Mengungkap Epidemik Kekerasan Digital: 85,7% Jurnalis Perempuan Indonesia Jadi Korban – Ini Kisah Nyata dan Seruan Aksi!

Mengungkap Epidemik Kekerasan Digital: 85,7% Jurnalis Perempuan Indonesia Jadi Korban – Ini Kisah Nyata dan Seruan Aksi!

Studi UNDP dan Safetynet mengungkapkan 85,7% jurnalis perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan berbasis digital, meliputi pelecehan verbal, ancaman, pelecehan seksual, hingga doxing.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Di balik setiap berita yang Anda baca, setiap laporan investigasi yang membuka mata, seringkali ada seorang jurnalis yang mempertaruhkan banyak hal, termasuk keselamatan pribadinya. Namun, dalam era digital yang serba terkoneksi ini, ancaman tidak lagi hanya bersembunyi di lapangan, melainkan juga mengintai di balik layar, menyerang para pembawa kabar dengan cara yang lebih licik dan merusak: kekerasan digital. Sebuah studi mengejutkan dari United Nations Development Programme (UNDP) dan Safetynet mengungkap realita pahit di Indonesia: mayoritas atau tepatnya 85,7 persen jurnalis perempuan menjadi korban kekerasan berbasis digital.

Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cerminan dari pengalaman nyata para jurnalis perempuan yang setiap hari berjuang untuk menyampaikan kebenaran, namun harus berhadapan dengan gelombang kebencian, ancaman, dan pelecehan online. Artikel ini akan menyelami lebih dalam fenomena mengkhawatirkan ini, mengungkap berbagai bentuk kekerasan yang mereka alami, dampak mengerikan yang ditimbulkannya, serta mendesak kita semua untuk bertindak.

Realita Pahit di Balik Layar: Data Mengejutkan dari UNDP

Data 85,7 persen jurnalis perempuan di Indonesia yang menjadi korban kekerasan digital adalah alarm keras bagi kita semua. Studi yang dilakukan oleh UNDP bersama Safetynet ini menyoroti sebuah krisis yang selama ini mungkin tersembunyi di balik layar gawai dan monitor. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang juga menunjukkan tren meningkatnya kekerasan digital terhadap jurnalis. Di Indonesia, di mana kebebasan pers masih terus diperjuangkan, ancaman ini menambah beban berat bagi para jurnalis, khususnya perempuan yang seringkali menjadi target empuk karena stereotip gender dan lingkungan digital yang belum sepenuhnya aman.

Kekerasan ini tidak hanya datang dari satu sumber, melainkan dari berbagai pihak, termasuk pembaca yang tidak setuju, kelompok kepentingan, bahkan sesama rekan kerja atau narasumber. Skala masalah ini menunjukkan bahwa kekerasan digital bukanlah insiden terisolasi, melainkan sebuah epidemi yang merajalela dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Fenomena ini mengikis fondasi kebebasan pers, mengancam keberagaman suara, dan pada akhirnya, merugikan masyarakat secara keseluruhan yang berhak mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.

Ragam Kekerasan Digital yang Mengintai: Lebih dari Sekadar Kata-kata

Kekerasan digital terhadap jurnalis perempuan tidak memiliki satu bentuk tunggal. Ia datang dalam berbagai rupa, masing-masing meninggalkan luka yang berbeda. Studi tersebut merinci beberapa bentuk umum yang dialami para jurnalis ini:

* Pelecehan Verbal dan Ujaran Kebencian: Ini adalah bentuk yang paling umum, berupa komentar-komentar merendahkan, menghina, atau bahkan mengancam di media sosial, kolom komentar, atau pesan pribadi. Kata-kata kasar yang menyerang fisik, kemampuan, atau bahkan moralitas mereka seringkali menjadi serangan yang paling menyakitkan.
* Pelecehan Seksual Berbasis Digital: Bentuk ini bisa berupa komentar vulgar, pengiriman gambar atau video tidak senonoh, ancaman perkosaan, atau bahkan permintaan seksual yang tidak diinginkan. Ini adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling merendahkan dan traumatis.
* Doxing: Pembocoran informasi pribadi seperti alamat rumah, nomor telepon, atau data keluarga tanpa izin. Informasi ini kemudian digunakan untuk mengintimidasi, mengancam, atau bahkan membahayakan jurnalis dan orang-orang terdekatnya.
* Ancaman Kematian dan Kekerasan Fisik: Tidak jarang, kekerasan digital meningkat menjadi ancaman serius terhadap keselamatan fisik mereka atau keluarga. Ancaman ini dapat menyebabkan ketakutan mendalam dan membatasi mobilitas atau aktivitas mereka.
* Cyberstalking dan Impersonasi: Memata-matai aktivitas online mereka, membuat akun palsu dengan identitas mereka, atau menyebarkan informasi palsu atas nama mereka, semua ini dapat merusak reputasi dan kredibilitas profesional.
* Trolling dan Serangan Massa (Mass Reporting): Jurnalis perempuan sering menjadi target kampanye trolling terorganisir atau serangan massal di mana banyak akun secara bersamaan melaporkan konten mereka untuk dihapus atau akun mereka ditangguhkan.

Semua bentuk kekerasan ini, terlepas dari tingkat keparahannya, memiliki tujuan yang sama: membungkam suara, mengintimidasi, dan pada akhirnya, mendorong jurnalis perempuan untuk mundur dari profesinya atau setidaknya mengurangi liputan mereka terhadap isu-isu sensitif.

Dampak yang Mengakar: Dari Kesehatan Mental hingga Kebebasan Pers

Dampak dari kekerasan digital ini jauh melampaui layar. Ia menembus ke dalam kehidupan pribadi dan profesional jurnalis perempuan, meninggalkan luka yang mendalam.

Jeratan Mental dan Emosional

Korban kekerasan digital seringkali mengalami stres parah, kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Mereka bisa merasa terisolasi, takut untuk berbicara atau bahkan berinteraksi online. Kepercayaan diri mereka terkikis, dan rasa aman dalam hidup pribadi maupun profesional terenggut. Trauma ini bisa bertahan lama dan memerlukan dukungan psikologis yang serius. Dampak emosional ini juga dapat meluas ke kehidupan pribadi, mempengaruhi hubungan dengan keluarga dan teman.

Ancaman Terhadap Kebebasan Pers

Mungkin dampak yang paling merugikan bagi masyarakat adalah ancaman terhadap kebebasan pers. Kekerasan digital memicu apa yang disebut "self-censorship" atau sensor diri. Jurnalis perempuan yang menjadi korban mungkin akan:
* Menghindari meliput isu-isu sensitif atau kontroversial.
* Mengurangi frekuensi publikasi online atau interaksi di media sosial.
* Mengubah cara mereka menulis atau menyampaikan informasi agar tidak menarik perhatian negatif.
* Bahkan ada yang memutuskan untuk meninggalkan profesi jurnalistik sama sekali.

Hal ini pada gilirannya mengurangi keberagaman suara dan perspektif dalam pemberitaan, khususnya dari perempuan. Jika suara perempuan dibungkam, masyarakat kehilangan bagian penting dari narasi kebenaran, informasi yang akurat, dan representasi yang setara. Pada akhirnya, ini melemahkan fungsi pers sebagai pilar demokrasi dan hak publik untuk mendapatkan informasi.

Jalan Menuju Perubahan: Mendorong Solusi dan Solidaritas

Mengatasi epidemi kekerasan digital ini membutuhkan pendekatan multi-pihak yang komprehensif. Ini bukan hanya tanggung jawab korban, tetapi kita semua.

* Untuk Media Massa: Organisasi media harus mengambil peran proaktif dalam melindungi jurnalisnya. Ini termasuk menyediakan pelatihan keamanan digital, membangun sistem dukungan internal yang kuat untuk pelaporan dan penanganan kasus kekerasan, serta memberikan dukungan hukum dan psikologis. Kebijakan anti-kekerasan yang jelas dan ditegakkan dengan tegas sangat dibutuhkan.
* Untuk Pemerintah dan Penegak Hukum: Diperlukan penegakan hukum yang lebih serius terhadap pelaku kekerasan digital. Pemerintah harus memastikan kerangka hukum yang memadai untuk melindungi jurnalis dari ancaman online, serta meningkatkan kapasitas penegak hukum dalam mengidentifikasi dan memproses kasus-kasus cybercrime. Edukasi publik tentang konsekuensi hukum dari kekerasan digital juga penting.
* Untuk Platform Digital: Perusahaan platform media sosial memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan lingkungan yang aman bagi penggunanya. Mereka harus memperketat kebijakan moderasi konten, meningkatkan transparansi dalam penanganan laporan kekerasan, dan berinvestasi dalam teknologi yang lebih baik untuk mendeteksi dan menghapus konten berbahaya.
* Untuk Publik dan Masyarakat Sipil: Literasi digital yang lebih baik adalah kunci. Masyarakat perlu diedukasi tentang etika berinteraksi online, pentingnya tidak menyebarkan ujaran kebencian, dan bagaimana menjadi sekutu bagi korban kekerasan digital. Dukungan dari organisasi masyarakat sipil dan sesama jurnalis juga krusial untuk membangun jaringan solidaritas dan advokasi.

Mari Bersatu Melawan Kekerasan Digital

Angka 85,7 persen adalah panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Jurnalis perempuan adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang untuk menerangi kebenaran, dan sudah saatnya kita memastikan mereka dapat melakukan pekerjaan mereka tanpa rasa takut. Kekerasan digital bukan hanya masalah mereka; ini adalah masalah kita semua sebagai masyarakat yang menghargai kebebasan berbicara, kesetaraan, dan informasi yang akurat.

Mari kita mulai dengan berhenti menyebarkan kebencian online, melaporkan konten yang melanggar, dan mendukung jurnalis perempuan dalam perjuangan mereka. Beri mereka ruang yang aman untuk bersuara, karena ketika suara mereka dibungkam, kitalah yang rugi. Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran, dan mari bersama-sama menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan inklusif bagi semua.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.