Zaman Kebodohan? Mengapa Banyak Orang Merasa Kita Hidup di Era Paling Konyol dalam Sejarah Manusia

Zaman Kebodohan? Mengapa Banyak Orang Merasa Kita Hidup di Era Paling Konyol dalam Sejarah Manusia

Artikel ini membahas pertanyaan provokatif "Apakah kita hidup di era paling bodoh dalam sejarah manusia?" yang memicu perdebatan luas.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Hampir setiap hari, di media sosial, ruang kopi, atau bahkan dalam diskusi serius, muncul pertanyaan yang menggelitik: "Apakah kita hidup di era paling bodoh dalam sejarah manusia?" Sebuah utas forum di Free Republic yang berjudul "Are We Living in the Most Stupid Era in Human History?" memicu perdebatan sengit yang merangkum kegelisahan kolektif ini. Dari keputusan politik yang tampak irasional hingga tren budaya yang membingungkan, banyak orang merasa bahwa nalar dan akal sehat semakin langka, digantikan oleh kebingungan massal dan kekonyolan yang tak masuk akal.

Namun, benarkah demikian? Ataukah ini hanyalah ilusi yang diciptakan oleh bias kognitif dan ledakan informasi? Mari kita telusuri mengapa persepsi ini begitu kuat mencengkeram benak banyak orang dan mencoba melihatnya dari berbagai sudut pandang.

H2: Mengapa Persepsi "Era Kebodohan" Ini Muncul Begitu Kuat?

Perasaan bahwa kualitas intelektual dan kebijaksanaan umum menurun bukanlah hal baru. Setiap generasi cenderung menganggap generasi berikutnya atau era saat ini lebih rendah. Namun, ada beberapa faktor modern yang mungkin memperkuat sentimen ini.

H3: Ledakan Informasi dan Filter Bubble

Kita hidup di era di mana informasi berlimpah ruah. Hanya dengan beberapa ketukan jari, kita bisa mengakses segala jenis data, fakta, opini, dan bahkan disinformasi. Ironisnya, alih-alih membuat kita lebih cerdas, banjir informasi ini seringkali membebani dan membingungkan. Algoritma media sosial dan mesin pencari menciptakan "filter bubble" atau gelembung filter, di mana kita terpapar pada informasi dan pandangan yang sudah kita setujui. Ini membatasi paparan terhadap perspektif yang berbeda, memperkuat bias konfirmasi, dan menciptakan kesenjangan pemahaman yang semakin dalam antar kelompok. Ketika setiap orang hidup dalam realitas informasi mereka sendiri, konsensus tentang kebenaran menjadi sulit dicapai, dan perbedaan pendapat seringkali disalahartikan sebagai kebodohan.

H3: Disorientasi Pendidikan dan Literasi Kritis

Ada kekhawatiran yang berkembang mengenai kualitas sistem pendidikan modern dan kemampuannya untuk menanamkan literasi kritis. Fokus pada penghafalan dan ujian standar seringkali mengesampingkan pengembangan kemampuan berpikir analitis, memecahkan masalah, dan mengevaluasi sumber informasi. Generasi muda mungkin memiliki akses tak terbatas ke informasi, tetapi kurang terlatih dalam menyaring, menganalisis, dan memahami informasi tersebut secara mendalam. Akibatnya, mereka rentan terhadap klaim palsu, teori konspirasi, dan argumen yang tidak logis, yang kemudian menyebar luas di ranah digital.

H3: Pengaruh Media Sosial dan Budaya Instan

Media sosial, dengan algoritmanya yang adiktif, mempromosikan konten yang sensasional, emosional, dan mudah dicerna, seringkali dengan mengorbankan nuansa dan kebenaran. Budaya "scroll" yang tak berujung dan kebutuhan akan gratifikasi instan telah mengubah cara kita mengonsumsi informasi dan berinteraksi. Diskusi yang mendalam digantikan oleh komentar singkat yang agresif, memes yang menyederhanakan isu kompleks, dan video viral yang mengedepankan hiburan di atas substansi. Ini menciptakan lingkungan di mana perhatian sangat berharga, dan argumen yang paling nyaring atau paling provokatif seringkali yang paling didengar, terlepas dari kualitasnya.

H3: Politik dan Kepemimpinan yang Membingungkan

Dari kebijakan yang tampak kontradiktif hingga retorika yang memecah belah, politik seringkali menjadi arena yang paling jelas di mana "kebodohan" dirasakan. Pemimpin yang tidak kredibel, keputusan yang didasarkan pada populisme daripada bukti, dan polarisasi yang ekstrem membuat banyak orang frustrasi. Ketika argumen emosional mengalahkan fakta, dan kesetiaan kelompok mengalahkan akal sehat, persepsi bahwa masyarakat sedang menuruni tangga kecerdasan kolektif menjadi sulit dihindari.

H2: Benarkah Demikian? Perspektif Historis dan Kontra-Argumen

Meskipun argumen-argumen di atas terasa sangat relevan, penting untuk melihatnya dengan kacamata skeptisisme dan perspektif historis.

H3: Bias Kognitif: Nostalgia vs. Realitas

Manusia memiliki kecenderungan alami untuk melihat masa lalu melalui kacamata nostalgia, mengingat "masa lalu yang indah" di mana segalanya tampak lebih sederhana dan orang-orang lebih bijaksana. Ini adalah bias kognitif yang dikenal sebagai "presentism" atau "golden age thinking." Sejarah mencatat banyak periode di mana kebodohan massal, takhayul, diskriminasi, dan keputusan yang sangat buruk mewarnai peradaban. Epidemik wabah, perang agama yang brutal, perburuan penyihir, atau penerimaan perbudakan secara luas adalah contoh nyata bahwa era lampau tidak selalu lebih cerdas atau bijaksana. Mungkin yang kita rasakan sekarang adalah karena kita lebih sadar dan memiliki akses ke informasi tentang setiap kesalahan dan kebodohan yang terjadi di seluruh dunia secara real-time.

H3: Peningkatan Akses Informasi dan Pengetahuan

Di sisi lain, tidak pernah ada dalam sejarah manusia begitu banyak orang yang memiliki akses ke pendidikan, buku, internet, dan pengetahuan tentang dunia. Tingkat literasi global telah meningkat drastis, dan inovasi ilmiah serta teknologi terus berkembang pesat. Kemampuan kita untuk mengobati penyakit, memahami alam semesta, dan menghubungkan miliaran manusia belum pernah ada sebelumnya. Ini menunjukkan adanya peningkatan kecerdasan dan kemampuan kolektif di banyak bidang.

H3: Kemajuan Sains dan Teknologi yang Tak Terbantahkan

Dari vaksin yang menyelamatkan jutaan nyawa hingga penjelajahan luar angkasa, dari komputasi kuantum hingga AI yang canggih, kemajuan sains dan teknologi yang kita saksikan hari ini adalah bukti nyata dari kecerdasan luar biasa umat manusia. Jika kita benar-benar hidup di era kebodohan, inovasi semacam ini tidak akan mungkin terjadi. Mungkin masalahnya bukan pada penurunan kecerdasan secara intrinsik, melainkan pada cara kita mengelola kompleksitas, informasi, dan emosi di era digital.

H2: Jalan Keluar: Mencari Pencerahan di Tengah Kebingungan

Jika persepsi "era kebodohan" ini bukan sepenuhnya benar namun juga tidak bisa diabaikan, lalu bagaimana kita bisa bergerak maju?

H3: Pentingnya Literasi Digital dan Media

Kita perlu membekali diri dan generasi mendatang dengan keterampilan untuk menavigasi lanskap informasi yang kompleks. Ini berarti mengajarkan cara mengevaluasi sumber, mengenali bias, memahami algoritma, dan membedakan fakta dari opini atau disinformasi. Literasi digital bukan lagi keterampilan pelengkap, melainkan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup intelektual di abad ke-21.

H3: Mendorong Pemikiran Kritis dan Diskusi Sehat

Masyarakat harus kembali menghargai pemikiran kritis, kemampuan untuk menganalisis secara objektif, dan keberanian untuk mempertanyakan asumsi. Ini juga berarti menciptakan ruang untuk diskusi yang sehat dan konstruktif, di mana perbedaan pendapat dapat disampaikan dengan hormat, dan tujuan utamanya adalah pemahaman, bukan kemenangan argumen.

H3: Membangun Komunitas yang Sadar Informasi

Kita bisa mulai dari lingkungan terdekat. Berbagi informasi yang terverifikasi, mendorong orang lain untuk berpikir lebih dalam, dan menantang narasi yang menyesatkan dengan bukti, adalah langkah-langkah kecil namun penting. Dengan membangun komunitas yang lebih sadar informasi, kita dapat secara kolektif meningkatkan kebijaksanaan dan ketahanan terhadap kebingungan.

Kesimpulan

Pertanyaan apakah kita hidup di era paling bodoh dalam sejarah manusia adalah cerminan dari kegelisahan mendalam terhadap kompleksitas dunia modern. Meskipun ada banyak gejala yang membuat kita merasa demikian—mulai dari ledakan informasi hingga polarisasi politik—penting untuk tidak menyerah pada keputusasaan. Sejarah menunjukkan bahwa manusia selalu menghadapi tantangan, dan kemampuan kita untuk belajar, beradaptasi, dan berinovasi adalah ciri khas spesies kita.

Alih-alih meratapinya, mari kita jadikan ini sebagai panggilan untuk bertindak. Mari kita tingkatkan literasi kritis kita, dorong diskusi yang lebih cerdas, dan ciptakan budaya yang menghargai kebenaran, nalar, dan empati. Dunia tidak akan menjadi lebih cerdas dengan sendirinya; itu adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengarahkannya menuju pencerahan, satu langkah dan satu pemikiran kritis pada satu waktu.

Apa pendapat Anda? Apakah kita memang semakin bodoh, ataukah hanya lebih sadar akan kebodohan yang selalu ada? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.