Pasar Cerah, Dompet Gelap: Mengapa Ekonomi Terasa Seret Padahal Angka-angka Menggembirakan? Mengungkap Misteri di Balik "Velocity of Money"

Pasar Cerah, Dompet Gelap: Mengapa Ekonomi Terasa Seret Padahal Angka-angka Menggembirakan? Mengungkap Misteri di Balik "Velocity of Money"

Artikel ini menjelaskan paradoks mengapa ekonomi terasa seret bagi banyak orang meskipun pasar keuangan menunjukkan kekuatan.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Anda mungkin sering merasa kebingungan. Headline berita membanggakan pasar saham yang melonjak, perusahaan-perusahaan besar melaporkan keuntungan rekor, dan laporan PDB menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Namun, ketika Anda melihat laporan bank Anda sendiri, berjuang dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, atau mencoba menabung untuk masa depan, realitanya terasa sangat berbeda. Dompet Anda terasa semakin tipis, dan biaya hidup terus merangkak naik. Anda bertanya-tanya, apakah ini hanya perasaan pribadi, atau ada celah yang lebar antara angka-angka ekonomi makro dan realitas finansial sehari-hari kita?

Fenomena ini bukanlah ilusi, melainkan sebuah paradoks ekonomi modern yang kompleks. Menurut para ahli, termasuk Todd Dean yang disoroti dalam analisis ekonomi terbaru, kesenjangan ini dapat dijelaskan salah satunya melalui konsep kunci yang sering terabaikan: "velocity of money" atau kecepatan peredaran uang. Memahami dinamika ini adalah kunci untuk menguak mengapa, di tengah optimisme pasar, banyak dari kita masih merasakan tekanan finansial.

Mengurai Paradoks: Pasar Menggila, Dompet Kok Seret?

Secara tradisional, ketika pasar finansial kuat—misalnya indeks saham yang naik, harga aset yang tinggi—hal itu sering dianggap sebagai indikator kesehatan ekonomi secara keseluruhan. Logikanya, jika perusahaan menghasilkan banyak uang, mereka akan berinvestasi, memperluas usaha, menciptakan lapangan kerja, dan membayar upah yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli konsumen. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hubungan ini tampaknya terputus.

Data menunjukkan bahwa kekayaan telah semakin terkonsentrasi di puncak piramida ekonomi. Kelompok terkaya di dunia melihat portofolio investasi mereka melambung berkat kebijakan moneter yang longgar dan pasar saham yang bullish. Sementara itu, sebagian besar masyarakat pekerja menghadapi stagnasi upah riil, kenaikan biaya hidup, dan semakin sulitnya mencapai stabilitas finansial. Todd Dean dan analis lainnya berpendapat bahwa ini adalah cerminan dari pergeseran mendasar dalam cara kerja ekonomi kita, di mana "uang" itu sendiri tidak lagi beredar secepat atau seefisien dulu di kalangan masyarakat umum.

Jantung Ekonomi yang Melambat: Memahami "Velocity of Money"

Untuk memahami mengapa dompet kita terasa seret, kita perlu memahami apa itu *velocity of money* (VoM). Singkatnya, VoM mengukur seberapa sering satu unit mata uang digunakan untuk membeli barang dan jasa dalam suatu ekonomi selama periode waktu tertentu. Bayangkan peredaran darah dalam tubuh: jika darah mengalir cepat dan efisien, setiap organ menerima suplai yang cukup. Jika peredarannya melambat, meskipun ada banyak darah, organ-organ mungkin tidak berfungsi optimal.

Secara historis, VoM cenderung stabil atau bahkan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, sejak krisis keuangan global 2008 dan diperparah oleh pandemi COVID-19, VoM di banyak negara maju telah menurun drastis. Penurunan ini berarti bahwa meskipun bank sentral telah membanjiri ekonomi dengan uang (melalui kebijakan seperti *quantitative easing*), uang tersebut tidak beredar dan menciptakan transaksi di ekonomi riil (membeli barang, membayar jasa, berinvestasi dalam bisnis kecil) sebanyak yang diharapkan. Sebaliknya, uang cenderung "parkir" atau bersirkulasi di antara aset-aset finansial, hanya menguntungkan mereka yang sudah memilikinya.

Lebih dari Sekadar Angka: Faktor-faktor di Balik Perlambatan VoM

Perlambatan VoM bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil dari interaksi beberapa kekuatan ekonomi dan kebijakan:

* Kebijakan Moneter dan "Quantitative Easing" (QE): Setelah krisis, bank sentral di seluruh dunia menerapkan QE, mencetak uang untuk membeli obligasi dan aset lainnya dari bank komersial. Tujuannya adalah untuk menurunkan suku bunga dan mendorong pinjaman serta investasi. Namun, seringkali uang ini tetap berada di sektor keuangan, meningkatkan harga aset (saham, properti) daripada mengalir ke ekonomi riil dalam bentuk upah atau pengeluaran konsumsi. Ini secara efektif memperkaya mereka yang sudah memiliki banyak aset.

* Globalisasi dan Otomatisasi: Perusahaan-perusahaan multinasional dapat memanfaatkan tenaga kerja murah di luar negeri atau mengganti pekerja manusia dengan otomatisasi. Hal ini menekan upah di negara-negara maju dan mengurangi daya beli rata-rata, meskipun keuntungan perusahaan melonjak. Uang yang seharusnya mengalir sebagai upah dan dibelanjakan, kini lebih banyak menjadi keuntungan korporasi yang cenderung diinvestasikan kembali di pasar finansial atau disimpan.

* Disparitas Kekayaan yang Melebar: Konsentrasi kekayaan yang ekstrem di tangan segelintir orang turut memperlambat VoM. Individu super kaya cenderung memiliki proporsi yang lebih kecil dari pendapatan mereka yang mereka belanjakan untuk barang dan jasa sehari-hari (memiliki kecenderungan marjinal untuk mengonsumsi yang lebih rendah) dibandingkan dengan kelas menengah atau bawah. Uang mereka seringkali diinvestasikan kembali di pasar finansial atau disimpan di luar ekonomi riil, mengurangi peredarannya.

* "Financialisasi" Ekonomi: Ada pergeseran fokus dari produksi barang dan jasa riil ke aktivitas pasar keuangan. Keuntungan korporasi seringkali didorong oleh rekayasa finansial, pembelian kembali saham (stock buybacks), atau merger dan akuisisi, bukan dari peningkatan produktivitas yang menghasilkan upah lebih baik atau inovasi yang menciptakan lapangan kerja berkualitas.

* Perubahan Pola Konsumsi dan Ketidakpastian: Krisis berulang (mulai dari dot-com bubble, 2008, hingga pandemi) telah membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang. Banyak yang memilih menabung atau melunasi utang daripada berbelanja, sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi. Meskipun tindakan ini rasional bagi individu, secara kolektif dapat memperlambat aliran uang.

Dampak pada Kehidupan Sehari-hari Anda

Jadi, bagaimana semua ini memengaruhi Anda secara pribadi?
* Stagnasi Upah Riil: Meskipun PDB tumbuh atau perusahaan menghasilkan keuntungan, upah Anda tidak selalu mengikuti inflasi atau peningkatan produktivitas. Daya beli Anda menurun.
* Beban Utang: Untuk mempertahankan standar hidup atau memenuhi kebutuhan dasar, banyak rumah tangga terpaksa mengandalkan utang, yang semakin menekan anggaran mereka.
* Ketidakamanan Finansial: Ada perasaan terus-menerus khawatir tentang masa depan, pensiun, atau bagaimana menghadapi keadaan darurat finansial, meskipun Anda melihat berita tentang rekor tertinggi pasar saham.

Menjembatani Kesenjangan: Mencari Solusi untuk Ekonomi yang Lebih Adil

Mengatasi paradoks ini membutuhkan pendekatan multi-sektoral yang melampaui kebijakan moneter semata. Diperlukan kebijakan fiskal yang lebih proaktif dari pemerintah, seperti investasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan jaring pengaman sosial yang kuat, untuk merangsang permintaan dan sirkulasi uang di tingkat akar rumput. Regulasi yang lebih ketat mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa keuntungan pasar tidak hanya menguntungkan segelintir orang. Mendorong inovasi yang menciptakan lapangan kerja berkualitas dan meningkatkan upah juga krusial.

Pada akhirnya, kesadaran publik adalah kekuatan yang penting. Dengan memahami bagaimana dinamika ekonomi yang kompleks ini bekerja, kita sebagai masyarakat dapat menuntut kebijakan yang lebih baik dan membuat keputusan finansial yang lebih cerdas untuk diri kita dan komunitas kita.

Kesimpulan

Perasaan "ekonomi seret" di tengah pasar yang kuat bukanlah ilusi, melainkan cerminan dari kompleksitas ekonomi modern, terutama perlambatan *velocity of money*. Ini adalah pengingat penting bahwa angka-angka makro tidak selalu mencerminkan pengalaman finansial setiap individu. Kita perlu melihat melampaui angka-angka utama dan memahami bagaimana kebijakan serta struktur ekonomi memengaruhi kehidupan sehari-hari kita.

Jadi, apa pendapat Anda? Apakah Anda juga merasakan fenomena ini? Bagikan pandangan dan pengalaman Anda di kolom komentar di bawah. Mari berdiskusi tentang bagaimana kita bisa membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk semua!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.