Sikap Menteri Pigai Soal Revisi KUHAP: Goncang Reputasi HAM Indonesia di PBB?
YLBHI mengkritik keras sikap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (disebut "Menteri Pigai" dalam konteks ini) terkait revisi KUHAP, khususnya pada pasal pembatasan penangkapan dan penahanan.
Sikap Menteri Pigai Soal Revisi KUHAP: Goncang Reputasi HAM Indonesia di PBB?
Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali memanas, memicu kekhawatiran serius di kalangan pegiat hak asasi manusia. Kali ini, sorotan tajam datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terhadap pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, yang disoroti YLBHI dengan sebutan "Menteri Pigai" dalam konteks ini, terkait aspek krusial pembatasan penangkapan dan penahanan. YLBHI secara lantang memperingatkan bahwa sikap yang cenderung mengabaikan standar hak asasi manusia (HAM) internasional dapat mencemari reputasi Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mengapa isu ini begitu genting dan berpotensi menjadi bumerang bagi citra bangsa di kancah global? Mari kita telusuri lebih dalam.
Revisi KUHAP: Antara Kebutuhan Modernisasi dan Perlindungan HAM Mendasar
Revisi KUHAP adalah upaya mendesak untuk memperbarui kerangka hukum pidana Indonesia yang telah usang. Kitab undang-undang ini telah menjadi tulang punggung sistem peradilan pidana Indonesia sejak tahun 1981, dan seiring perkembangan zaman, sudah saatnya disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan masyarakat modern. Tujuannya mulia: menyempurnakan sistem peradilan pidana agar lebih adaptif, modern, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Namun, di balik ambisi besar tersebut, terselip pasal-pasal sensitif yang menjadi sumber kekhawatiran serius bagi pegiat HAM dan masyarakat sipil.
Salah satu poin krusial yang menjadi perdebatan sengit adalah pembahasan mengenai pembatasan penangkapan dan penahanan. Dalam revisi yang diusulkan, terdapat kekhawatiran kuat bahwa ketentuan ini justru akan melemahkan perlindungan hak-hak dasar tersangka dan terdakwa. Pembatasan yang tidak jelas, ambigu, atau bahkan terlalu longgar, dapat membuka celah bagi praktik sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Hal ini berpotensi besar melanggar hak asasi manusia fundamental, seperti hak atas kebebasan, hak untuk tidak disiksa, dan hak atas proses hukum yang adil (due process of law). YLBHI, bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, berulang kali menyerukan agar revisi ini secara konsisten selaras dengan prinsip-prinsip HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, guna memastikan semangat reformasi hukum tidak mengorbankan perlindungan individu.
Kontroversi Sikap Menteri Pigai: Nasionalisme Versus Ketaatan Hukum Internasional
Pernyataan Menteri Pigai (Menkumham Yasonna Laoly) dalam konteks revisi KUHAP inilah yang memicu gejolak dari YLBHI. Kritik YLBHI secara spesifik menyasar sikap yang cenderung mengabaikan atau meremehkan masukan dari pihak luar, termasuk dari lembaga-lembaga internasional atau bahkan standar HAM global yang bersifat universal. YLBHI menyoroti bahwa Menteri Pigai terkesan melihat kritik atas isu HAM sebagai intervensi asing yang tidak relevan dengan kedaulatan Indonesia.
Argumen yang mengedepankan kedaulatan negara secara absolut tanpa mempertimbangkan kewajiban internasional Indonesia dalam bidang HAM adalah titik pangkal permasalahan. Dalam banyak kesempatan, Pigai, sebagai figur publik, seringkali menyampaikan pandangan yang menekankan pentingnya "HAM versi Indonesia" atau menolak apa yang ia sebut "HAM ala Barat". Meskipun semangat nasionalisme itu penting dan patut dihargai, YLBHI berpendapat bahwa pandangan tersebut berisiko mengisolasi Indonesia dari komunitas global. Lebih jauh, hal ini dapat mengabaikan komitmen negara terhadap perjanjian HAM internasional yang telah ditandatangani dan diratifikasi. Sikap ini, menurut YLBHI, justru dapat merusak fondasi demokrasi dan supremasi hukum yang telah dibangun susah payah di Indonesia pasca-reformasi.
YLBHI Bersuara Lantang: Ancaman Serius Reputasi Indonesia di Forum PBB
Kekhawatiran YLBHI bukan tanpa dasar dan harus dianggap serius. Sebagai salah satu garda terdepan pembela hak asasi manusia di Indonesia selama puluhan tahun, YLBHI memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika hukum dan politik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Mereka secara tegas memperingatkan bahwa jika revisi KUHAP disahkan dengan pasal-pasal yang berpotensi melanggar HAM, ditambah dengan sikap pemerintah yang defensif atau menolak kritik, maka reputasi Indonesia di forum PBB akan berada di ujung tanduk.
Secara khusus, YLBHI menyoroti dua mekanisme penting: Universal Periodic Review (UPR) dan Komite HAM PBB. UPR adalah mekanisme penting di mana setiap negara anggota PBB dievaluasi secara berkala terkait catatan HAM-nya. Ketika Indonesia menyampaikan laporannya, perwakilan negara-negara lain, organisasi masyarakat sipil internasional, dan pakar PBB akan menyoroti secara cermat setiap celah dalam perlindungan HAM, termasuk implikasi dari revisi KUHAP. Pernyataan seorang menteri yang cenderung meremehkan kritik HAM akan menjadi amunisi tambahan bagi pihak-pihak yang ingin mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap HAM.
Dampaknya bisa serius: citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM bisa tercoreng, mengurangi kepercayaan internasional, dan bahkan berpotensi mempengaruhi hubungan diplomatik serta investasi asing. Ini bukan sekadar masalah internal negara, melainkan cerminan komitmen Indonesia sebagai anggota masyarakat global yang beradab dan bertanggung jawab.
Komitmen Internasional Indonesia: Kewajiban yang Tak Terbantahkan
Indonesia adalah negara penandatangan berbagai perjanjian dan konvensi HAM internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT), dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR). Penandatanganan ini bukan hanya sekadar formalitas, melainkan sebuah ikrar dan komitmen yang mengikat untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM ke dalam legislasi dan praktik nasional.
Oleh karena itu, setiap kebijakan dan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara, termasuk revisi KUHAP, harus selaras dengan standar-standar tersebut. Ketika ada indikasi kuat bahwa revisi hukum justru berpotensi melemahkan perlindungan HAM, maka wajar jika masyarakat internasional, melalui mekanisme PBB, akan menaruh perhatian. Pengalaman negara-negara lain di seluruh dunia menunjukkan bahwa mengabaikan standar HAM internasional dapat berujung pada isolasi diplomatik, sanksi ekonomi, dan hilangnya kepercayaan global. Indonesia, dengan sejarah panjang perjuangan demokrasi dan HAM, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap langkah legislatifnya mencerminkan komitmen tersebut, bukan malah mengikisnya.
Menjaga Keseimbangan: Jalan Tengah Demi Kedaulatan dan Hak Asasi Manusia
Merespons kekhawatiran ini, jalan ke depan bagi pemerintah adalah dengan membuka ruang dialog yang lebih luas dan substansial. Mendengarkan masukan dari YLBHI, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil bukan berarti mengorbankan kedaulatan, melainkan justru memperkuatnya melalui kebijakan yang partisipatif, inklusif, dan berlandaskan akuntabilitas.
Kedaulatan negara akan semakin kokoh jika didasarkan pada perlindungan hak-hak fundamental warga negara dan penghormatan terhadap hukum internasional yang telah disepakati bersama. Penting bagi pemerintah untuk menunjukkan kesediaan meninjau kembali pasal-pasal kontroversial dalam revisi KUHAP, terutama yang berkaitan dengan pembatasan penangkapan dan penahanan. Transparansi dalam proses legislasi dan memastikan bahwa setiap ketentuan hukum menjamin hak-hak tersangka dan terdakwa adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik. Ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk membuktikan kepada dunia bahwa negara ini serius dalam menjaga keseimbangan antara penegakan hukum yang efektif dan perlindungan hak asasi manusia yang universal. Edukasi publik mengenai hak-hak hukum dasar juga harus digalakkan agar masyarakat lebih berdaya dalam menghadapi proses hukum.
Kesimpulan
Kontroversi seputar revisi KUHAP dan sikap Menteri Pigai adalah pengingat penting bahwa isu hak asasi manusia bukanlah sekadar urusan internal. Ia memiliki dimensi global yang tak terpisahkan dari reputasi dan posisi Indonesia di mata dunia. Peringatan dari YLBHI harus dianggap serius sebagai upaya kolektif untuk menjaga marwah bangsa dan memastikan bahwa pembangunan hukum di Indonesia sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan hukum internasional.
Masa depan penegakan hukum dan citra HAM Indonesia di kancah internasional sangat bergantung pada bagaimana pemerintah menyikapi kritik ini. Apakah kita akan memperkuat komitmen HAM atau justru mempertaruhkan kredibilitas di mata PBB dan dunia? Mari kita bersama-sama mengawal proses revisi KUHAP ini, memastikan bahwa hukum yang lahir adalah hukum yang adil, manusiawi, dan membanggakan di mata dunia. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mari suarakan pandangan Anda demi Indonesia yang lebih baik, di mana hak asasi manusia dihormati dan dilindungi sepenuhnya!
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.