UGM Angkat Bicara: Kapan Negara Lindungi Korban Kekerasan Seksual Secara Menyeluruh?

UGM Angkat Bicara: Kapan Negara Lindungi Korban Kekerasan Seksual Secara Menyeluruh?

Universitas Gadjah Mada (UGM) secara tegas mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban kekerasan berbasis gender.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Hati siapa yang tak teriris mendengar kisah-kisah korban kekerasan seksual yang berjuang mencari keadilan? Di tengah pusaran stigma, traumatisasi, dan lambannya proses hukum, suara harapan kini menggema dari salah satu institusi pendidikan tertinggi di Indonesia. Universitas Gadjah Mada (UGM), melalui pernyataan tegasnya, mendesak pemerintah untuk segera memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi para korban kekerasan berbasis gender. Ini bukan sekadar desakan biasa, melainkan sebuah seruan moral dan intelektual yang menggarisbawahi urgensi penanganan isu krusial ini. Pertanyaannya, akankah suara kampus ini mampu mengguncang birokrasi dan mendorong perubahan nyata?

H2: Suara Akademisi: Mengapa UGM Turun Tangan?

Sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia, UGM memiliki peran strategis tidak hanya dalam mencetak intelektual bangsa, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam menyuarakan isu-isu sosial yang mendesak. Desakan UGM kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual bukan datang tanpa alasan. Data dan realitas lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual masih menjadi momok yang menghantui masyarakat, dengan korban seringkali terjebak dalam lingkaran ketidakadilan dan minimnya dukungan.

Pernyataan UGM ini merupakan bentuk tanggung jawab moral dan sosial kampus terhadap kondisi bangsa. Mereka memahami betul bahwa lingkungan akademik pun tidak kebal dari fenomena kekerasan seksual, dan banyak mahasiswa atau civitas akademika lainnya yang mungkin menjadi korban. Oleh karena itu, seruan ini memiliki relevansi ganda: tidak hanya untuk lingkungan internal kampus, tetapi juga sebagai representasi keprihatinan yang lebih luas terhadap seluruh korban di Indonesia. UGM mendesak perlindungan hukum yang tak hanya berfokus pada penegakan hukum bagi pelaku, tetapi juga pada pemulihan, rehabilitasi, dan pencegahan bagi korban. Ini menunjukkan pemahaman yang mendalam bahwa keadilan tidak hanya berarti hukuman bagi pelaku, tetapi juga pemulihan martabat dan hak-hak korban sepenuhnya.

H2: Jerat Hukum yang Belum Memihak: Tantangan Korban Mencari Keadilan

Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), perjalanan korban untuk mendapatkan keadilan masih penuh liku. UU TPKS memang menjadi angin segar, namun implementasinya membutuhkan komitmen dan sinkronisasi yang kuat dari berbagai pihak. Realitasnya, banyak korban masih menghadapi berbagai tantangan serius:

H3: Stigma dan Re-viktimisasi
Korban seringkali menghadapi stigma sosial yang berat, bahkan dari lingkungan terdekat. Proses pelaporan yang rumit, interogasi yang tidak sensitif, atau pandangan menyalahkan dari aparat penegak hukum dapat menyebabkan re-viktimisasi, memperparah trauma yang sudah ada. Alih-alih mendapatkan simpati dan dukungan, mereka justru dihakimi atau diragukan kesaksiannya.

H3: Kesenjangan Regulasi dan Pelaksanaan
Meskipun UU TPKS telah ada, masih terdapat kesenjangan dalam regulasi turunan dan pelaksanaan di lapangan. Koordinasi antarlembaga, ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih, serta anggaran yang memadai masih menjadi pekerjaan rumah. Hal ini menyebabkan penanganan kasus seringkali berjalan lambat dan tidak efektif.

H3: Kurangnya Dukungan Komprehensif
Perlindungan hukum tidak hanya sebatas penangkapan dan penghukuman pelaku. Korban membutuhkan dukungan psikologis, medis, dan sosial yang berkelanjutan. Banyak daerah di Indonesia yang masih minim fasilitas dan tenaga ahli untuk memberikan layanan ini secara optimal, membuat korban kesulitan untuk bangkit dari traumanya. Akses terhadap layanan hukum gratis juga masih terbatas, padahal banyak korban berasal dari keluarga ekonomi lemah.

H2: Membangun Ekosistem Perlindungan Komprehensif: Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah?

Desakan UGM ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan memperkuat komitmennya dalam melindungi korban kekerasan seksual. Perlindungan yang komprehensif berarti melibatkan berbagai aspek, bukan hanya sebatas vonis hakim. Berikut adalah beberapa langkah krusial yang harus segera diwujudkan:

H3: Penguatan Implementasi UU TPKS
Pemerintah perlu memastikan bahwa UU TPKS diimplementasikan secara maksimal. Ini termasuk penyusunan peraturan pelaksana yang jelas dan komprehensif, sosialisasi yang masif kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, serta pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaannya. Pelatihan khusus bagi hakim, jaksa, polisi, dan pekerja sosial yang menangani kasus kekerasan seksual sangat diperlukan agar mereka dapat bertindak dengan sensitivitas dan empati.

H3: Penyediaan Layanan Terpadu untuk Korban
Pemerintah wajib menyediakan rumah aman, pusat krisis, serta layanan psikologis, medis, dan bantuan hukum gratis yang mudah diakses oleh korban di seluruh pelosok Indonesia. Layanan ini harus bersifat rahasia, profesional, dan berorientasi pada pemulihan korban. Kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat sipil yang sudah berpengalaman di bidang ini juga sangat penting.

H3: Edukasi dan Pencegahan Berbasis Gender
Perlindungan terbaik adalah pencegahan. Pemerintah harus menggalakkan program edukasi yang masif tentang kesetaraan gender, pendidikan seks yang komprehensif, dan kampanye anti-kekerasan seksual mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat umum. Membangun budaya yang menghargai hak asasi manusia dan menolak segala bentuk kekerasan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan yang lebih aman.

H3: Transparansi dan Akuntabilitas
Proses penanganan kasus harus transparan dan akuntabel. Korban dan keluarga berhak mengetahui perkembangan kasus mereka. Pemerintah juga harus menjamin tidak adanya impunitas bagi pelaku, terlepas dari status sosial atau kekuasaannya.

H2: Dari Kampus ke Kebijakan: Harapan untuk Masa Depan

Desakan UGM ini adalah sebuah alarm keras. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil, diwakili oleh kaum intelektual, tidak akan berdiam diri melihat ketidakadilan terus berlangsung. Suara dari kampus memiliki kekuatan untuk membangun opini publik, menekan pembuat kebijakan, dan menginspirasi gerakan perubahan. Jika pemerintah merespons seruan ini dengan serius, ini bisa menjadi langkah maju yang signifikan dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan aman bagi semua, khususnya bagi para korban kekerasan seksual.

Masa depan bangsa sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan yang terlemah di antara kita. Perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual bukan hanya masalah keadilan, tetapi juga masalah kemanusiaan. Ini adalah ujian nyata bagi komitmen negara dalam menjaga martabat setiap warganya.

Mari kita dukung seruan UGM ini. Bagikan artikel ini, diskusikan di lingkungan Anda, dan terus kawal janji-janji perlindungan dari pemerintah. Karena setiap korban berhak atas keadilan, pemulihan, dan kehidupan yang bermartabat. Kapan negara akan benar-benar hadir seutuhnya untuk mereka? Waktu terus berjalan, dan para korban tak bisa menunggu lebih lama lagi.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.