Standar Ganda Politik AS: Lawrence O'Donnell Soroti Gaffes Pardon Trump yang 'Langsung Dimakzulkan' Jika Dilakukan Biden

Standar Ganda Politik AS: Lawrence O'Donnell Soroti Gaffes Pardon Trump yang 'Langsung Dimakzulkan' Jika Dilakukan Biden

Lawrence O'Donnell dari MSNBC menyatakan bahwa "gaffes" Presiden Trump terkait pengampunan, seperti menghubungi orang yang diampuni, akan "langsung memicu pemakzulan" jika dilakukan oleh Presiden Biden.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Dalam lanskap politik Amerika Serikat yang sering kali diwarnai polarisasi, isu tentang kekuasaan presiden dan batas-batasnya selalu menjadi sorotan tajam. Baru-baru ini, pernyataan tajam dari pembawa acara MSNBC, Lawrence O'Donnell, kembali memanaskan perdebatan publik. O'Donnell secara blak-blakan menyoroti "gaffes" atau kesalahan Presiden Donald Trump terkait pengampunan, dengan tegas menyatakan bahwa tindakan serupa yang dilakukan oleh Presiden Joe Biden akan "langsung memicu pemakzulan" (immediately impeachable). Pernyataan ini tidak hanya memicu diskusi tentang standar ganda dalam politik, tetapi juga mengangkat pertanyaan fundamental mengenai akuntabilitas kepresidenan dan etika kekuasaan.

Mengurai Kontroversi Pengampunan Trump

Kekuatan pengampunan presiden adalah salah satu hak prerogatif terkuat yang dipegang oleh pemimpin negara, yang tertuang dalam Konstitusi Amerika Serikat. Namun, seperti semua kekuatan, ia memiliki potensi untuk disalahgunakan atau setidaknya diinterpretasikan secara kontroversial. Dalam kasus yang disorot oleh O'Donnell, mantan Presiden Trump dituduh melakukan beberapa tindakan yang meragukan etika seputar pengampunan.

Salah satu insiden paling menonjol adalah laporan bahwa Trump secara pribadi menelepon individu-individu yang telah ia ampuni, seperti Roger Stone. Tindakan ini, bagi banyak pengamat hukum dan politik, menimbulkan kekhawatiran serius. Mengapa seorang presiden perlu menelepon seseorang yang baru saja ia bebaskan dari hukuman? Apa isi percakapan tersebut? Apakah ada implikasi tersembunyi, seperti upaya mempengaruhi kesaksian, menghalangi penyelidikan, atau bahkan memberi sinyal untuk tindakan di masa depan yang dapat menguntungkan sang presiden?

Menurut O'Donnell dan kritikus lainnya, percakapan semacam itu dapat dilihat sebagai bentuk obstruksi keadilan, atau setidaknya upaya untuk menciptakan kesetiaan pribadi yang melampaui batas-batas jabatan publik. Konteksnya menjadi semakin rumit ketika mempertimbangkan tuduhan bahwa Trump mungkin telah menggunakan kekuasaan pengampunan tidak hanya untuk mengoreksi apa yang ia yakini sebagai ketidakadilan, tetapi juga untuk melindungi sekutu politik atau bahkan dirinya sendiri dari konsekuensi hukum di masa depan. Misalnya, spekulasi tentang potensi pengampunan sebelum penyelidikan selesai atau sebelum dakwaan diajukan telah lama menjadi poin perdebatan panas, yang menguji batas-batas konstitusional dari kekuasaan tersebut.

Standar Ganda di Mata O'Donnell: 'Langsung Dimakzulkan jika Biden yang Melakukan'

Poin inti dari kritik Lawrence O'Donnell terletak pada dugaan adanya standar ganda yang mencolok dalam cara tindakan politik dievaluasi. Ia berargumen bahwa jika Presiden Biden melakukan hal serupa—misalnya, menghubungi individu yang baru saja ia ampuni dan terlibat dalam percakapan yang dipertanyakan—maka reaksi politik, terutama dari pihak oposisi, akan jauh lebih keras dan kemungkinan besar akan memicu seruan untuk pemakzulan segera.

"Jika Joe Biden melakukan tindakan semacam itu, ia akan langsung dimakzulkan oleh Kongres," ujar O'Donnell dalam komentarnya, menekankan betapa cepat dan parahnya tanggapan yang akan muncul dari spektrum politik yang berbeda. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi dari pola yang diamati di Washington, di mana tindakan yang dianggap dapat diterima atau diabaikan ketika dilakukan oleh satu pihak, dapat menjadi "kejahatan pemakzulan" (impeachable offense) ketika dilakukan oleh pihak lain.

Mengapa standar ini tampak berbeda? Sebagian besar jawabannya terletak pada polarisasi politik yang mendalam di AS. Partai oposisi cenderung lebih agresif dalam mencari kesalahan pada presiden dari partai lawan, dan media berita seringkali terbagi dalam liputannya, mencerminkan kesetiaan atau penolakan partisan. Ini menciptakan iklim di mana tindakan yang sama persis dapat dilihat melalui lensa yang sangat berbeda, menghasilkan penilaian moral dan hukum yang kontradiktif. O'Donnell secara efektif menantang para pembuat kebijakan dan masyarakat untuk merenungkan inkonsistensi ini, menyerukan penerapan standar yang sama terhadap semua pejabat publik, terlepas dari afiliasi politik mereka. Ini adalah seruan untuk konsistensi dalam etika kepresidenan dan akuntabilitas.

Batas Kekuasaan Presiden dan Preseden Hukum

Komentar O'Donnell juga memaksa kita untuk kembali memeriksa batas-batas kekuasaan pengampunan presiden dan bagaimana interpretasinya telah berkembang seiring waktu. Kekuatan ini, meskipun luas, tidak seharusnya digunakan untuk tujuan yang melanggar hukum atau merusak institusi demokrasi. Para pendiri bangsa memberikan kekuasaan ini untuk memberikan belas kasih atau mengoreksi kesalahan sistem peradilan, bukan untuk melindungi dari kejahatan atau menghalangi keadilan.

Secara historis, upaya untuk menyalahgunakan kekuasaan pengampunan selalu menimbulkan kontroversi. Contoh paling terkenal mungkin adalah pengampunan Richard Nixon oleh Gerald Ford, yang meskipun bertujuan untuk menyembuhkan negara, tetap menjadi subjek perdebatan sengit tentang apakah itu melindungi seorang presiden dari konsekuensi penuh tindakannya. Perdebatan seputar "gaffes" Trump dan pengampunan mencerminkan kekhawatiran bahwa kekuasaan ini dapat digunakan sebagai alat untuk menghindari akuntabilitas, bukan untuk tujuan keadilan.

Para ahli hukum konstitusi sering menekankan bahwa meskipun pengampunan adalah hak prerogatif mutlak, niat di baliknya tetap relevan. Jika tujuan di balik pengampunan adalah untuk menghalangi keadilan, melindungi diri sendiri dari penyelidikan, atau untuk membeli kesetiaan politik, maka itu dapat melewati batas dari penggunaan kekuasaan yang sah menjadi penyalahgunaan yang dapat dikenakan sanksi, termasuk pemakzulan. Perdebatan ini bukan hanya tentang Trump atau Biden, melainkan tentang preseden yang ditetapkan untuk masa depan kepresidenan Amerika dan integritas sistem hukumnya.

Implikasi Politik dan Respons Publik

Pernyataan O'Donnell, meskipun kontroversial, memiliki implikasi politik yang signifikan. Ini memperkuat narasi tentang "hukum yang berbeda" untuk tokoh politik tertentu, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Bagi mereka yang sudah skeptis terhadap elite politik, komentar seperti ini menegaskan pandangan mereka bahwa keadilan seringkali bias.

Di sisi lain, bagi para pendukung Trump, kritik ini mungkin dianggap sebagai serangan partisan lainnya dari media liberal. Respons publik kemungkinan akan terbagi secara tajam, sesuai dengan garis partai yang sudah ada. Namun, di luar kebisingan partisan, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: Apakah ada standar universal untuk perilaku etis dan akuntabilitas bagi presiden, terlepas dari afiliasi partai mereka?

Media massa, dalam konteks ini, memainkan peran krusial dalam menyoroti inkonsistensi semacam itu dan mendorong dialog yang lebih luas tentang prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan kepresidenan. Dengan mengangkat isu-isu ini, O'Donnell dan media lainnya membantu menjaga tekanan pada pejabat terpilih untuk bertindak dengan integritas dan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Konstitusi dan harapan publik.

Momen Kebenaran untuk Demokrasi Amerika?

Kritik Lawrence O'Donnell terhadap "gaffes" pengampunan Trump dan perbandingan hipotetisnya dengan tindakan Biden bukanlah sekadar komentar biasa. Ini adalah sebuah pengingat tajam tentang kerapuhan prinsip akuntabilitas di tengah-tengah lanskap politik yang terpolarisasi. Ini memaksa kita untuk bertanya: Apakah kita, sebagai warga negara, siap untuk menegakkan standar etika dan hukum yang sama untuk semua orang, termasuk dan terutama bagi mereka yang memegang jabatan tertinggi?

Debat ini jauh melampaui individu-individu yang terlibat; ini adalah tentang integritas institusi demokrasi Amerika. Jika perbedaan dalam perlakuan hukum terus-menerus didasarkan pada afiliasi politik, maka fondasi kepercayaan publik dan keadilan yang setara akan terus terkikis. Ini adalah momen untuk merefleksikan kembali nilai-nilai fundamental yang menopang sistem pemerintahan, dan untuk menuntut konsistensi dalam penegakan hukum dan etika bagi semua.

Bagaimana menurut Anda? Apakah ada standar ganda dalam politik AS? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah ini!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.