Projo Mengubah Logo: Langkah Strategis Melawan "Kultus Individu" dan Membangun Identitas Baru

Projo Mengubah Logo: Langkah Strategis Melawan "Kultus Individu" dan Membangun Identitas Baru

Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo, berencana mengubah logo organisasi tersebut untuk menghilangkan kesan "kultus individu" terhadap Joko Widodo.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Perubahan adalah keniscayaan, bahkan dalam ranah politik yang seringkali dikenal kaku dan penuh tradisi. Baru-baru ini, sebuah wacana menarik muncul dari salah satu organisasi relawan terbesar yang pernah ada di Indonesia, Projo (Pro Jokowi). Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, mengumumkan rencana untuk mengubah logo organisasi tersebut. Bukan sekadar penyegaran visual, langkah ini mengandung makna filosofis dan strategis yang mendalam: menghindari kesan "kultus individu" dan menegaskan identitas Projo sebagai organisasi yang mandiri dan berkelanjutan, lepas dari bayang-bayang seorang tokoh semata.

Perubahan ini bukan hanya tentang estetika, melainkan cerminan dari sebuah transformasi yang lebih besar. Di tengah dinamika politik pasca-era Presiden Joko Widodo, Projo tampaknya bertekad untuk menata ulang pondasinya, mengubah diri dari sebuah gerakan yang sangat personal menjadi entitas politik yang ideologis dan institusional.

Mengapa Perubahan Logo Ini Penting?


Projo lahir dari semangat kerelawanan yang membara untuk mendukung Joko Widodo dalam perjalanan politiknya, mulai dari Pilkada DKI Jakarta hingga dua periode kepresidenan. Logo Projo, dengan simbol dan warna khasnya, secara inheren telah melekat erat dengan citra dan sosok Jokowi. Keberadaan Projo selama ini adalah manifestasi dari dukungan rakyat terhadap figur Jokowi. Namun, seperti layaknya setiap gerakan yang berpusat pada seorang tokoh karismatik, Projo menghadapi tantangan besar: bagaimana caranya tetap relevan dan eksis setelah tokoh sentralnya tidak lagi berada di puncak kekuasaan?

Budi Arie Setiadi secara eksplisit menyebutkan bahwa tujuan utama perubahan logo adalah untuk "menghilangkan kesan kultus individu." Pernyataan ini sangat penting karena menyentuh inti permasalahan banyak gerakan politik di Indonesia yang cenderung sangat personalistis. Ketika seorang pemimpin karismatik memiliki daya tarik yang begitu kuat, ada risiko bahwa gerakan yang dibangun di sekelilingnya akan menjadi bayangan dari dirinya sendiri, kehilangan identitas otonom dan tujuan yang lebih luas.

Transformasi ini adalah upaya Projo untuk melepas jubah "kelompok pendukung presiden" dan mengenakan pakaian "organisasi masyarakat/politik" yang memiliki agenda dan visi jangka panjangnya sendiri. Ini adalah langkah berani untuk mendefinisikan ulang makna keberadaan Projo di panggung politik nasional, bukan sebagai mesin pemenangan semata, tetapi sebagai kekuatan yang punya suara dan arah tersendiri.

Menjaga Identitas dan Relevansi di Era Baru


Perubahan logo seringkali menjadi penanda dari perubahan arah atau strategis sebuah organisasi. Bagi Projo, langkah ini bisa diartikan sebagai upaya serius untuk mengukuhkan diri sebagai organisasi permanen, bukan sekadar kelompok ad-hoc yang bubar setelah tugasnya selesai. Untuk mencapai hal tersebut, Projo harus mengembangkan identitas yang lebih kuat dan ideologi yang lebih jelas, yang tidak bergantung pada satu figur.

Dalam konteks politik Indonesia, ini adalah tantangan yang tidak mudah. Sejarah mencatat banyak organisasi relawan yang redup setelah masa jabatan pemimpin yang mereka dukung berakhir. Projo ingin menghindari nasib tersebut. Dengan mengubah logo, Projo mengirimkan sinyal kuat kepada publik dan internalnya bahwa mereka siap beradaptasi, berevolusi, dan berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan, mungkin dengan fokus pada nilai-nilai yang lebih luas seperti kebangsaan, kerakyatan, atau pembangunan berkelanjutan, yang selama ini menjadi bagian dari narasi Jokowi.

Proses institusionalisasi ini memerlukan lebih dari sekadar perubahan visual. Ini menuntut konsolidasi internal, perumusan AD/ART yang lebih kokoh, program-program kerja yang berkelanjutan, serta pengembangan kaderisasi yang sistematis. Logo baru akan menjadi simbol dari semua perubahan struktural dan kultural ini, menjadi penanda dari sebuah babak baru.

Dilema "Kultus Individu" dalam Politik Indonesia


Isu "kultus individu" bukanlah hal baru dalam perpolitikan Indonesia. Sejak era kemerdekaan, peran tokoh karismatik dalam membentuk arah bangsa tidak dapat dipungkiri. Pemimpin seperti Soekarno, Soeharto, hingga figur-figur reformasi memiliki daya tarik personal yang luar biasa, yang mampu menggerakkan massa dan membentuk loyalitas kuat. Namun, sisi gelap dari personalisasi politik yang berlebihan adalah potensi untuk mengabaikan institusi, ideologi, dan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih besar.

Ketika sebuah gerakan atau partai terlalu bergantung pada pesona seorang individu, ia berisiko runtuh ketika individu tersebut tidak lagi ada atau ketika daya tariknya memudar. Ini menghambat pembangunan institusi politik yang kuat dan berakar pada nilai-nilai, bukan hanya pada personalitas. Langkah Projo untuk secara sadar menghindari kesan "kultus individu" ini menunjukkan kematangan dalam memahami dinamika politik dan aspirasi untuk membangun sesuatu yang lebih langgeng dan berprinsip. Ini adalah pengakuan bahwa meskipun karisma penting, keberlanjutan sebuah organisasi haruslah bertumpu pada fondasi yang lebih stabil.

Implikasi Politik dan Respons Publik


Perubahan identitas Projo ini tentu akan memiliki implikasi politik yang luas. Di satu sisi, ini dapat memperkuat posisi Projo sebagai aktor politik yang lebih mandiri, membuka ruang untuk aliansi dan pengaruh yang lebih luas di luar koneksi langsungnya dengan Jokowi. Projo bisa menjadi kekuatan penyeimbang, penentu arah, atau bahkan pelopor gerakan baru dalam politik Indonesia.

Namun, di sisi lain, langkah ini juga akan menguji loyalitas basis massanya. Banyak anggota dan simpatisan Projo mungkin bergabung karena kekaguman mereka pada sosok Jokowi. Pertanyaan besarnya adalah, apakah mereka akan tetap setia pada "Projo yang baru," yang kini beranjak dari bayang-bayang pemimpin ikoniknya? Respons publik dan media terhadap logo baru dan arah strategis ini akan sangat menentukan keberhasilan transformasi Projo.

Peran Budi Arie Setiadi sebagai Ketua Umum Projo menjadi krusial dalam menavigasi masa transisi ini. Sebagai figur yang dekat dengan Jokowi namun juga memiliki visi sendiri, Budi Arie diharapkan mampu mengomunikasikan perubahan ini secara efektif, meyakinkan internal dan eksternal bahwa langkah ini adalah demi kebaikan dan keberlanjutan Projo di masa depan.

Kesimpulannya, rencana Projo untuk mengubah logo demi menghindari "kultus individu" adalah lebih dari sekadar perubahan kosmetik. Ini adalah manuver strategis yang menunjukkan ambisi Projo untuk menata ulang dirinya sebagai organisasi politik yang independen, ideologis, dan relevan di era pasca-Jokowi. Langkah ini akan menguji kapasitas Projo untuk bertransformasi, sekaligus memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya institusionalisasi dalam membangun politik yang berkelanjutan di Indonesia. Kita semua menantikan bagaimana babak baru Projo akan terungkap dan bagaimana identitas barunya akan membentuk lanskap politik nasional. Apa pendapat Anda tentang langkah berani Projo ini? Apakah menurut Anda perubahan logo ini akan benar-benar berhasil mengubah persepsi publik? Mari berdiskusi!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.