Projo Bukan Hanya Pro-Jokowi? Mengungkap Identitas Sejati Organisasi Relawan dan Arah Baru Pasca-Pilpres 2024

Projo Bukan Hanya Pro-Jokowi? Mengungkap Identitas Sejati Organisasi Relawan dan Arah Baru Pasca-Pilpres 2024

Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo sekaligus Menkominfo, membantah bahwa Projo adalah singkatan dari 'Pro-Jokowi', menegaskan identitas organisasi sebagai 'Pro-Rakyat, Pro-Keadilan Sosial, Pro-Demokrasi'.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, nama Projo telah lama identik dengan barisan pendukung setia Presiden Joko Widodo. Organisasi relawan ini memainkan peran krusial dalam dua kali kemenangan Jokowi di Pilpres, membangun citra sebagai garda terdepan "Pro-Jokowi" di mata publik. Namun, sebuah pernyataan mengejutkan baru-baru ini dari Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, yang kini menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, mengguncang persepsi umum tersebut. Budi Arie dengan tegas membantah bahwa Projo adalah singkatan dari "Pro-Jokowi," melainkan menegaskan identitasnya sebagai "Pro-Rakyat, Pro-Keadilan Sosial, Pro-Demokrasi."

Pernyataan ini bukan sekadar koreksi semantik. Ini adalah sinyal kuat tentang upaya redefinisi dan reposisi Projo di tengah konstelasi politik pasca-Pemilihan Presiden 2024. Benarkah kita selama ini salah memahami Projo? Apa implikasi dari penegasan identitas baru ini bagi masa depan organisasi relawan yang pernah begitu dominan? Mari kita selami lebih dalam makna di balik pernyataan Budi Arie dan apa artinya bagi arah politik Indonesia.

Meluruskan Persepsi: Penjelasan Budi Arie tentang Projo

Selama bertahun-tahun, frasa "Projo adalah Pro-Jokowi" telah menjadi sebuah diktum yang tak terbantahkan di benak banyak orang, baik pendukung maupun kritikus. Asosiasi yang kuat ini tidak lepas dari sejarah pembentukan Projo yang memang bermula sebagai gerakan relawan untuk mengantarkan Joko Widodo ke kursi kepresidenan pada 2014. Keberanian, militansi, dan kemampuan mobilisasi massa Projo menjadi kekuatan vital dalam kampanye-kampanye Jokowi, memperkuat narasi bahwa mereka adalah "mata dan telinga" Jokowi di akar rumput.

Namun, Budi Arie Setiadi, sebagai nahkoda organisasi, kini merasa perlu meluruskan persepsi tersebut. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan bahwa Projo memiliki makna yang jauh lebih luas dan fundamental. Menurut Budi Arie, Projo adalah akronim dari prinsip-prinsip universal yang seharusnya menjadi pijakan setiap organisasi kemasyarakatan yang berorientasi pada kesejahteraan bangsa: "Pro-Rakyat, Pro-Keadilan Sosial, Pro-Demokrasi."

Penjelasan ini tentu saja menarik, mengingat Budi Arie bukan hanya Ketua Umum Projo tetapi juga seorang pejabat negara. Posisinya ganda memberikan bobot lebih pada pernyataannya, menunjukkan bahwa upaya redefinisi ini bukan sekadar wacana internal, melainkan sebuah pesan yang ditujukan kepada khalayak luas, termasuk para kader, anggota, serta seluruh elemen masyarakat. Ini adalah langkah strategis yang menandai upaya Projo untuk melepas diri dari bayang-bayang personalitas seorang pemimpin, sekalipun pemimpin tersebut adalah figur yang sangat dihormati.

Jejak Langkah Projo: Dari Relawan Pilpres hingga Organisasi Kritis

Untuk memahami signifikansi pernyataan Budi Arie, kita perlu menengok kembali perjalanan Projo. Organisasi ini lahir di tengah gejolak politik 2014, ketika nama Joko Widodo muncul sebagai kuda hitam dalam Pilpres. Dengan semangat kerelawanan yang membara, Projo berhasil menggerakkan dukungan massa yang masif, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, untuk memenangkan Jokowi. Mereka bukan sekadar tim kampanye; mereka adalah narator utama visi Jokowi di tengah masyarakat.

Pasca-kemenangan Jokowi, Projo tidak bubar. Mereka tetap eksis, bahkan tumbuh menjadi salah satu organisasi relawan terbesar dan paling berpengaruh. Peran mereka bergeser dari sekadar pengumpul suara menjadi sebuah entitas yang secara aktif terlibat dalam diskursus kebijakan publik, bahkan tak jarang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi sendiri. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, Projo memiliki DNA yang lebih dari sekadar "pendukung buta." Mereka adalah kekuatan politik independen yang, meskipun loyal, memiliki agenda dan idealisme sendiri.

Pergeseran Identitas atau Penegasan Visi?

Pernyataan Budi Arie bisa diinterpretasikan sebagai penegasan kembali visi dan misi Projo yang mungkin selama ini tertutup oleh label "Pro-Jokowi." Ini bukan berarti Projo mengingkari dukungannya terhadap Jokowi di masa lalu, melainkan upaya untuk menunjukkan bahwa fondasi ideologis Projo jauh lebih dalam daripada sekadar dukungan personal.

Ini adalah pergeseran yang penting. Di era demokrasi modern, keberlangsungan sebuah organisasi politik tidak bisa bergantung sepenuhnya pada karisma atau kekuatan satu figur. Organisasi harus memiliki landasan ideologi yang kuat dan visi jangka panjang yang melampaui masa jabatan seorang presiden. Dengan mengedepankan "Pro-Rakyat, Pro-Keadilan Sosial, Pro-Demokrasi," Projo mencoba membangun identitas yang lebih universal, inklusif, dan relevan dalam jangka panjang.

Mengapa Penting bagi Projo untuk Mendefinisikan Ulang Dirinya?

Ada beberapa alasan strategis mengapa upaya redefinisi ini menjadi krusial, terutama di era pasca-Pilpres 2024:

1. Era Pasca-Jokowi: Dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi, organisasi relawan yang secara historis terikat padanya menghadapi tantangan eksistensial. Apakah mereka akan bubar, mencari patron baru, atau bertransformasi? Budi Arie menunjukkan jalan ketiga: bertransformasi menjadi organisasi yang berpegang pada prinsip, bukan pada figur.
2. Relevansi Jangka Panjang: Untuk tetap relevan dan memiliki daya tawar politik di masa depan, Projo harus menunjukkan bahwa mereka memiliki agenda yang lebih besar daripada sekadar mendukung seorang calon. Dengan visi "Pro-Rakyat," mereka bisa membangun platform yang menarik bagi berbagai segmen masyarakat, terlepas dari siapa yang memimpin negara.
3. Memperluas Basis Dukungan: Membatasi identitas Projo hanya pada "Pro-Jokowi" berpotensi membatasi basis dukungan mereka di masa depan. Dengan mengusung nilai-nilai universal, mereka bisa menarik lebih banyak anggota dan simpatisan yang mungkin tidak memiliki ikatan personal dengan Jokowi, tetapi peduli pada isu-isu kerakyatan dan demokrasi.
4. Menjaga Independensi: Penegasan ini juga dapat dilihat sebagai upaya untuk menegaskan independensi Projo sebagai organisasi. Meskipun Budi Arie berada di kabinet, Projo sebagai organisasi tetap ingin mempertahankan otonomi dan kapasitas kritisnya.

Respon Publik dan Spekulasi Politik

Pernyataan Budi Arie tentu saja memicu beragam respons. Bagi sebagian kalangan, ini mungkin dianggap sebagai manuver politik untuk mempersiapkan Projo menghadapi Pilpres 2029 tanpa terbebani oleh bayang-bayang masa lalu. Bagi yang lain, ini adalah langkah yang bijak untuk memastikan kelangsungan hidup organisasi di era politik yang baru.

Spekulasi politik juga mungkin berkembang: apakah ini menandakan pergeseran arah dukungan Projo di masa depan? Apakah Projo akan menjadi kekuatan penyeimbang, atau justru akan beradaptasi dan berkolaborasi dengan kekuatan politik yang ada? Yang jelas, pernyataan ini membuka ruang diskusi yang luas tentang peran organisasi relawan dalam demokrasi Indonesia.

Masa Depan Projo: Tantangan dan Peluang

Masa depan Projo akan sangat bergantung pada bagaimana mereka mampu mengimplementasikan visi "Pro-Rakyat, Pro-Keadilan Sosial, Pro-Demokrasi" ini dalam aksi nyata. Tantangannya adalah meyakinkan publik bahwa pergeseran identitas ini adalah tulus, bukan sekadar retorika. Mereka harus membuktikan komitmennya melalui program-program yang konkret, advokasi kebijakan, dan keterlibatan aktif dalam isu-isu sosial.

Peluangnya adalah menjadi pelopor bagi organisasi relawan lain untuk melakukan hal yang sama: berevolusi dari sekadar pendukung figur menjadi entitas politik yang berprinsip. Jika berhasil, Projo bisa menjadi contoh bagaimana gerakan relawan dapat tumbuh menjadi pilar demokrasi yang kuat, kritis, dan berorientasi pada kepentingan bangsa.

Pernyataan Budi Arie Setiadi bukan sekadar koreksi nama, melainkan sebuah deklarasi yang mendefinisikan ulang Projo di tengah lanskap politik yang terus berubah. Ini adalah undangan bagi kita semua untuk melihat organisasi relawan bukan hanya sebagai alat politik sesaat, tetapi sebagai agen perubahan yang dapat berkontribusi pada pembangunan bangsa melalui nilai-nilai universal.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Projo akan berhasil dengan identitas barunya sebagai "Pro-Rakyat, Pro-Keadilan Sosial, Pro-Demokrasi"? Apakah langkah ini akan menginspirasi organisasi relawan lain untuk bertransformasi? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan mari kita diskusikan!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.