RUU KUHAP Disahkan DPR: Ancaman Bagi Hak Sipil, Mengapa Rakyat Menolak Keras?

RUU KUHAP Disahkan DPR: Ancaman Bagi Hak Sipil, Mengapa Rakyat Menolak Keras?

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang, yang memicu penolakan luas dari masyarakat sipil.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Denting palu sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada [tanggal asumsi, misalnya: beberapa waktu lalu] menandai sebuah keputusan monumental: pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang. Di satu sisi, langkah ini diklaim sebagai upaya modernisasi dan penyesuaian hukum pidana di Indonesia. Namun, di sisi lain, keputusan ini justru disambut dengan gelombang penolakan keras dari masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, akademisi, hingga mahasiswa. Pertanyaan besar pun menggantung: Mengapa RUU KUHAP yang kini telah menjadi UU ini begitu ditolak, dan apa saja implikasi serius yang mengancam hak-hak sipil kita?

***

Apa Itu KUHAP dan Mengapa Perubahannya Begitu Krusial?



Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah landasan utama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP mengatur seluruh prosedur yang harus dilalui dalam penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan. Ia adalah penjaga gerbang keadilan, memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil dan sesuai prosedur hukum ketika berhadapan dengan tuduhan pidana.

KUHAP yang berlaku saat ini merupakan warisan dari era kolonial yang telah mengalami berbagai penyesuaian. Kebutuhan untuk memperbarui KUHAP memang menjadi keniscayaan, mengingat dinamika masyarakat, perkembangan teknologi, dan tantangan kejahatan yang semakin kompleks. Namun, pembaruan ini seharusnya tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan demokrasi. Justru di sinilah letak inti permasalahan RUU KUHAP yang baru disahkan. Para penolak berpendapat, alih-alih memperkuat keadilan, UU KUHAP yang baru ini justru berpotensi melemahkan perlindungan hak-hak dasar warga negara dan memperluas celah penyalahgunaan wewenang.

***

Poin-Poin Kontroversial dalam UU KUHAP yang Membuat Publik Marah



Penolakan masyarakat sipil terhadap UU KUHAP bukan tanpa alasan. Ada beberapa pasal kunci yang menjadi sorotan tajam dan dianggap berbahaya bagi demokrasi serta penegakan hak asasi manusia.

Penggeledahan dan Penyitaan Tanpa Kontrol Efektif



Salah satu pasal paling mengkhawatirkan adalah terkait kewenangan penggeledahan dan penyitaan. Dalam KUHAP lama, proses ini mensyaratkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri untuk mencegah tindakan sewenang-wenang. Namun, dalam UU KUHAP yang baru, terdapat beberapa ketentuan yang dianggap membuka celah bagi penyidik (Polisi atau Jaksa) untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan tanpa izin atau dengan izin yang bersifat menyusul. Kondisi ini dikhawatirkan akan memudahkan aparat untuk melakukan intervensi privasi warga negara, menyita barang bukti, bahkan membungkam kritik tanpa pengawasan yang memadai dari lembaga peradilan. Bayangkan, rumah Anda bisa digeledah, atau aset Anda disita, tanpa ada jaminan pengawasan dari hakim di awal proses!

Perluasan Kewenangan Penegak Hukum: Sebuah Pedang Bermata Dua?



UU KUHAP yang baru juga memberikan kewenangan yang lebih besar kepada penyidik, mulai dari penangkapan, penahanan, hingga penyadapan. Meskipun klaimnya adalah untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, perluasan kewenangan ini tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang setara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar akan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Kekuatan yang terlalu besar di tangan satu pihak tanpa kontrol yang ketat adalah resep untuk otoritarianisme dan ancaman bagi kebebasan sipil.

Melemahnya Peran Hakim dalam Pengawasan



Peran hakim sebagai pengawas utama dalam proses peradilan pidana, khususnya dalam menjaga hak-hak tersangka/terdakwa, dinilai semakin melemah dalam UU KUHAP baru. Beberapa pasal yang seharusnya memberikan hakim kewenangan untuk meninjau keputusan penyidik, seperti terkait penahanan atau penggeledahan, justru dipersempit atau bahkan dihilangkan. Hilangnya fungsi kontrol ini berarti masyarakat kehilangan salah satu benteng pertahanan terakhir dari potensi tindakan sewenang-wenang aparat.

Pembatasan Hak Tersangka dan Terdakwa



UU KUHAP juga disorot karena beberapa pasalnya dianggap membatasi hak-hak tersangka dan terdakwa. Mulai dari akses terhadap penasihat hukum yang belum optimal, hingga mekanisme praperadilan yang tidak diperkuat secara substansial. Ini berarti, orang yang dicurigai melakukan tindak pidana berpotensi menghadapi proses hukum dengan posisi yang lebih lemah dan rentan terhadap ketidakadilan.

Potensi Kriminalisasi dan Pembungkaman



Dengan kombinasi perluasan kewenangan penyidik, melemahnya pengawasan hakim, dan pembatasan hak tersangka, UU KUHAP yang baru ini dikhawatirkan akan menjadi alat untuk mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, atau siapa pun yang kritis terhadap kekuasaan. Pasal-pasal karet yang multitafsir dapat dengan mudah digunakan untuk membungkam suara-suara sumbang, mengancam kebebasan berpendapat, dan pada akhirnya, merusak fondasi demokrasi.

***

Suara Penolakan dari Masyarakat Sipil: Siapa Saja dan Apa Tuntutan Mereka?



Penolakan terhadap UU KUHAP datang dari berbagai elemen masyarakat sipil. Organisasi seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), KontraS, LBH Jakarta, serta banyak organisasi masyarakat sipil lainnya, telah berulang kali menyuarakan keberatan mereka. Mereka menuntut adanya proses partisipasi publik yang bermakna dan revisi pasal-pasal kontroversial sebelum RUU ini disahkan.

Argumentasi utama mereka adalah bahwa hukum seharusnya dibuat untuk melindungi rakyat, bukan untuk memperkuat kekuasaan secara sepihak. Mereka menuntut jaminan hak atas keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan dari penyalahgunaan wewenang.

***

Dampak Jangka Panjang UU KUHAP bagi Demokrasi dan Keadilan



Pengesahan UU KUHAP dengan segala kontroversinya ini berpotensi memiliki dampak jangka panjang yang serius. Pertama, ia dapat merusak sistem checks and balances dalam penegakan hukum, memberikan kekuasaan yang tidak proporsional kepada eksekutif dan aparat penegak hukum. Kedua, ini bisa menjadi preseden buruk bagi pembentukan undang-undang di masa depan, di mana partisipasi publik diabaikan dan kritik dibungkam. Ketiga, dan yang paling krusial, ia mengancam ruang demokrasi dan kebebasan sipil, menciptakan iklim ketakutan di mana masyarakat enggan bersuara karena takut dikriminalisasi.

***

Langkah Selanjutnya: Apa yang Bisa Kita Lakukan?



Meskipun UU KUHAP telah disahkan, perjuangan belum berakhir. Masyarakat sipil memiliki opsi untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, lebih dari itu, kita sebagai warga negara memiliki peran penting. Edukasi publik mengenai pasal-pasal kontroversial dalam UU KUHAP perlu terus digalakkan. Suarakan kekhawatiran Anda melalui platform media sosial, diskusi publik, atau dengan mendukung organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk keadilan. Mengawal implementasi UU ini juga krusial agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Pengesahan UU KUHAP adalah panggilan untuk kita semua. Ini bukan hanya tentang sebuah undang-undang, melainkan tentang masa depan demokrasi, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Apakah kita akan membiarkan hak-hak kita terkikis perlahan, atau kita akan berdiri tegak menyuarakan keadilan?

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.