Skandal Kementan: Perintah 'Dislike' Berita Amran Sulaiman, Etika Publik Dipertanyakan!

Skandal Kementan: Perintah 'Dislike' Berita Amran Sulaiman, Etika Publik Dipertanyakan!

Kementerian Pertanian (Kementan) menghadapi polemik setelah Sekjen Muhammad Hatta menginstruksikan pegawainya untuk "dislike" dan report konten tentang Amran Sulaiman (mantan Menteri Pertanian) serta "like" dan komentar positif pada konten tentang Menteri Pertanian saat ini, Andi Amran Sulaiman.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Skandal Kementan: Perintah 'Dislike' Berita Amran Sulaiman, Etika Publik Dipertanyakan!

Dalam lanskap digital yang semakin masif, opini publik menjadi mata uang berharga. Setiap klik, suka, atau komentar memiliki bobotnya sendiri dalam membentuk narasi. Namun, bagaimana jadinya jika pembentukan opini ini tidak lagi organik, melainkan melalui instruksi terstruktur dari sebuah lembaga pemerintah kepada para pegawainya? Inilah pertanyaan yang muncul setelah sebuah kabar mengejutkan datang dari Kementerian Pertanian (Kementan). Sebuah perintah internal yang meminta Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk secara aktif 'dislike' konten tertentu dan 'like' konten lainnya, telah memicu polemik luas dan mempertanyakan kembali integritas serta etika ASN di era digital.

Kabar ini bukan sekadar bisik-bisik, melainkan sebuah arahan yang terekam jelas, menyeret Kementan ke dalam sorotan tajam publik. Di tengah tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas, insiden ini menjadi ujian berat bagi komitmen pemerintah terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi. Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkara di balik perintah kontroversial ini, menganalisis implikasinya terhadap etika birokrasi, netralitas ASN, dan masa depan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.

Latar Belakang Perintah Kontroversial: Ketika Jempol Diarahkan

Berita yang dilansir Tempo.co mengungkap adanya instruksi yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Muhammad Hatta, melalui grup WhatsApp internal Kementan. Arahan tersebut cukup eksplisit: para pegawai diminta untuk 'dislike' konten atau berita yang menyoroti nama Amran Sulaiman (mantan Menteri Pertanian) serta melakukan report terhadap konten tersebut. Sebaliknya, mereka diinstruksikan untuk memberikan 'like' dan komentar positif pada konten atau berita yang berkaitan dengan Menteri Pertanian saat ini, Andi Amran Sulaiman.

Perintah ini, yang dikonfirmasi oleh Sekjen Hatta sebagai upaya "perbaikan citra," sontak memicu gelombang kekhawatiran. Bagaimana mungkin sebuah institusi pemerintah mengeluarkan instruksi yang secara langsung mengintervensi dinamika opini publik di media sosial? Peran ASN, yang seharusnya melayani publik secara netral dan profesional, kini dipertanyakan ketika mereka diminta untuk bertindak layaknya "buzzer" atau tim digital propaganda. Ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah arahan dari pejabat tinggi kepada bawahan, yang dalam konteks birokrasi dapat diartikan sebagai kewajiban.

Mengapa Perintah Ini Menjadi Polemik? Menilik Sisi Etika dan Demokrasi

Perintah 'dislike' dan 'like' ini bukan sekadar masalah teknis penggunaan media sosial. Ia menyentuh inti dari beberapa pilar penting dalam tata kelola pemerintahan yang baik:

Etika Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Netralitas
ASN adalah tulang punggung pemerintahan. Mereka digaji oleh rakyat untuk melayani rakyat, bukan untuk memihak atau memanipulasi informasi demi kepentingan individu atau kelompok tertentu. Prinsip netralitas ASN adalah fundamental, memastikan bahwa pelayanan publik tidak terpengaruh oleh afiliasi politik atau agenda pribadi pejabat. Ketika ASN diinstruksikan untuk 'menyerang' atau 'mendukung' citra individu melalui media sosial, netralitas mereka tercoreng. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan objektivitas mereka dalam menjalankan tugas sehari-hari. Apakah penilaian mereka terhadap kebijakan atau kinerja akan tetap murni, ataukah terdistorsi oleh kebutuhan untuk mengikuti narasi yang diarahkan?

Manipulasi Opini Publik dan Demokrasi Digital
Era digital seharusnya menjadi ruang bagi dialog yang terbuka dan informasi yang transparan. Intervensi semacam ini, di mana pemerintah secara aktif berusaha membentuk persepsi publik dengan cara yang tidak organik, adalah bentuk manipulasi. Ini merusak fondasi demokrasi digital yang mengandalkan pertukaran ide dan informasi yang bebas serta jujur. Jika warga negara tidak dapat lagi mempercayai bahwa informasi yang mereka konsumsi di media sosial adalah hasil dari opini murni, maka ruang publik digital kita terancam menjadi arena propaganda. Dampaknya bisa sangat luas, mulai dari mereduksi kepercayaan publik terhadap media, hingga mengikis fondasi demokrasi itu sendiri.

Batasan Kebebasan Berekspresi dan Hak Pegawai
Instruksi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan berekspresi para pegawai. Meskipun mereka adalah ASN, mereka juga individu dengan hak untuk memiliki dan mengekspresikan pandangan pribadi. Memaksa mereka untuk berpartisipasi dalam kampanye digital semacam itu, terutama jika bertentangan dengan keyakinan atau etika pribadi mereka, bisa dianggap sebagai pelanggaran hak. Dalam lingkungan kerja yang hierarkis, menolak perintah dari atasan bisa memiliki konsekuensi serius bagi karier seorang pegawai, menciptakan dilema etis yang sulit.

Reaksi dan Implikasi Lebih Lanjut: Membangun Kembali Kepercayaan

Setelah berita ini mencuat, wajar jika muncul berbagai reaksi dari masyarakat, pengamat kebijakan publik, hingga lembaga pengawas. Organisasi masyarakat sipil mungkin akan menyuarakan keprihatinan tentang penyalahgunaan wewenang dan pembajakan ruang digital. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Ombudsman Republik Indonesia berpotensi melakukan investigasi untuk memastikan apakah ada pelanggaran kode etik atau maladministrasi.

Implikasi jangka panjang dari insiden ini bisa sangat merugikan. Reputasi Kementerian Pertanian, yang seharusnya fokus pada ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, bisa tercoreng. Lebih jauh lagi, insiden ini dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintah secara umum. Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah mereka terlibat dalam taktik manipulatif, akan sulit bagi mereka untuk mempercayai informasi resmi atau berpartisipasi aktif dalam kebijakan publik.

Untuk membangun kembali kepercayaan, Kementan perlu segera mengambil langkah-langkah konkret. Ini bisa dimulai dengan klarifikasi yang jujur, peninjauan ulang terhadap kebijakan komunikasi digital, dan penegasan kembali komitmen terhadap etika ASN. Edukasi tentang penggunaan media sosial yang bertanggung jawab dan etis bagi seluruh pegawai juga sangat penting.

Menjaga Integritas Digital Lembaga Publik: Belajar dari Skandal

Kasus Kementan ini harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh lembaga publik di Indonesia. Di era digital, komunikasi pemerintah harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran. Upaya "perbaikan citra" tidak seharusnya dilakukan melalui manipulasi, melainkan dengan kinerja nyata dan komunikasi yang faktual.

Strategi komunikasi digital pemerintah harus berfokus pada:
1. Penyampaian Informasi yang Akurat dan Terpercaya: Menjadi sumber informasi yang kredibel dan dapat diandalkan.
2. Engagement yang Konstruktif: Berinteraksi dengan publik untuk mendengar masukan, menjawab pertanyaan, dan membangun dialog.
3. Transparansi Penuh: Mengakui kesalahan, memberikan penjelasan yang jelas, dan menghindari penggunaan taktik yang tersembunyi.
4. Penegasan Etika Digital: Menetapkan pedoman yang jelas bagi ASN mengenai perilaku etis di media sosial, yang menekankan netralitas dan profesionalisme.

Insiden di Kementan adalah pengingat penting bahwa kekuatan digital harus digunakan dengan bijak dan etis, terutama oleh lembaga negara. Kredibilitas dan kepercayaan publik adalah aset tak ternilai yang dibangun melalui integritas, bukan melalui perintah 'dislike'.

Kesimpulan Akhir: Membangun Budaya Transparansi dan Etika

Perintah 'dislike' dari Kementerian Pertanian bukan sekadar insiden kecil di media sosial. Ini adalah indikator serius tentang potensi erosi etika dan netralitas di tubuh birokrasi, serta ancaman terhadap integritas ruang publik digital kita. Ketika para pelayan publik diarahkan untuk memanipulasi opini, nilai-nilai demokrasi dan kepercayaan masyarakat terancam.

Pemerintah, sebagai pelayan rakyat, memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan dalam transparansi, akuntabilitas, dan etika. Kasus ini harus menjadi momentum untuk refleksi mendalam dan perbaikan sistemik. Mari kita tuntut agar setiap institusi negara beroperasi dengan integritas penuh, menghormati hak-hak warganya, dan menjaga ruang publik kita tetap sehat dan jujur. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mendorong diskusi tentang pentingnya etika dalam tata kelola digital pemerintahan!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.