Paradoks Iklim COP30: Saat Brasil Jadi Tuan Rumah Sekaligus Anggota OPEC+

Paradoks Iklim COP30: Saat Brasil Jadi Tuan Rumah Sekaligus Anggota OPEC+

Keputusan Brasil untuk bergabung dengan OPEC+ sebagai pengamat, meskipun akan menjadi tuan rumah COP30 di Belém pada tahun 2025, telah memicu kontroversi dan kekhawatiran global.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Dalam sebuah lanskap global yang semakin mendesak untuk tindakan iklim, Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) yang akan datang di Belém, Brasil, pada tahun 2025, seharusnya menjadi mercusuar harapan. Ditempatkan di jantung hutan hujan Amazon yang vital, summit ini diharapkan akan memacu ambisi baru dan komitmen konkret untuk mengatasi krisis iklim yang semakin parah. Namun, bayangan keraguan kini mulai menyelimuti, menyusul keputusan kontroversial Brasil untuk bergabung dengan OPEC+, aliansi negara-negara produsen minyak utama dunia, sebagai pengamat. Paradoks yang mencolok ini telah memicu gelombang kekhawatiran dan kritik dari para aktivis lingkungan, ilmuwan, dan masyarakat global, mempertanyakan keseriusan Brasil dan bahkan integritas perundingan iklim masa depan.

COP30: Harapan di Jantung Amazon

Sejak didirikan pada tahun 1995, Konferensi Para Pihak (COP) telah menjadi forum sentral untuk diplomasi iklim global, menyatukan para pemimpin dunia, negosiator, ilmuwan, dan masyarakat sipil untuk mengatasi ancaman perubahan iklim. COP30 di Belém, Brasil, memiliki makna simbolis dan praktis yang mendalam. Lokasinya di Amazon, paru-paru dunia yang sedang terancam, secara otomatis menempatkan deforestasi, keanekaragaman hayati, dan peran ekosistem alami dalam garis depan agenda. Ada harapan besar bahwa Brasil, di bawah kepemimpinan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang telah berjanji untuk membalikkan kebijakan lingkungan pendahulunya, akan memimpin jalan menuju kesepakatan iklim yang lebih ambisius, termasuk fase transisi dari bahan bakar fosil. Dunia menantikan Belém sebagai momentum krusial untuk melindungi hutan hujan tropis dan mendorong energi terbarukan.

Sebuah Langkah Mundur: Bergabung dengan OPEC+

Namun, optimisme ini tiba-tiba terguncang oleh pengumuman Brasil untuk menjadi pengamat di OPEC+. OPEC+ adalah kelompok produsen minyak terbesar di dunia, yang secara kolektif mengontrol sebagian besar pasokan minyak global dan sering kali berupaya menstabilkan (dan seringkali mempertahankan harga tinggi) pasar minyak melalui koordinasi produksi. Keputusan Brasil untuk mendekat pada kartel minyak ini mengirimkan sinyal yang sangat membingungkan, bahkan bertentangan, dengan perannya sebagai tuan rumah konferensi iklim global. Bagaimana sebuah negara bisa memimpin upaya dunia untuk mengurangi emisi karbon, sementara pada saat yang sama bersekutu dengan kekuatan yang secara inheren bergantung pada ekstraksi dan pembakaran bahan bakar fosil?

Presiden Lula da Silva membela langkah ini dengan alasan bahwa Brasil perlu mempertahankan posisinya sebagai produsen minyak yang signifikan, mengutip perlunya pendapatan untuk pembangunan dan transisi energi yang adil. Ia menegaskan bahwa partisipasi Brasil di OPEC+ tidak akan mengubah komitmennya terhadap lingkungan atau agenda iklim. Namun, bagi banyak pengamat, penjelasan ini terasa seperti "greenwashing" – upaya untuk menampilkan diri sebagai ramah lingkungan sambil tetap berpegang pada praktik yang merusak. Sejarah telah menunjukkan bahwa aliansi semacam ini cenderung memprioritaskan kepentingan ekonomi bahan bakar fosil di atas target iklim.

Suara Kritis dan Pertanyaan Mendalam

Keputusan Brasil ini segera memicu gelombang kritik dari berbagai penjuru. Kelompok-kelompok lingkungan seperti Oil Change International dan Debt for Climate secara terbuka menyuarakan kekecewaan mereka, menyebutnya sebagai "khianat iklim" dan "kemunafikan yang mencolok." Mereka berpendapat bahwa tindakan ini secara fundamental merusak kredibilitas Brasil sebagai pemimpin iklim dan mengirimkan pesan yang salah kepada dunia tentang urgensi untuk beralih dari bahan bakar fosil. Para aktivis menekankan bahwa sementara negara-negara berkembang berjuang dengan utang dan tuntutan untuk tumbuh, ketergantungan pada minyak dan gas hanya akan memperpanjang penderitaan di masa depan, bukan menyelesaikannya.

Para ilmuwan dan ahli kebijakan juga menyuarakan keprihatinan. Mereka mengingatkan bahwa untuk mencapai target pembatasan pemanasan global 1,5 derajat Celsius, sebagian besar cadangan bahan bakar fosil harus tetap berada di dalam tanah. Bergabung dengan OPEC+ secara implisit menentang gagasan ini, menyiratkan bahwa Brasil akan terus mengeksplorasi dan memproduksi minyak, bahkan mungkin meningkatkannya. Ini adalah pukulan telak bagi narasi global yang sedang dibangun untuk mengakhiri era bahan bakar fosil.

Implikasi Global dan Masa Depan Perundingan Iklim

Dampak dari keputusan Brasil ini melampaui batas negaranya. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan efektivitas forum COP secara keseluruhan. Jika negara tuan rumah sendiri memiliki konflik kepentingan yang begitu jelas, bagaimana bisa diharapkan untuk memimpin perundingan yang berani dan transformatif? Keputusan ini juga bisa menjadi preseden berbahaya bagi negara-negara berkembang lainnya, yang mungkin melihatnya sebagai pembenaran untuk memprioritaskan keuntungan jangka pendek dari bahan bakar fosil di atas komitmen iklim jangka panjang.

Ini juga akan mempersulit upaya untuk mencapai kesepakatan tentang Perjanjian Non-Proliferasi Bahan Bakar Fosil (Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty), sebuah inisiatif yang semakin mendapatkan dukungan internasional. Bagaimana Brasil bisa menjadi pendukung traktat semacam itu sambil bersekutu dengan organisasi yang secara aktif mempromosikan produksi minyak? COP30 di Belém kini menghadapi tantangan kredibilitas yang signifikan bahkan sebelum dimulai.

Menuju COP30: Antara Harapan dan Realitas Pahit

Meskipun menghadapi kritik keras, pintu untuk perubahan belum sepenuhnya tertutup. Brasil masih memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan sejati. Tekanan dari masyarakat sipil, komunitas internasional, dan bahkan dari dalam negeri sendiri dapat mendorong Brasil untuk meninjau kembali prioritasnya. COP30 dapat menjadi panggung bagi Brasil untuk membuktikan bahwa ia bisa menyeimbangkan kebutuhan ekonominya dengan tanggung jawab lingkungan global, mungkin dengan menetapkan target ambisius untuk transisi energi di dalam negeri, mengurangi deforestasi lebih jauh, dan menolak perluasan eksplorasi minyak di daerah sensitif.

Namun, tanpa langkah konkret dan mundur dari ketergantungan bahan bakar fosil, COP30 di Belém berisiko dicap sebagai pertemuan retoris belaka, yang gagal memenuhi harapan kritis yang diemban padanya. Dunia akan mengawasi dengan cermat bagaimana Brasil menavigasi paradoks ini – antara perannya sebagai penjaga Amazon dan sekutunya dengan kartel minyak global. Masa depan planet ini mungkin sangat bergantung pada pilihan yang akan dibuat.

Kita semua memiliki peran dalam menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin kita. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran tentang tantangan yang dihadapi oleh perundingan iklim global dan mendesak tindakan nyata untuk masa depan yang berkelanjutan.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.