PKS Usulkan Soeharto Pahlawan Nasional: Mengapa Ide Kontroversial Ini Muncul Kembali?

PKS Usulkan Soeharto Pahlawan Nasional: Mengapa Ide Kontroversial Ini Muncul Kembali?

Politikus PKS Mardani Ali Sera mendukung Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, memicu kembali perdebatan sengit tentang warisan Orde Baru, kriteria pahlawan nasional, dan implikasi politik di Indonesia.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Ketika PKS Mengusulkan Soeharto Pahlawan Nasional: Membuka Kembali Kotak Pandora Sejarah?


Kancah politik Indonesia tak pernah sepi dari perdebatan sengit, terutama ketika menyangkut sejarah dan warisan para pemimpin masa lalu. Belum lama ini, sebuah pernyataan dari politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, sontak memicu gelombang diskusi dan kontroversi. Ia secara terbuka menyatakan dukungannya agar mantan Presiden Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Usulan ini, yang bukan kali pertama muncul, kembali membuka "kotak pandora" sejarah, memaksa bangsa Indonesia untuk merefleksikan ulang era Orde Baru dengan segala kompleksitasnya.


Mengapa usulan ini kembali mengemuka sekarang? Apa saja argumen di baliknya, dan mengapa pula ia selalu memancing pro dan kontra yang begitu tajam? Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika di balik wacana ini, menelisik kriteria Pahlawan Nasional, serta menganalisis implikasi politik dan sosial yang mungkin timbul.



Mengapa Usulan Ini Muncul Sekarang? Argumen di Balik Dukungan PKS


Mardani Ali Sera, seorang politikus senior PKS, menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia memberikan penghargaan kepada Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Argumen utama yang ia sampaikan berfokus pada peran Soeharto dalam pembangunan ekonomi, stabilitas politik pasca-gejolak 1965, dan kontribusinya dalam menjaga keutuhan negara dari ancaman komunisme. Menurut Mardani, pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan selama Orde Baru adalah warisan tak terbantahkan yang patut diapresiasi.


Narasi ini bukanlah hal baru. Sejak reformasi, selalu ada kelompok masyarakat dan politisi yang menyuarakan dukungan serupa, berpegang pada nostalgia "masa kejayaan" Orde Baru yang menawarkan stabilitas dan kepastian. Bagi sebagian kalangan, sosok Soeharto adalah simbol kepemimpinan yang kuat, yang mampu membawa Indonesia dari keterpurukan ekonomi menjadi negara yang berdaulat dan disegani di kawasan.


Namun, di tengah hiruk pikuk politik saat ini, munculnya kembali usulan dari PKS, sebuah partai yang dikenal dengan basis massa Islam dan kerap mengkritisi kebijakan pemerintah, memunculkan pertanyaan. Apakah ini murni aspirasi sejarah, ataukah ada nuansa strategis politik di baliknya? Membangkitkan kembali perdebatan mengenai Soeharto bisa jadi upaya untuk menarik simpati dari segmen masyarakat yang merindukan kepemimpinan tegas atau merasa tidak puas dengan kondisi politik dan ekonomi saat ini.



Kontroversi dan Reaksi Publik: Dua Sisi Mata Uang Sejarah Orde Baru


Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional selalu membelah opini publik menjadi dua kutub yang tajam. Di satu sisi, para pendukung berargumen bahwa Soeharto berhasil menancapkan fondasi pembangunan yang kokoh, mengendalikan inflasi, dan menciptakan stabilitas keamanan yang vital untuk kemajuan. Era Orde Baru diingat sebagai periode di mana pembangunan berjalan masif, dari jalan tol hingga bendungan, yang hingga kini masih kita nikmati.


Namun, di sisi lain, kritik terhadap Orde Baru dan sosok Soeharto tak kalah lantang. Bagi para penentang, Orde Baru adalah era yang diwarnai dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masif, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, serta kebijakan otoriter yang membungkam kebebasan berpendapat dan pers. Kasus-kasus seperti Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti, hingga pembantaian 1965-1966 adalah luka sejarah yang belum sembuh dan tak bisa begitu saja dihapus dari catatan bangsa.


Aktivis HAM, korban pelanggaran, dan sebagian besar sejarawan cenderung menentang gagasan ini. Mereka berpendapat bahwa menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sama saja dengan mengkhianati perjuangan reformasi dan mengabaikan jutaan korban yang menderita di bawah rezimnya. Bagi mereka, rekonsiliasi sejarah harus dimulai dengan pengakuan atas kesalahan dan keadilan bagi para korban, bukan dengan glorifikasi terhadap sosok yang bertanggung jawab atas penindasan.



Kriteria Pahlawan Nasional: Sebuah Debat Tanpa Akhir?


Penetapan gelar Pahlawan Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Beberapa kriteria utama mencakup:



  1. Pernah memimpin dan/atau melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik dan/atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

  2. Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan.

  3. Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembankan kepadanya.

  4. Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.

  5. Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

  6. Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi.

  7. Tidak pernah cacat moral atau melakukan perbuatan tercela.


Poin terakhir, "tidak pernah cacat moral atau melakukan perbuatan tercela," menjadi ganjalan terbesar bagi usulan Soeharto. Tudingan KKN dan pelanggaran HAM berat yang melekat pada kepemimpinan Soeharto menjadi batu sandungan yang sulit diabaikan. Pertanyaan krusialnya adalah, apakah pembangunan ekonomi yang masif bisa menutupi atau mengampuni "cacat moral" yang dituduhkan?


Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Sosial, memiliki tim peneliti dan pengkaji gelar pahlawan yang bertugas menyeleksi usulan. Prosesnya panjang dan melibatkan banyak aspek, termasuk kajian sejarah yang mendalam dan masukan dari berbagai pihak. Sepanjang ini, setiap kali nama Soeharto diusulkan, selalu ada penolakan kuat dari masyarakat sipil dan akademisi, membuat usulan tersebut mandek.



Implikasi Politik dan Lanskap Demokrasi Indonesia


Kemunculan kembali wacana ini memiliki implikasi politik yang tidak kecil. Bagi PKS, dukungan terhadap Soeharto bisa jadi upaya untuk memperluas basis dukungan ke segmen masyarakat yang masih pro-Orde Baru atau merindukan stabilitas masa lalu. Namun, langkah ini juga berisiko menjauhkan PKS dari pemilih muda dan kelompok reformis yang sangat kritis terhadap warisan Orde Baru.


Di tataran nasional, perdebatan ini juga mengingatkan kita pada kompleksitas dan ketidakselesaian rekonsiliasi sejarah Indonesia. Reformasi 1998 memang telah mengakhiri era Orde Baru, tetapi narasi tentang periode tersebut masih terus beradu. Apakah bangsa ini harus menghakimi sejarah secara hitam-putih, ataukah mampu melihat nuansa kelabu dalam setiap era kepemimpinan?


Pada akhirnya, penetapan seorang Pahlawan Nasional bukan hanya tentang penghargaan, melainkan juga tentang bagaimana sebuah bangsa ingin mengenang dan mengajarkan sejarahnya kepada generasi mendatang. Ini adalah cerminan dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa, dan apakah nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia.



Kesimpulan: Sebuah Debat yang Tak Boleh Berhenti


Usulan politikus PKS untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar wacana biasa. Ini adalah undangan untuk kembali berdialog secara kritis tentang masa lalu bangsa, tentang bagaimana kita menimbang jasa dan dosa seorang pemimpin, serta tentang kriteria pahlawan yang sebenarnya. Sejarah memang tidak bisa dihapus atau diubah, tetapi cara kita memandang dan belajar darinya adalah proses yang terus-menerus.


Bagi Indonesia, perdebatan ini adalah bagian dari pendewasaan demokrasi. Ini mengingatkan kita bahwa kebenaran sejarah seringkali bersifat multidimensional dan bahwa rekonsiliasi bukan berarti melupakan, melainkan memahami secara utuh. Mari kita jadikan momen ini sebagai ajang untuk diskusi yang konstruktif dan penuh hormat, agar kita bisa belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik dan adil.


Bagaimana pendapat Anda? Apakah Soeharto layak menyandang gelar Pahlawan Nasional? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan diskusikan bersama!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.