Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Herman Khaeron Sebut "Kesempatan Sudah Sama", Benarkah Demikian?
Artikel ini membahas pernyataan Herman Khaeron yang menyebut perempuan sudah diberikan kesempatan sama di AKD DPR RI.
Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Herman Khaeron Sebut "Kesempatan Sudah Sama", Benarkah Demikian?
Di tengah riuhnya dinamika politik nasional, isu kesetaraan gender dan keterwakilan perempuan dalam ranah kekuasaan selalu menjadi perbincangan hangat. Tak terkecuali di lembaga legislatif tertinggi negara kita, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Baru-baru ini, pernyataan Anggota Komisi I DPR RI, Herman Khaeron, kembali menyulut diskusi publik mengenai keterwakilan perempuan dalam Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Ia menyebut bahwa perempuan sudah diberikan kesempatan yang sama. Pernyataan ini, meski tampak lugas, sejatinya membuka gerbang pertanyaan besar: apakah "kesempatan yang sama" benar-benar telah terefleksi dalam realita politik Indonesia, khususnya bagi para srikandi di parlemen? Artikel ini akan mengupas tuntas narasi tersebut, menelisik data, tantangan, dan harapan untuk parlemen yang lebih inklusif.
Mengurai Pernyataan Herman Khaeron: "Kesempatan Sudah Sama"?
Pernyataan Herman Khaeron yang menyebutkan bahwa perempuan sudah diberikan kesempatan yang sama dalam penempatan di AKD DPR RI muncul sebagai respons terhadap tuntutan atau harapan akan adanya peningkatan representasi perempuan di posisi-posisi strategis. Dalam konteks politik, "kesempatan yang sama" seringkali dimaknai sebagai tidak adanya diskriminasi formal atau hambatan eksplisit yang menghalangi partisipasi perempuan. Namun, apakah ketiadaan hambatan formal sudah cukup menjamin kesetaraan substantif?
Pernyataan ini tentu patut dicermati. Jika kesempatan memang sudah sama, mengapa persentase keterwakilan perempuan, terutama di posisi-posisi kunci AKD, masih sering menjadi sorotan? Apakah ini berarti perempuan kurang kompeten, atau ada faktor lain yang bekerja di balik layar? Diskusi ini tidak bertujuan untuk menyalahkan individu, melainkan untuk memahami akar masalah yang lebih kompleks di balik angka-angka statistik. Herman Khaeron mungkin melihat dari perspektif bahwa tidak ada aturan formal yang menghalangi, namun realitas di lapangan bisa jadi berbeda, dipengaruhi oleh banyak faktor non-formal.
Realita Keterwakilan Perempuan di Parlemen Indonesia: Data dan Angka Bicara
Secara konstitusional, Indonesia telah mengamanatkan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Bahkan, undang-undang telah mensyaratkan kuota minimal 30% calon legislatif perempuan di setiap partai. Namun, bagaimana hasil akhirnya?
Meskipun ada peningkatan dari waktu ke waktu, persentase perempuan yang berhasil duduk di kursi DPR RI pasca pemilu masih jauh dari target 30%. Pada periode 2019-2024, misalnya, jumlah anggota DPR RI perempuan mencapai sekitar 20,5% (118 dari 575 anggota). Angka ini, meskipun lebih baik dari periode sebelumnya, masih menempatkan Indonesia di bawah rata-rata global untuk parlemen dua kamar (sekitar 26,5% per Januari 2023, menurut Inter-Parliamentary Union).
Lebih dalam lagi, ketika berbicara tentang AKD – yang meliputi komisi, badan, dan alat kelengkapan lain yang vital dalam kerja legislasi, pengawasan, dan anggaran – representasi perempuan di posisi ketua atau wakil ketua kerap kali lebih rendah. Penempatan di AKD seringkali ditentukan oleh dinamika internal partai, lobi-lobi politik, dan juga persepsi terhadap kapasitas atau area keahlian. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah "kesempatan" yang dimaksud sudah mencakup akses yang sama terhadap jejaring, dukungan politik, dan pengakuan kompetensi yang krusial untuk menduduki posisi strategis? Data menunjukkan bahwa perjalanan perempuan menuju kursi kekuasaan, apalagi posisi puncak, masih penuh liku.
Lebih dari Sekadar Kesempatan: Tantangan Struktural dan Budaya
Mengatakan "kesempatan sudah sama" seringkali mengabaikan realitas tantangan struktural dan budaya yang masih kuat mengakar dalam sistem politik dan masyarakat Indonesia.
* Budaya Patriarki: Anggapan bahwa politik adalah ranah laki-laki masih sering ditemukan, baik di masyarakat maupun di internal partai. Ini bisa memengaruhi proses rekrutmen, penempatan, dan bahkan penilaian terhadap kinerja politisi perempuan. Norma-norma sosial ini seringkali tidak tertulis, namun sangat berdampak.
* Dukungan Partai Politik: Meskipun ada kuota 30% caleg perempuan, dukungan riil dari partai dalam hal pendanaan kampanye, pelatihan, dan penempatan di daerah pemilihan "basah" (yang berpeluang besar menang) seringkali masih timpang. Perempuan mungkin harus bekerja lebih keras dengan sumber daya yang lebih terbatas.
* Peran Ganda: Perempuan politisi seringkali dihadapkan pada ekspektasi untuk tetap menjalankan peran domestik sebagai ibu dan istri, di samping tuntutan pekerjaan politik yang sangat berat dan memakan waktu. Ini bisa menjadi hambatan tersendiri dalam mengejar posisi atau mengembangkan karier politik tanpa dukungan sistem yang memadai.
* Jejaring dan Lobi: Politik sangat bergantung pada jejaring dan lobi yang dibangun dari waktu ke waktu. Perempuan mungkin memiliki akses yang lebih terbatas ke "lingkaran dalam" atau jejaring lobi yang didominasi laki-laki, yang esensial untuk mendapatkan posisi-posisi kunci.
* Persepsi Publik: Meskipun elektabilitas perempuan politisi terus meningkat, stereotip tertentu masih dapat memengaruhi pandangan publik terhadap kepemimpinan perempuan, terutama di bidang-bidang yang dianggap "maskulin" seperti pertahanan atau keamanan.
Mengapa Keterwakilan Perempuan Penting? Dampak pada Kebijakan dan Demokrasi
Meningkatnya keterwakilan perempuan bukan sekadar soal keadilan gender, melainkan fundamental bagi kualitas demokrasi dan efektivitas pembuatan kebijakan.
* Perspektif Beragam: Perempuan membawa perspektif dan pengalaman hidup yang berbeda, yang seringkali terabaikan dalam proses legislasi. Isu-isu seperti kesehatan ibu dan anak, kekerasan berbasis gender, atau kesetaraan upah akan mendapatkan perhatian lebih jika ada suara perempuan yang kuat di parlemen. Kebijakan yang dihasilkan akan lebih komprehensif.
* Mencerminkan Masyarakat: Demokrasi yang sehat adalah representasi dari seluruh elemen masyarakat. Jika separuh dari populasi adalah perempuan, maka wajar jika separuh dari perwakilan di parlemen juga perempuan, atau setidaknya mendekati angka tersebut. Ini akan meningkatkan legitimasi parlemen di mata rakyat dan memperkuat ikatan antara pemilih dan wakilnya.
* Kebijakan yang Lebih Baik: Penelitian menunjukkan bahwa negara dengan keterwakilan perempuan yang lebih tinggi cenderung memiliki kebijakan yang lebih baik dalam hal sosial, lingkungan, dan kesejahteraan. Perempuan seringkali dikenal lebih mengutamakan konsensus dan kerja sama, yang dapat memperkaya proses pengambilan keputusan dan mengurangi polarisasi.
* Panutan dan Pemberdayaan: Kehadiran perempuan di posisi-posisi strategis dapat menjadi panutan bagi generasi muda perempuan, menginspirasi mereka untuk terlibat dalam politik dan kepemimpinan. Ini juga merupakan bentuk pemberdayaan yang kuat, menunjukkan bahwa tidak ada batasan untuk aspirasi mereka.
Menuju Parlemen yang Lebih Inklusif: Langkah ke Depan
Untuk mencapai parlemen yang benar-benar inklusif, di mana "kesempatan sama" bukan hanya slogan tetapi realita, diperlukan langkah-langkah konkret dan sistematis:
1. Reformasi Internal Partai: Partai politik harus menjadi garda terdepan dalam mendorong kesetaraan, mulai dari rekrutmen, pelatihan, penempatan caleg, hingga dukungan untuk menduduki posisi strategis di AKD. Kebijakan afirmatif di internal partai perlu diperkuat dan dievaluasi secara berkala.
2. Pendidikan Politik dan Kampanye Kesadaran: Masyarakat perlu terus diedukasi tentang pentingnya memilih perempuan dan mengakui kapasitas kepemimpinan mereka. Stereotip gender harus terus dilawan melalui kampanye masif dan pendidikan sejak dini.
3. Mentorship dan Jaringan Dukungan: Membangun program mentorship bagi perempuan yang ingin berkarier di politik, serta menyediakan jaringan dukungan yang kuat, dapat membantu mereka mengatasi tantangan dan membangun kapabilitas. Peer support group juga sangat penting.
4. Data dan Evaluasi Transparan: Pemerintah dan lembaga terkait harus secara transparan menyajikan data keterwakilan perempuan di semua tingkatan dan posisi, serta melakukan evaluasi berkala untuk melihat progres dan mengidentifikasi hambatan yang masih ada. Data adalah kunci untuk kebijakan berbasis bukti.
5. Peran Media: Media massa memiliki peran krusial dalam membentuk opini publik. Pemberitaan yang berimbang dan mengapresiasi kapasitas politisi perempuan, serta menyoroti isu kesetaraan secara konstruktif, sangat dibutuhkan untuk mengubah narasi publik.
Kesimpulan
Pernyataan Herman Khaeron bahwa perempuan sudah diberikan kesempatan yang sama dalam penempatan di AKD DPR RI adalah sebuah titik pijak untuk berdiskusi. Namun, realitas menunjukkan bahwa "kesempatan" saja belum cukup untuk menciptakan kesetaraan substantif. Tantangan struktural dan budaya masih menjadi penghalang besar bagi perempuan untuk sepenuhnya berpartisipasi dan menduduki posisi kunci di parlemen. Keterwakilan perempuan di parlemen bukan sekadar angka, melainkan cerminan kualitas demokrasi dan komitmen kita terhadap keadilan. Mari bersama-sama mendorong terbentuknya parlemen yang tidak hanya representatif secara demografis, tetapi juga inklusif dalam perspektif dan kebijakan.
Apa pendapat Anda tentang pernyataan Herman Khaeron? Apakah Anda percaya kesempatan bagi perempuan di politik sudah sama? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan mari berdiskusi untuk masa depan politik Indonesia yang lebih setara!
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.