Diskors Karena Tak Anggap Soeharto Pahlawan: Mahasiswa UTA '45 dan Pertarungan Narasi Sejarah

Diskors Karena Tak Anggap Soeharto Pahlawan: Mahasiswa UTA '45 dan Pertarungan Narasi Sejarah

Seorang mahasiswa Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma (UTA '45) berinisial AF diskors setelah berani menyuarakan pandangan kritisnya yang menolak Soeharto sebagai pahlawan nasional selama sesi orientasi kampus.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Di tengah hiruk pikuk kebebasan berpendapat yang semakin didengungkan, sebuah kabar dari kampus Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma (UTA '45) Jakarta mengejutkan banyak pihak. Seorang mahasiswa berinisial AF, diberitakan diskors oleh pihak rektorat karena pandangannya yang kritis terhadap status Soeharto sebagai pahlawan nasional. Insiden ini bukan sekadar cerita pribadi seorang mahasiswa, melainkan cerminan dari pertarungan narasi sejarah yang tak kunjung usai di Indonesia, serta mempertanyakan kembali esensi kebebasan akademik dan ruang untuk berpendapat di lingkungan pendidikan tinggi.

Kasus ini sontak menyulut perdebatan panas, tidak hanya di kalangan akademisi dan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum. Apakah berani menyuarakan pandangan yang berbeda tentang sejarah, terutama terkait figur kontroversial, harus berujung pada sanksi yang menghambat masa depan pendidikan? Atau justru ini adalah momen krusial untuk membuka ruang diskusi yang lebih jujur dan inklusif tentang masa lalu bangsa? Artikel ini akan mengupas tuntas insiden tersebut, menilik latar belakang sejarah, dan merenungkan implikasinya bagi kebebasan akademik dan narasi sejarah Indonesia.

Latar Belakang Peristiwa: Ketika Pandangan Kritis Berujung Sanksi

Peristiwa yang menimpa AF terjadi pada sebuah sesi Orientasi Kehidupan Kampus (OKK) di UTA '45. Dalam sesi tersebut, seorang pembicara menyampaikan materi yang menyinggung nama Soeharto, mengklaimnya sebagai salah satu pahlawan terbaik Indonesia. AF, yang memiliki pemahaman sejarah berdasarkan berbagai literatur dan perspektif, merasa tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Dengan berani, ia mengajukan interupsi dan menyampaikan argumen kritisnya. AF berpendapat bahwa Soeharto, di samping capaian pembangunannya, juga memiliki catatan kelam terkait pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas selama era Orde Baru. Ia mempertanyakan bagaimana seorang figur dengan rekam jejak demikian dapat dengan serta-merta disebut sebagai pahlawan tanpa adanya diskusi kritis.

Reaksi pihak kampus terhadap interupsi AF tidak terduga dan cukup keras. Alih-alih membuka ruang diskusi atau klarifikasi, AF justru dipanggil dan dihadapkan pada sanksi disipliner. Pihak rektorat memutuskan untuk menskors AF, menuduhnya melakukan tindakan tidak sopan dan tidak patuh terhadap otoritas. Keputusan ini menimbulkan kebingungan dan kekecewaan, tidak hanya bagi AF sendiri tetapi juga bagi banyak pihak yang melihatnya sebagai pembungkaman suara kritis. Ini bukan hanya tentang AF dan Soeharto, tetapi tentang pertanyaan mendasar: apakah universitas, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pemikiran, masih menjadi tempat yang aman untuk mengemukakan pandangan yang berbeda?

Bayang-bayang Orde Baru: Mengapa Soeharto Tetap Jadi Polemik?

Untuk memahami kontroversi di balik kasus AF, penting untuk menilik kembali sosok Soeharto dan warisannya. Soeharto adalah presiden kedua Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun, sebuah periode yang dikenal sebagai Orde Baru. Di satu sisi, ia diakui atas keberhasilannya dalam menjaga stabilitas politik, mendorong pembangunan ekonomi, dan program swasembada pangan. Prestasi-prestasi ini seringkali menjadi dasar bagi mereka yang menganggapnya pahlawan.

Namun, di sisi lain, rezim Orde Baru juga dicap sebagai era represif yang penuh dengan pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan berpendapat, sensor media, dan korupsi sistemik. Kasus-kasus seperti pembantaian massal tahun 1965-1966, operasi militer di Aceh, Papua, dan Timor Leste, serta pengekangan politik terhadap lawan-lawan rezim, menjadi catatan hitam yang tak terhapuskan dari pemerintahannya. Bagi banyak korban dan pegiat HAM, Soeharto adalah simbol kekuasaan otoriter dan pelanggar hak asasi. Warisan ini menciptakan polarisasi tajam dalam masyarakat: ada yang memandang Soeharto sebagai bapak pembangunan, ada pula yang melihatnya sebagai diktator. Upaya untuk menempatkannya sebagai pahlawan nasional kerap kali memicu protes, terutama dari generasi muda dan akademisi yang mencari pemahaman sejarah yang lebih utuh dan tidak tunggal. Kasus AF adalah bukti nyata bahwa luka sejarah dan perdebatan tentangnya masih sangat hidup di masyarakat Indonesia.

Kebebasan Akademik dan Kritik Sejarah: Pilar Perguruan Tinggi yang Terancam?

Inti dari kasus AF adalah pertanyaan tentang kebebasan akademik. Kebebasan akademik adalah prinsip fundamental di setiap institusi pendidikan tinggi, yang menjamin dosen dan mahasiswa dapat mengajar, belajar, meneliti, dan membahas gagasan serta fakta tanpa takut akan sensor atau pembalasan. Ini adalah landasan untuk inovasi, kemajuan pengetahuan, dan pembentukan pemikir kritis. Universitas seharusnya menjadi ruang di mana ide-ide ditantang, diperdebatkan, dan diuji, bukan ruang di mana satu narasi dipaksakan dan perbedaan pendapat dihukum.

Dalam konteks sejarah, kebebasan akademik sangat krusial. Sejarah bukanlah dogma yang statis, melainkan ilmu yang terus berkembang melalui penemuan bukti baru dan interpretasi ulang. Mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, menanyakan, dan menganalisis berbagai sudut pandang adalah inti dari pendidikan sejarah yang baik. Menghukum mahasiswa karena menyuarakan perspektif kritis, apalagi yang didasari pada fakta-fakta sejarah yang telah terungkap, sama saja dengan mengingkari esensi pendidikan itu sendiri. Ini mengirimkan pesan berbahaya bahwa kepatuhan lebih dihargai daripada pemikiran independen, dan bahwa kebenaran ditentukan oleh otoritas, bukan oleh penyelidikan ilmiah dan rasional. Jika kampus, yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebebasan intelektual, mulai membungkam suara-suara kritis, maka masa depan kualitas pendidikan dan demokratisasi pemikiran di Indonesia akan terancam.

Resonansi Kasus AF: Dampak Terhadap Iklim Akademik dan Ruang Publik

Kasus AF tidak hanya berdampak pada dirinya secara pribadi, yang kini harus menghadapi skorsing dan potensi hambatan dalam studinya. Lebih jauh, insiden ini berpotensi menciptakan efek gentar (chilling effect) di kalangan mahasiswa lain. Mereka mungkin akan merasa takut untuk menyuarakan pendapat yang tidak sesuai dengan "garis resmi" atau pandangan mayoritas, terutama jika itu terkait dengan topik-topik sensitif seperti sejarah atau politik. Ini akan menghambat budaya diskusi, debat, dan pemikiran kritis yang seharusnya berkembang di lingkungan kampus.

Di sisi lain, kasus ini juga memiliki resonansi yang lebih luas di ruang publik. Media sosial dipenuhi dengan perdebatan, dukungan untuk AF, dan kritik terhadap tindakan universitas. Banyak yang melihat kasus ini sebagai cermin dari tantangan kebebasan berpendapat yang lebih besar di Indonesia, di mana batas antara kritik konstruktif dan "tidak sopan" atau "insubordinasi" semakin kabur. Ini juga menyoroti bagaimana institusi pendidikan, yang seharusnya progresif, terkadang masih terjebak dalam pola pikir otoriter warisan masa lalu. Peran masyarakat sipil dan pegiat HAM menjadi krusial dalam mengawal kasus ini, memastikan bahwa hak-hak AF sebagai mahasiswa dan warga negara tetap terlindungi, serta mendesak adanya reformasi dalam kebijakan kebebasan akademik di perguruan tinggi.

Menuju Narasi Sejarah yang Lebih Inklusif dan Berimbang

Insiden yang menimpa AF harus menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk merefleksikan bagaimana kita memperlakukan sejarah kita sendiri. Sejarah Indonesia, seperti sejarah bangsa manapun, adalah kompleks dan multi-dimensi. Ia tidak bisa direduksi menjadi satu narasi tunggal yang dipaksakan. Ada berbagai peristiwa, tokoh, dan perspektif yang membentuk mozaik sejarah kita, baik yang gemilang maupun yang kelam.

Penting bagi institusi pendidikan, dan masyarakat luas, untuk menciptakan ruang yang aman dan kondusif bagi diskusi terbuka dan penelitian kritis tentang sejarah. Ini berarti mendorong mahasiswa dan akademisi untuk menggali berbagai sumber, menganalisis berbagai interpretasi, dan bahkan menantang narasi yang telah lama dipegang teguh. Hanya dengan cara inilah kita dapat belajar dari masa lalu secara utuh, mencegah terulangnya kesalahan, dan membangun pemahaman yang lebih matang tentang identitas bangsa kita. Menghargai perbedaan pandangan dalam menafsirkan sejarah bukan berarti tidak menghargai pahlawan atau melupakan jasa, melainkan justru menunjukkan kedewasaan intelektual dan kapasitas untuk menghadapi masa lalu dengan jujur dan berani.

Kesimpulan

Kasus yang menimpa mahasiswa UTA '45 ini lebih dari sekadar berita kampus; ia adalah pengingat penting tentang perjuangan berkelanjutan untuk kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan hak untuk menafsirkan sejarah berdasarkan bukti dan nalar kritis. Ini adalah momen untuk kita semua, terutama institusi pendidikan, merefleksikan kembali peran mereka dalam membentuk warga negara yang kritis, berani, dan berintegritas. Jika kampus, yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebebasan intelektual, mulai membungkam suara-suara kritis, maka masa depan narasi sejarah Indonesia akan kembali terancam oleh dogma, bukan dialektika.

Mari kita jadikan insiden ini sebagai pemicu diskusi yang lebih luas dan mendalam tentang bagaimana kita sebagai bangsa menghadapi masa lalu kita yang kompleks. Bagaimana pendapat Anda tentang kasus ini? Apakah Anda setuju dengan sanksi yang diberikan, ataukah ini adalah bentuk pembungkaman suara kritis yang harus dilawan? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar dan mari bersama menjaga nyala api kebebasan berpikir.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.