Megawati: AI dan "Neokolonialisme Digital" Ancam Dunia, Regulasi Global Mendesak!

Megawati: AI dan "Neokolonialisme Digital" Ancam Dunia, Regulasi Global Mendesak!

Megawati Sukarnoputri menyerukan regulasi global untuk menghadapi "neokolonialisme digital" dan dominasi kecerdasan buatan (AI) yang tak terkendali.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Megawati: AI dan "Neokolonialisme Digital" Ancam Dunia, Regulasi Global Mendesak!



Di era digital yang bergerak dengan kecepatan cahaya, inovasi teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), menjanjikan masa depan yang cerah sekaligus menyimpan potensi ancaman yang mengerikan. Baru-baru ini, sebuah peringatan keras datang dari tokoh politik senior Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Ia menyerukan perlunya regulasi global yang kuat untuk menghadapi fenomena "neokolonialisme digital" dan dominasi kekuatan AI yang tak terkendali. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan panggilan darurat untuk seluruh dunia agar tidak terjebak dalam jebakan baru yang mengancam kedaulatan, keadilan, dan kemanusiaan.

Suara Kritis dari Panggung Dunia: Peringatan Megawati



Dalam pidatonya pada pembukaan Seminar Jurnalis Asia Eropa (ASEF) ke-10, Megawati dengan tegas menyoroti bahaya yang mengintai di balik gemerlap kemajuan teknologi. Menurutnya, perkembangan AI dan big data yang masif berpotensi menciptakan bentuk penjajahan baru, yang ia sebut sebagai "neokolonialisme digital". Ini bukan lagi tentang penguasaan wilayah fisik, melainkan tentang kontrol atas informasi, data, dan bahkan pikiran manusia melalui algoritma canggih dan platform digital raksasa.

Megawati menekankan bahwa tanpa kerangka regulasi yang jelas dan mengikat secara global, kekuatan AI dan teknologi digital akan terus berkembang tanpa etika dan kontrol, yang pada akhirnya dapat mengarah pada eksploitasi manusia. Ia menyerukan perlunya "tata dunia baru" yang mampu mengatur dan mengelola kecerdasan buatan demi kepentingan bersama, bukan untuk segelintir kekuatan hegemonik. Peringatan ini datang di saat dunia sedang berjuang menyeimbangkan antara inovasi dan regulasi, antara kebebasan dan pengawasan, serta antara kemajuan dan kemanusiaan.

Memahami Ancaman "Neokolonialisme Digital"



Istilah "neokolonialisme digital" mungkin terdengar kompleks, namun esensinya sangat relevan dengan realitas saat ini. Ini mengacu pada dominasi ekonomi, politik, dan budaya oleh negara-negara atau korporasi teknologi raksasa melalui kontrol infrastruktur digital, data, dan algoritma. Dalam skema ini, negara-negara berkembang atau individu dapat menjadi "korban" yang datanya dieksploitasi, preferensinya dimanipulasi, dan keputusannya dipengaruhi, seringkali tanpa mereka sadari.

Beberapa ciri dari neokolonialisme digital meliputi:

1. Monopoli Data:

Perusahaan teknologi besar mengumpulkan data dalam jumlah tak terbatas dari miliaran pengguna di seluruh dunia. Data ini menjadi "minyak baru" yang tak ternilai, memberikan kekuatan ekonomi dan prediktif yang luar biasa. Negara-negara dengan regulasi data yang lemah atau tidak ada menjadi lumbung data yang mudah diakses dan dieksploitasi.

2. Kontrol Algoritma:

Algoritma menentukan apa yang kita lihat, baca, dan dengar di platform digital. Ini dapat membentuk opini publik, memengaruhi hasil pemilihan, bahkan menciptakan polarisasi sosial. Jika algoritma ini dikendalikan oleh segelintir entitas tanpa pengawasan, demokrasi dan kebebasan berekspresi dapat terancam.

3. Ketergantungan Infrastruktur:

Banyak negara bergantung pada infrastruktur digital (server, cloud computing, jaringan internet) yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan asing. Ini menimbulkan risiko keamanan siber dan potensi pengawasan dari luar.

4. Hilangnya Kedaulatan Digital:

Negara-negara kehilangan kemampuan untuk mengatur ruang siber mereka sendiri, membuat keputusan independen terkait data warganya, atau melindungi industri lokal dari dominasi teknologi asing.

Dilema Kecerdasan Buatan (AI): Antara Harapan dan Ketakutan



AI adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan solusi revolusioner untuk masalah global seperti perubahan iklim, penyakit, dan kemiskinan. AI dapat meningkatkan efisiensi, inovasi, dan kualitas hidup. Namun, di sisi lain, potensi risikonya sama besarnya. Kekhawatiran Megawati terhadap "kekuatan AI" tidak berlebihan.

Risiko AI yang perlu diwaspadai antara lain:

1. Bias Algoritma:

Jika data pelatihan AI bias, maka AI akan menghasilkan keputusan yang bias pula, memperparah ketidakadilan sosial dan diskriminasi.

2. Disinformasi dan Manipulasi:

AI dapat digunakan untuk menciptakan konten palsu (deepfake) yang sangat meyakinkan, menyebarkan disinformasi secara massal, dan memanipulasi opini publik.

3. Kehilangan Pekerjaan:

Otomatisasi berbasis AI dapat menggantikan jutaan pekerjaan, menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih dalam jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat.

4. Senjata Otonom:

Pengembangan senjata yang sepenuhnya otonom (AI-driven weapons) menimbulkan pertanyaan etis yang serius tentang tanggung jawab moral dan potensi konflik yang tak terkendali.

5. Pengawasan Massal:

Teknologi pengenalan wajah dan analisis data AI memungkinkan pengawasan massal oleh pemerintah atau korporasi, mengancam privasi dan kebebasan individu.

Jika risiko-risiko ini tidak diatasi melalui regulasi dan etika yang kuat, AI bisa menjadi alat yang sempurna untuk menjalankan agenda neokolonialisme digital, memperkuat dominasi kekuatan-kekuatan tertentu dan memperlemah kedaulatan negara-bangsa.

Mengapa Regulasi Global Mendesak? Tantangan dan Solusi



Megawati benar bahwa regulasi nasional saja tidak cukup untuk menghadapi masalah global seperti AI dan neokolonialisme digital. Teknologi ini bersifat lintas batas, mengabaikan geopolitik tradisional. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan multilateral dan konsensus internasional.

Tantangan dalam menciptakan regulasi global sangat besar:
* Perbedaan Kepentingan: Negara-negara maju mungkin memiliki agenda yang berbeda dari negara-negara berkembang.
* Kecepatan Inovasi: Teknologi berkembang lebih cepat daripada kemampuan legislasi.
* Kedaulatan Nasional: Negara-negara mungkin enggan menyerahkan kontrol atas aspek-aspek tertentu kepada badan internasional.

Namun, bukan berarti tidak mungkin. Solusi yang bisa dipertimbangkan meliputi:
* Kerangka Kerja Etika Global: Pengembangan prinsip-prinsip etika AI yang diakui secara universal.
* Regulasi Data Lintas Batas: Perjanjian internasional tentang privasi data, transfer data, dan kedaulatan data.
* Forum Multilateral: PBB, G20, dan organisasi regional lainnya harus menjadi platform utama untuk dialog dan negosiasi.
* Hukum Anti-Monopoli Digital: Penegakan hukum yang lebih kuat terhadap monopoli perusahaan teknologi raksasa di tingkat global.
* Literasi Digital dan Edukasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko dan manfaat AI serta cara melindungi diri di ruang digital.

Peran Indonesia di Tengah Gejolak Digital



Indonesia, sebagai negara dengan populasi digital yang besar dan posisi geopolitik yang strategis, memiliki peran penting dalam mendorong regulasi AI dan melawan neokolonialisme digital. Dengan semangat Konferensi Asia-Afrika dan GNB, Indonesia bisa menjadi suara bagi negara-negara berkembang untuk menuntut keadilan digital dan kedaulatan teknologi. Melalui diplomasi aktif dan pengembangan kebijakan domestik yang kuat, Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana sebuah negara dapat berinovasi sambil melindungi warganya dari sisi gelap teknologi.

Tanggung Jawab Bersama: Pemerintah, Industri, dan Masyarakat



Peringatan Megawati adalah alarm bagi kita semua. Perjuangan melawan neokolonialisme digital dan mengendalikan kekuatan AI bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau elit politik. Industri teknologi harus memikul tanggung jawab etis dalam mengembangkan produknya. Masyarakat sipil, akademisi, dan individu harus aktif terlibat dalam diskusi, menuntut transparansi, dan menyadari hak-hak digital mereka. Kita tidak bisa pasif menyaksikan masa depan digital kita ditentukan oleh segelintir pihak.

Kesimpulan



Peringatan Megawati Sukarnoputri tentang neokolonialisme digital dan kekuatan AI yang tak terkendali adalah panggilan untuk bertindak yang harus kita dengarkan dengan seksama. Di tengah janji kemajuan yang tak terbatas, kita harus tetap waspada terhadap potensi eksploitasi dan ancaman terhadap kedaulatan. Pembentukan regulasi global yang kuat, beretika, dan inklusif adalah krusial untuk memastikan bahwa AI melayani umat manusia, bukan sebaliknya. Mari bersama-sama membangun tata dunia baru yang adil di era digital, di mana teknologi menjadi alat pembebasan, bukan penjajahan baru. Apa pendapat Anda tentang seruan ini? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.