Tolak Penggusuran Paksa: LBH Jakarta Tantang Pramono Anung, Keadilan Kota Dipertaruhkan!
LBH Jakarta mendesak Sekretaris Kabinet Pramono Anung untuk mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 207 Tahun 2016 yang menjadi dasar penggusuran paksa di Jakarta.
Tolak Penggusuran Paksa: LBH Jakarta Tantang Pramono Anung, Keadilan Kota Dipertaruhkan!
Jakarta, kota metropolitan yang gemerlap dengan gedung pencakar langit dan denyut ekonomi yang tak pernah berhenti, menyimpan sebuah ironi. Di balik kemajuan dan ambisi pembangunan, tersimpan kisah getir ribuan warganya yang hidup di bawah ancaman penggusuran. Kali ini, sorotan tajam mengarah pada satu regulasi kontroversial dan seruan keras dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kepada Sekretaris Kabinet (Setkab), Pramono Anung. Mereka mendesak agar Peraturan Gubernur (Pergub) yang menjadi landasan penggusuran paksa segera dicabut. Ini bukan sekadar isu hukum, melainkan pertaruhan besar bagi keadilan sosial dan wajah kemanusiaan Jakarta.
Mengapa Pergub ini begitu problematik? Mengapa LBH Jakarta harus turun tangan dan menantang langsung pejabat sekelas Pramono Anung? Mari kita selami lebih dalam polemik yang mengancam hak asasi manusia warga ibu kota ini.
Mengapa Pergub Ini Menjadi Sorotan? Polemik di Balik Regulasi Penggusuran
Pergub yang menjadi pangkal masalah adalah Pergub Nomor 207 Tahun 2016 tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak. Regulasi ini, yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), telah lama menjadi momok bagi komunitas-komunitas marjinal di Jakarta. LBH Jakarta menyebutnya sebagai dasar hukum bagi praktik-praktik penggusuran paksa yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi.
Akar Masalah: Sejarah dan Konteks Pergub 207 Tahun 2016
Pada awalnya, Pergub ini mungkin dirancang dengan niat untuk menertibkan tata ruang kota dan mengoptimalkan aset-aset pemerintah. Namun, dalam implementasinya, pasal-pasal di dalamnya justru menjadi alat legalisasi penggusuran massal tanpa melibatkan partisipasi warga yang terdampak secara meaningful dan tanpa menyediakan solusi permukiman yang adil dan layak. Frasa "pemakaian/penguasaan tanah tanpa izin yang berhak" seringkali disalahartikan dan diterapkan pada permukiman warga yang telah mendiami suatu area selama puluhan tahun, bahkan melahirkan generasi. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah dan identitas kota, namun rentan dilabeli "ilegal" demi proyek-proyek pembangunan atau "penataan kota."
Pergub ini seringkali digunakan sebagai tameng hukum untuk melakukan penggusuran tanpa dialog yang setara, tanpa ganti rugi yang layak, apalagi relokasi yang manusiawi. Ini menciptakan ketidakadilan struktural yang mendalam, di mana hak-hak dasar warga negara, terutama hak atas tempat tinggal yang layak, terabaikan.
Dampak Kemanusiaan: Korban dan Hak Asasi yang Terlanggar
Konsekuensi dari penerapan Pergub ini sangatlah tragis. Ribuan keluarga telah kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, dan jaring pengaman sosial mereka. Anak-anak terpaksa putus sekolah, akses kesehatan menjadi sulit, dan trauma psikologis mendalam menghantui. Hak atas tempat tinggal yang layak, yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai konvensi internasional, secara terang-terangan dilanggar.
Tidak hanya itu, penggusuran paksa seringkali diwarnai dengan kekerasan dan intimidasi, menambah derita bagi warga yang tidak berdaya. Mereka dipaksa pindah ke tempat-tempat relokasi yang jauh dari pusat kota, minim fasilitas, dan tanpa mempertimbangkan akses ke pekerjaan atau pendidikan. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan tidak bisa dibiarkan terus-menerus terjadi.
Suara LBH Jakarta: Pembelaan Hak Rakyat Kecil dan Seruan Mendesak
Sebagai garda terdepan pembela hak-hak sipil, LBH Jakarta tidak tinggal diam. Mereka telah lama mengadvokasi korban penggusuran dan kini, dengan tegas, mendesak Pramono Anung untuk mencabut Pergub ini. Mengapa Setkab menjadi sasaran utama desakan ini? Karena Setkab, di bawah koordinasi Pramono Anung, memiliki peran strategis dalam meninjau dan mengevaluasi peraturan daerah, termasuk Pergub, yang berpotensi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau melanggar hak asasi manusia.
Argumen Hukum dan Kemanusiaan LBH
LBH Jakarta menegaskan bahwa Pergub 207/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, Pergub ini juga dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai prinsip hak asasi manusia internasional, termasuk Komentar Umum No. 7 Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB tentang Hak atas Perumahan yang Layak.
Secara kemanusiaan, LBH Jakarta menekankan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan memajukan hak asasi warganya, bukan malah menjadi alat yang melegitimasi perampasan hak-hak tersebut. Pembangunan kota seharusnya bersifat inklusif dan partisipatif, menempatkan warga sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Permintaan Tegas kepada Pramono Anung
Desakan kepada Pramono Anung bukanlah tanpa alasan. Posisi Setkab memungkinkan adanya intervensi untuk mengoreksi kebijakan daerah yang bermasalah. LBH Jakarta berharap Setkab dapat bertindak sebagai penyeimbang dan pelindung hak asasi warga dengan membatalkan atau mencabut Pergub 207/2016. Langkah ini akan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah pusat serius dalam menghormati dan melindungi hak-hak dasar warganya, khususnya kelompok rentan.
Implikasi Jika Pergub Tetap Berlaku
Jika Pergub ini tidak dicabut, LBH Jakarta memprediksi bahwa gelombang penggusuran paksa akan terus berlanjut, semakin memperdalam krisis kemanusiaan di Jakarta. Konflik sosial akan terus membayangi, menciptakan polarisasi antara pemerintah dan warganya. Reputasi Jakarta sebagai kota yang ramah investasi dan berbudaya akan tercoreng oleh praktik-praktik yang tidak manusiawi. Ini juga dapat mengirimkan pesan berbahaya bahwa pembangunan kota dapat dilakukan dengan mengorbankan hak-hak dasar masyarakat.
Perspektif Pemerintah dan Tantangan Penataan Kota
Tentu saja, pemerintah memiliki perspektifnya sendiri terkait penataan kota dan pembangunan. Jakarta, sebagai ibu kota negara, menghadapi tekanan luar biasa dalam hal infrastruktur, kepadatan penduduk, dan kebutuhan akan ruang publik. Ada dorongan kuat untuk menciptakan kota yang modern, tertata, dan berkelanjutan.
Dilema Pembangunan dan Kebutuhan Ruang Publik
Pemerintah seringkali berargumen bahwa penggusuran adalah langkah yang tak terhindarkan untuk mewujudkan penataan kota, membangun infrastruktur penting seperti jalan, jalur kereta, atau mengembalikan fungsi lahan menjadi ruang terbuka hijau. Ada dilema antara kebutuhan akan pembangunan fisik dan perlindungan terhadap keberadaan permukiman warga. Namun, pendekatan yang mengorbankan hak asasi manusia jelas bukan solusi yang berkelanjutan.
Mencari Solusi Berkelanjutan: Antara Penataan dan Perlindungan Hak
Solusi yang lebih adil dan berkelanjutan harus mengedepankan dialog, partisipasi, dan musyawarah. Pendekatan seperti "in-situ upgrading" (penataan di tempat), relokasi yang layak dan mendekati tempat tinggal semula, serta ganti rugi yang adil dan transparan adalah beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan. Pembangunan kota harus berjalan seiring dengan perlindungan hak-hak warganya, bukan saling menegasikan. Partisipasi aktif masyarakat terdampak dalam setiap tahapan perencanaan dan implementasi proyek pembangunan adalah kunci utama untuk mencapai keadilan kota.
Masa Depan Keadilan Kota: Harapan dan Aksi Nyata
Desakan LBH Jakarta kepada Pramono Anung adalah sebuah panggilan untuk refleksi kolektif tentang model pembangunan yang kita inginkan. Apakah kita ingin kota yang megah namun penuh tangisan, atau kota yang inklusif di mana setiap warganya memiliki hak dan martabat yang sama?
Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap perlindungan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Pencabutan Pergub 207/2016 bukan hanya tindakan hukum, tetapi juga pernyataan moral yang kuat bahwa Jakarta adalah rumah bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang kuat secara ekonomi.
LBH Jakarta telah menyuarakan suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Sekarang, bola ada di tangan Pramono Anung dan seluruh jajaran pemerintahan untuk membuktikan bahwa keadilan kota bukan hanya sekadar slogan, melainkan prinsip yang dipegang teguh dalam setiap kebijakan.
Kesimpulan: Mendesak Keadilan, Menggagas Masa Depan Jakarta yang Lebih Inklusif
Polemik Pergub 207/2016 dan desakan LBH Jakarta kepada Pramono Anung adalah cerminan dari tantangan besar dalam mencapai keadilan kota di tengah laju pembangunan. Sudah saatnya kita meninjau ulang regulasi yang merampas hak asasi dan merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Pencabutan Pergub ini akan menjadi langkah awal yang krusial menuju Jakarta yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkeadilan. Mari kita dukung upaya advokasi ini dan terus mengawal agar hak-hak dasar warga tidak lagi menjadi korban ambisi pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.