Polemik RUU KUHAP Memanas: Komisi III DPR Bantah Catut Nama Koalisi Sipil, Bagaimana Nasib Partisipasi Publik?

Polemik RUU KUHAP Memanas: Komisi III DPR Bantah Catut Nama Koalisi Sipil, Bagaimana Nasib Partisipasi Publik?

Komisi III DPR membantah tuduhan pencatutan nama koalisi masyarakat sipil dalam pembahasan RUU KUHAP, memicu polemik seputar transparansi dan partisipasi publik.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Polemik RUU KUHAP Memanas: Komisi III DPR Bantah Catut Nama Koalisi Sipil, Bagaimana Nasib Partisipasi Publik?



Dalam sebuah negara demokrasi, partisipasi publik adalah fondasi utama yang menjamin legitimasi setiap kebijakan dan undang-undang yang lahir. Proses legislasi seharusnya menjadi ruang inklusif di mana suara rakyat, terutama dari kelompok masyarakat sipil yang terdampak langsung, didengar dan dipertimbangkan. Namun, belakangan ini, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali diselimuti kontroversi yang menguji komitmen DPR terhadap prinsip tersebut. Komisi III DPR, yang bertanggung jawab atas pembahasan RUU krusial ini, baru-baru ini mengeluarkan bantahan keras terhadap tuduhan pencatutan nama koalisi masyarakat sipil. Tuduhan ini tentu saja memicu pertanyaan serius tentang transparansi, akuntabilitas, dan masa depan partisipasi publik dalam pembentukan regulasi yang akan menentukan arah sistem hukum pidana Indonesia.

RUU KUHAP adalah salah satu pilar penting dalam reformasi hukum pidana di Indonesia. Sebagai pengganti KUHAP yang sudah berlaku puluhan tahun, RUU ini diharapkan membawa pembaruan yang lebih responsif terhadap perkembangan zaman, menjamin hak asasi manusia, dan menciptakan keadilan yang lebih substantif. Oleh karena itu, keterlibatan publik, khususnya dari akademisi, praktisi hukum, organisasi bantuan hukum, dan korban kejahatan, adalah sebuah keniscayaan. Tanpa partisipasi yang bermakna, risiko menghasilkan undang-undang yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau bahkan berpotensi melanggar hak-hak fundamental akan sangat besar. Polemik terbaru ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk kembali meninjau sejauh mana semangat partisipasi publik benar-benar diwujudkan, bukan hanya sekadar formalitas.

Latar Belakang Kontroversi: Tuduhan Pencatutan Nama dan Kekhawatiran Publik


Kontroversi bermula ketika sejumlah koalisi masyarakat sipil menyuarakan kekecewaan dan kemarahan mereka. Mereka menuduh Komisi III DPR telah mencatut atau setidaknya salah menginterpretasikan nama dan pernyataan mereka dalam konteks pembahasan RUU KUHAP. Klaimnya, seolah-olah DPR telah mendapatkan dukungan atau masukan resmi dari koalisi-koalisi tersebut, padahal kenyataannya tidak demikian atau masukan yang diberikan diabaikan. Tuduhan ini sangat serius karena menyangkut integritas proses legislasi dan kepercayaan publik.

Koalisi masyarakat sipil, yang selama ini aktif mengadvokasi reformasi hukum dan hak asasi manusia, merasa bahwa upaya mereka untuk berkontribusi secara konstruktif telah disalahgunakan. Pencatutan nama bisa berarti dua hal: pertama, nama organisasi mereka dicantumkan sebagai pihak yang telah memberikan masukan dan dukungan, padahal belum tentu demikian atau dalam kapasitas yang berbeda. Kedua, masukan yang mereka berikan mungkin telah dimodifikasi atau disalahartikan untuk mendukung narasi tertentu dalam pembahasan RUU. Apapun bentuknya, tindakan semacam ini bisa menciptakan kesan palsu tentang adanya konsensus luas, padahal ada keberatan dan kritik yang kuat dari elemen masyarakat. Ini pada gilirannya dapat melemahkan posisi tawar masyarakat sipil dan mengurangi kredibilitas hasil akhir undang-undang. Masyarakat menjadi ragu, apakah suara mereka benar-benar diperhatikan, atau hanya dijadikan stempel legitimasi semata.

Pembelaan dan Klarifikasi dari Komisi III DPR


Menanggapi gelombang kritik tersebut, Komisi III DPR tidak tinggal diam. Melalui beberapa anggotanya, mereka membantah keras tuduhan pencatutan nama koalisi masyarakat sipil. Anggota Komisi III DPR menegaskan bahwa tidak ada niat untuk menyalahgunakan atau memanipulasi informasi terkait partisipasi publik. Menurut mereka, setiap masukan dari masyarakat sipil telah dicatat dan dipertimbangkan sesuai prosedur. Bisa jadi, daftar yang disorot tersebut merupakan catatan kehadiran atau partisipasi dalam forum-forum diskusi yang bersifat umum, bukan berarti persetujuan mutlak terhadap setiap klausul RUU.

Komisi III juga mengklaim bahwa mereka selalu terbuka terhadap kritik dan saran dari berbagai pihak. Mereka menekankan bahwa proses pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara transparan dan melalui berbagai mekanisme dengar pendapat publik. Bantahan ini tentu penting untuk menjaga marwah lembaga legislatif. Namun, untuk benar-benar meredakan kekhawatiran, Komisi III perlu menyajikan bukti dan penjelasan yang lebih detail mengenai mekanisme pencatatan partisipasi, bagaimana masukan publik diolah, dan mengapa terjadi miskomunikasi yang begitu signifikan dengan koalisi masyarakat sipil. Klarifikasi yang kuat dan terperinci sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan yang telah terkikis.

Mengapa Partisipasi Publik Begitu Krusial dalam Pembentukan Undang-Undang?


Partisipasi publik bukan sekadar formalitas prosedural; ia adalah jantung dari tata kelola yang baik dan demokrasi yang sehat. Pertama, partisipasi publik menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Masyarakat sipil seringkali memiliki pemahaman yang mendalam tentang dampak praktis dari kebijakan, memberikan perspektif yang mungkin terlewat oleh pembuat undang-undang. Kedua, keterlibatan publik meningkatkan akuntabilitas DPR. Ketika prosesnya terbuka, DPR lebih termotivasi untuk bertindak demi kepentingan publik dan lebih mudah dimintai pertanggungjawaban atas keputusan mereka.

Ketiga, partisipasi yang bermakna membangun legitimasi undang-undang. Undang-undang yang disahkan setelah melalui proses konsultasi yang luas dan inklusif akan lebih mudah diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebaliknya, undang-undang yang terkesan dipaksakan atau tidak melibatkan publik secara transparan akan selalu dicurigai dan rentan terhadap penolakan. Untuk RUU KUHAP, yang mengatur hak-hak fundamental warga negara dalam proses peradilan pidana, partisipasi publik bahkan lebih penting lagi. Setiap pasal dalam RUU ini berpotensi memengaruhi kebebasan, keadilan, dan masa depan individu. Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap suara didengar dan dipertimbangkan secara adil adalah keharusan mutlak. Kegagalan dalam aspek ini bukan hanya cacat prosedur, tetapi juga cacat moral dalam pembentukan hukum.

Menjaga Kepercayaan Publik: Tantangan dan Solusi


Tuduhan pencatutan nama ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi DPR dalam menjaga kepercayaan publik, terutama dalam proses legislasi. Di tengah era informasi yang serba cepat, di mana setiap tindakan legislatif bisa dengan mudah diakses dan dikomentari, akuntabilitas dan transparansi menjadi semakin vital.

Untuk mengatasi krisis kepercayaan ini, DPR perlu mengambil langkah-langkah konkret:

1. Standar Transparansi yang Lebih Tinggi


Menerapkan standar transparansi yang ketat dalam semua tahapan legislasi. Ini termasuk publikasi semua dokumen terkait RUU, daftar lengkap pihak yang terlibat dalam konsultasi publik, dan notulen rapat yang detail serta mudah diakses.

2. Mekanisme Partisipasi yang Jelas dan Terukur


Mengembangkan mekanisme partisipasi publik yang jelas, terukur, dan inklusif. Ini berarti tidak hanya mengundang, tetapi juga mendengarkan, mendokumentasikan, dan secara jelas menunjukkan bagaimana masukan publik memengaruhi draf RUU. Menggunakan platform digital yang interaktif bisa menjadi salah satu solusi.

3. Verifikasi dan Konfirmasi


Melakukan verifikasi dan konfirmasi ulang dengan organisasi masyarakat sipil terkait representasi partisipasi dan dukungan mereka. Ini untuk mencegah misinterpretasi atau kesalahpahaman di kemudian hari.

4. Jembatan Komunikasi yang Kuat


Membangun jembatan komunikasi yang lebih kuat antara DPR dan masyarakat sipil. Seringkali, kontroversi muncul dari kurangnya komunikasi atau adanya asumsi yang tidak tepat dari kedua belah pihak.

Masa Depan RUU KUHAP dan Harapan Akan Keterbukaan


Polemik seputar RUU KUHAP ini bukan sekadar insiden kecil, melainkan cerminan dari dinamika yang lebih besar dalam demokrasi kita. Komisi III DPR perlu mengambil momentum ini untuk merefleksikan dan memperbaiki mekanisme partisipasi publik mereka. Masa depan RUU KUHAP, yang akan menjadi cetak biru hukum acara pidana kita, sangat bergantung pada legitimasi yang dibangun melalui proses yang transparan dan partisipatif.

Masyarakat sipil, di sisi lain, juga harus terus mengawal dan menyuarakan aspirasi mereka, memastikan bahwa proses legislasi tidak menyimpang dari rel demokrasi. Ini adalah tugas bersama untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yang lahir dari gedung parlemen benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan hanya segelintir elite. Harapan kita adalah RUU KUHAP dapat disahkan dengan dukungan luas dan tanpa meninggalkan keraguan tentang integritas prosesnya.

Mari Terlibat!


Bagaimana pendapat Anda tentang isu ini? Apakah Anda merasa partisipasi publik sudah cukup diakomodasi dalam pembentukan undang-undang di Indonesia? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan bantu kita menjaga transparansi dalam proses legislasi. Jangan lupa bagikan artikel ini agar semakin banyak masyarakat yang peduli dan terlibat!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.