Tes Kemampuan Akademik Guru: Mengulang Trauma UN atau Membangun Kualitas Pendidikan Indonesia?
Koalisi Guru menyuarakan kekhawatiran mendalam terhadap rencana tes kemampuan akademik dalam seleksi guru ASN PPPK, karena dinilai berpotensi mengulang trauma Ujian Nasional (UN).
Tes Kemampuan Akademik Guru: Mengulang Trauma UN atau Membangun Kualitas Pendidikan Indonesia?
Dunia pendidikan di Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas guru melalui sistem seleksi yang ketat. Di sisi lain, Koalisi Guru menyuarakan kekhawatiran serius bahwa pendekatan yang terlalu berfokus pada tes kemampuan akademik akan mengulang "trauma Ujian Nasional (UN)" yang pernah dirasakan oleh jutaan siswa dan guru di masa lalu. Isu ini bukan sekadar tentang metode evaluasi, melainkan menyangkut masa depan guru, kualitas pendidikan, dan psikologi kolektif para pendidik di tanah air.
Mengingat Kembali Trauma Ujian Nasional
Ujian Nasional, sebuah momok yang selama puluhan tahun menghantui siswa dan guru, akhirnya dihapuskan. Keputusannya diambil bukan tanpa alasan. UN dinilai terlalu fokus pada aspek kognitif, mengabaikan potensi lain siswa, serta menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Guru terpaksa "mengajar untuk ujian" demi mencapai target kelulusan, bukan untuk mengembangkan kreativitas dan pemahaman mendalam siswa. Stres, kecurangan, dan ketidakadilan menjadi cerita lumrah yang mengiringi pelaksanaan UN.
Kini, Koalisi Guru melihat bayang-bayang trauma itu kembali menghantui dalam bentuk tes kemampuan akademik untuk seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kekhawatiran mereka beralasan: apakah sistem seleksi yang berlebihan pada satu aspek akan kembali menciptakan efek samping negatif yang merugikan ekosistem pendidikan secara keseluruhan?
Kompetensi Guru: Bukan Sekadar Angka di Lembar Jawaban
Profesi guru adalah profesi multi-dimensi. Seorang guru yang hebat tidak hanya menguasai materi pelajaran (kompetensi akademik), tetapi juga mampu mentransfer ilmu tersebut dengan efektif (kompetensi pedagogik), membangun hubungan positif dengan siswa dan orang tua (kompetensi sosial), serta terus mengembangkan diri secara profesional (kompetensi profesional). Menilai seorang guru hanya dari skor tes akademik ibarat mencoba mengukur kedalaman samudra dengan penggaris.
Bahaya Penyempitan Definisi Kualitas Guru
Ketika seleksi guru hanya didasarkan pada tes kemampuan akademik, ada beberapa risiko besar yang mungkin muncul:
1. Mengabaikan Guru Berpengalaman: Banyak guru senior yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan mungkin tidak unggul dalam tes berbasis teori semata, namun memiliki kekayaan pengalaman pedagogik dan sosial yang tak ternilai. Membiarkan mereka tersisih adalah kerugian besar bagi dunia pendidikan.
2. Mencetak Guru "Robot": Fokus pada akademik bisa mendorong calon guru untuk sekadar menghafal dan menguasai teori, tanpa dibekali kemampuan praktis di kelas. Padahal, tantangan nyata di lapangan membutuhkan keterampilan manajemen kelas, empati, dan kemampuan adaptasi yang tinggi.
3. Kesenjangan Kualitas Regional: Daerah-daerah terpencil yang mungkin memiliki tantangan akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas bisa semakin kesulitan mendapatkan guru yang "lulus standar" akademik, padahal guru-guru lokal di sana mungkin justru memiliki pemahaman terbaik tentang konteks dan kebutuhan siswa mereka.
4. Stres dan Demotivasi: Sama seperti UN, tes berulang yang bersifat "penentu nasib" ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan dan demotivasi bagi para guru, yang seharusnya fokus pada inovasi dan pengembangan diri.
Mengapa Tes Akademik Tetap Diperlukan?
Tentu saja, tidak bisa dimungkiri bahwa kompetensi akademik adalah fondasi penting bagi seorang guru. Bagaimana seorang guru bisa mengajar biologi jika ia sendiri tidak menguasai dasarnya? Tujuan pemerintah untuk memastikan guru memiliki penguasaan materi yang kuat adalah langkah yang tepat. Namun, kekhawatiran Koalisi Guru terletak pada *proporsi* dan *pendekatan* tes tersebut. Apakah tes akademik menjadi satu-satunya atau penentu utama kelulusan?
Menuju Seleksi Guru yang Holistik dan Berkeadilan
Lalu, bagaimana seharusnya seleksi guru dilakukan agar menghasilkan pendidik berkualitas tanpa mengulang trauma masa lalu? Solusinya terletak pada pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif.
Membangun Sistem Evaluasi Multi-Aspek
Beberapa negara maju telah menerapkan sistem evaluasi guru yang melibatkan berbagai aspek, seperti:
* Portofolio Pengajaran: Calon guru menyertakan bukti-bukti pengajaran, seperti rencana pembelajaran, hasil karya siswa, dan video mengajar. Ini mencerminkan kemampuan pedagogik dan kreativitas mereka.
* Wawancara Terstruktur: Untuk mengukur kompetensi sosial, komunikasi, dan komitmen terhadap profesi.
* Simulasi Mengajar (Micro-Teaching): Calon guru diminta mengajar di depan penguji atau panel ahli untuk menilai kemampuan mereka mengelola kelas dan berinteraksi dengan siswa.
* Penilaian Kinerja Lapangan: Bagi guru honorer atau yang sudah mengajar, penilaian bisa melibatkan observasi langsung di kelas oleh kepala sekolah atau pengawas.
* Tes Psikologi: Untuk mengukur aspek kepribadian dan potensi kemampuan beradaptasi.
Kombinasi metode ini dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang potensi seorang guru, bukan sekadar kemampuan mereka dalam mengerjakan soal pilihan ganda.
Ajakan untuk Berdialog dan Berkolaborasi
Isu seleksi guru ini adalah tanggung jawab kita bersama. Pemerintah, organisasi guru, praktisi pendidikan, hingga masyarakat luas perlu duduk bersama, berdialog, dan mencari solusi terbaik. Jangan biarkan upaya peningkatan kualitas pendidikan justru menciptakan masalah baru dan mengulang trauma lama.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Guru adalah garda terdepan dari investasi tersebut. Memilih guru bukan hanya tentang mencari yang tercerdas di atas kertas, melainkan mencari individu yang paling mampu menginspirasi, membimbing, dan membentuk generasi penerus bangsa dengan hati dan pikiran. Mari pastikan sistem seleksi guru kita mencerminkan nilai-nilai luhur pendidikan, bukan sekadar deretan angka.
Apa pendapat Anda tentang tes kemampuan akademik untuk guru ini? Apakah Anda setuju dengan kekhawatiran Koalisi Guru, atau Anda melihatnya sebagai langkah mutlak untuk kemajuan pendidikan? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar dan mari kita diskusikan!
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.