Keraton Surakarta: Sebuah Drama Tak Berujung


Konflik di dalam Keraton Surakarta bukanlah fenomena baru. Akar perseteruan ini dapat ditelusuri kembali ke masa wafatnya Raja Pakubuwono XII pada tahun 2004. Kepergian beliau meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang memicu perebutan hak atas tahta di antara para putra-putrinya. Secara garis besar, konflik ini melibatkan dua kubu utama yang saling mengklaim sebagai pewaris sah dan memegang kendali atas Keraton: Kubu Sinuwun PB XIII Hangabehi (yang kini bergelar Pakubuwono XIII) dan Kubu Adipati Anom Tedjowulan (yang kini bergelar KGPAA Mangkunegara XIII).

Meskipun pada tahun 2012 sempat terjadi upaya rekonsiliasi yang dimediasi oleh pemerintah dan tokoh masyarakat, yang menghasilkan kesepakatan dwitunggal (kepemimpinan ganda), gejolak internal tetap saja kerap muncul. Berbagai sengketa mengenai pengelolaan aset, hak-hak adat, hingga wewenang dalam ritual keraton terus menjadi bara dalam sekam. Publik seringkali disuguhi berita tentang penguncian gerbang keraton, laporan polisi, hingga drama saling klaim di media massa. Situasi ini tentu saja menyayat hati banyak pihak, terutama para pecinta dan pelestari budaya Jawa yang berharap Keraton Surakarta dapat berfungsi sebagai pusat kebudayaan yang kokoh dan harmonis.

Keraton Surakarta, lebih dari sekadar bangunan fisik, adalah simbol peradaban Jawa, sumber nilai-nilai luhur, dan penjaga tradisi. Keberlangsungan serta keharmonisan Keraton memiliki resonansi kuat terhadap identitas dan kebanggaan masyarakat Jawa, khususnya Solo. Oleh karena itu, setiap perkembangan di dalamnya selalu menarik perhatian, tidak hanya dari warga lokal tetapi juga dari skala nasional.

Pernyataan Tegas Presiden Jokowi: "Itu Urusan Internal!"


Pernyataan Presiden Jokowi yang menegaskan bahwa urusan suksesi Keraton Surakarta adalah "urusan internal" keluarga keraton, bukan untuk diintervensi oleh pemerintah, adalah sebuah sikap yang jelas dan tegas. Pernyataan ini disampaikan Jokowi di tengah desakan publik dan media untuk pemerintah mengambil peran lebih aktif dalam menyelesaikan konflik yang berlarut-larut tersebut.

Presiden, yang notabene adalah putra Solo dan memiliki kedekatan emosional serta historis dengan kota tempat Keraton ini berdiri, memilih jalur non-intervensi. Ini bukan berarti pemerintah abai. Justru, sikap ini menunjukkan penghormatan terhadap otonomi dan kedaulatan internal lembaga adat dan budaya. Jokowi menegaskan bahwa pemerintah tidak akan ikut campur dalam polemik perebutan tahta atau pengelolaan internal Keraton.

Makna di Balik Sikap Presiden


Sikap non-intervensi Jokowi ini dapat diartikan dalam beberapa konteks penting:

  1. Penghormatan terhadap Adat dan Tradisi: Pemerintah menghargai mekanisme penyelesaian masalah secara adat dan internal keluarga kerajaan. Ini adalah pengakuan atas eksistensi dan otoritas lembaga tradisional dalam mengatur rumah tangganya sendiri.

  2. Menghindari Konflik Kepentingan: Dengan tidak memihak salah satu kubu, pemerintah menjaga netralitas dan menghindari terjebak dalam pusaran konflik yang rumit dan berpotensi menimbulkan preseden buruk. Intervensi negara dalam urusan internal keraton bisa saja dilihat sebagai bentuk campur tangan berlebihan atau bahkan politisasi warisan budaya.

  3. Mendorong Kemandirian Keraton: Sikap ini secara tidak langsung mendorong para pihak yang berkonflik untuk mencari solusi secara mandiri, dewasa, dan musyawarah mufakat di antara mereka sendiri. Ini adalah tantangan bagi keluarga keraton untuk menunjukkan kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah internal tanpa campur tangan pihak luar.

  4. Konsistensi Kebijakan: Sikap ini juga mencerminkan konsistensi pemerintah dalam memosisikan diri sebagai fasilitator atau pengawas dalam batas-batas tertentu, bukan sebagai pemutus perkara dalam sengketa internal lembaga adat.



Sebelumnya, Presiden Jokowi memang pernah beberapa kali bertemu dengan perwakilan dari kedua belah pihak yang berseteru. Pertemuan-pertemuan tersebut lebih bersifat dialogis dan mediasi ringan, bukan intervensi untuk memaksakan sebuah solusi. Hal ini menegaskan bahwa peran pemerintah adalah sebatas memfasilitasi komunikasi, bukan mendikte hasil akhir.

Reaksi dan Dampak: Apa Selanjutnya bagi Keraton Surakarta?


Pernyataan tegas Presiden Jokowi tentu akan memicu beragam reaksi. Bagi sebagian pihak, ini mungkin dianggap sebagai sebuah "tangan lepas" yang bisa memperpanjang konflik. Namun, bagi yang lain, ini adalah kesempatan bagi Keraton Surakarta untuk membuktikan bahwa mereka mampu menyelesaikan masalah internalnya sendiri, sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Dampak langsung dari pernyataan ini adalah bahwa bola panas kini sepenuhnya berada di tangan keluarga Keraton Surakarta. Mereka harus menemukan jalan keluar dari perseteruan yang tak berujung ini, tanpa bisa lagi berharap pada intervensi pemerintah yang bersifat memihak. Ini adalah ujian bagi keutuhan dan kematangan keluarga besar Keraton dalam menjaga marwah dan kelangsungan lembaga adat.

Penting bagi para pihak untuk kembali ke meja perundingan, melibatkan para sesepuh, cendekiawan adat, dan tokoh masyarakat Solo yang netral untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Tujuan akhirnya bukan hanya meredakan konflik sesaat, tetapi juga membangun kembali kepercayaan, soliditas internal, dan memastikan fungsi Keraton sebagai pusat pelestarian budaya dapat berjalan optimal.

Refleksi Lebih Luas: Negara dan Warisan Budaya


Kasus Keraton Surakarta ini membuka refleksi lebih luas tentang bagaimana sebuah negara modern dan demokratis harus berinteraksi dengan warisan budaya dan lembaga tradisional. Di satu sisi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi budaya bangsa. Di sisi lain, ada batasan yang jelas dalam campur tangan terhadap urusan internal lembaga adat yang memiliki otonomi dan mekanisme penyelesaian masalahnya sendiri.

Pemerintah dapat dan harus terus memberikan dukungan dalam bentuk fasilitasi pelestarian fisik bangunan, anggaran untuk kegiatan budaya, serta promosi nilai-nilai Keraton. Namun, dalam urusan suksesi dan tata kelola internal, keputusan ada di tangan para pemangku adat. Keseimbangan antara dukungan negara dan otonomi lembaga budaya adalah kunci untuk memastikan warisan ini tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.

Sikap Jokowi ini juga menunjukkan kedewasaan politik dalam memandang institusi tradisional. Pemerintah tidak ingin terjebak dalam intrik internal yang bisa menguras energi dan sumber daya, serta berisiko mencederai independensi lembaga budaya. Ini adalah pelajaran penting bagi semua pihak: warisan budaya adalah milik bersama, namun pengelolaannya membutuhkan kearifan dan tanggung jawab dari internal lembaga itu sendiri.

Masa Depan Keraton Surakarta: Di Tangan Para Pewaris


Pernyataan Presiden Jokowi ibarat pukulan palu yang menegaskan posisi pemerintah. Ini bukan akhir, melainkan awal dari fase baru bagi Keraton Surakarta. Masa depan Keraton, sebagai penjaga tradisi dan pusat budaya Jawa, kini sepenuhnya bergantung pada kematangan dan kebijaksanaan para pewarisnya. Apakah mereka akan mampu merangkul perbedaan, mengesampingkan ego pribadi demi kepentingan luhur Keraton, dan menemukan solusi damai yang telah lama dinanti? Atau akankah drama internal ini terus berlanjut, perlahan mengikis marwah dan relevansi sebuah institusi yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa?

Mari kita berharap bahwa pernyataan Presiden ini akan menjadi katalisator bagi keluarga besar Keraton Surakarta untuk berbenah diri, bersatu, dan kembali menempatkan kepentingan pelestarian warisan budaya di atas segalanya. Publik, dan khususnya masyarakat Solo, menantikan berakhirnya drama ini dengan solusi yang bermartabat dan memulihkan kembali wibawa Keraton Surakarta Hadiningrat. Apa pandangan Anda tentang sikap Presiden Jokowi ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.