Menguak Beban Sejarah: Mengapa Kekuasaan Soeharto Bukan Sekadar Kesalahan, Melainkan Kejahatan?

Menguak Beban Sejarah: Mengapa Kekuasaan Soeharto Bukan Sekadar Kesalahan, Melainkan Kejahatan?

Artikel ini membahas mengapa tindakan rezim Soeharto harus disebut sebagai "kejahatan", bukan sekadar "kesalahan".

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Menguak Beban Sejarah: Mengapa Kekuasaan Soeharto Bukan Sekadar Kesalahan, Melainkan Kejahatan?



Debat tentang warisan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, tak pernah benar-benar padam. Setiap kali narasi tentang Orde Baru kembali mengemuka, ia selalu membelah masyarakat menjadi dua kutub: mereka yang memuji stabilitas dan pembangunan, dan mereka yang mengutuk represi serta korupsi. Namun, di balik nostalgia dan kritik, ada sebuah perdebatan krusial yang harus kita hadapi sebagai bangsa yang dewasa dan berintegritas: apakah tindakan-tindakan di bawah kekuasaan Soeharto dapat digolongkan sebagai "kesalahan" semata, ataukah sebenarnya merupakan "kejahatan" sistematis yang menuntut pengakuan dan pertanggungjawaban?

Artikel ini akan menyelami lebih dalam mengapa penting untuk membuat distingsi ini, menggali bukti-bukti historis, dan merefleksikan implikasinya bagi keadilan, rekonsiliasi, serta masa depan demokrasi Indonesia. Pemahaman yang jujur terhadap masa lalu adalah kunci untuk membangun fondasi bangsa yang lebih kuat dan adil.

Membedah Retorika: Kesalahan vs. Kejahatan dalam Sejarah



Istilah "kesalahan" dan "kejahatan" seringkali digunakan secara bergantian dalam percakapan sehari-hari, namun dalam konteks hukum, etika, dan sejarah, keduanya memiliki bobot dan implikasi yang sangat berbeda. Memahami perbedaan ini adalah langkah awal yang fundamental untuk mengurai kompleksitas era Orde Baru.

Definisi dan Implikasi


"Kesalahan" merujuk pada kekeliruan, miskalkulasi, atau keputusan yang kurang tepat yang mungkin dilakukan tanpa niat jahat dan seringkali dapat diperbaiki. Misalnya, kebijakan ekonomi yang tidak efektif atau proyek pembangunan yang gagal bisa dianggap sebagai kesalahan. Namun, "kejahatan" mengandung unsur niat buruk, pelanggaran hukum berat, serta tindakan yang menyebabkan penderitaan massal atau kerusakan fundamental terhadap tatanan sosial dan kemanusiaan. Kejahatan, khususnya dalam konteks kekuasaan, seringkali bersifat sistematis dan terencana.

Mengategorikan tindakan Soeharto dan rezimnya sebagai "kesalahan" adalah upaya untuk meminimalkan dampak masif dari kebijakan dan praktik yang diterapkan. Ini seolah menyamakan kerugian jiwa, pelanggaran hak asasi manusia, dan pengurasan kekayaan negara dengan sebuah 'lapsus' atau 'human error'. Sebaliknya, menyebutnya "kejahatan" adalah pengakuan atas beratnya pelanggaran yang terjadi, membuka jalan bagi pertanggungjawaban moral dan historis, bahkan jika pertanggungjawaban hukum formal sulit diwujudkan.

Warisan Kegelapan: Tuduhan Kejahatan Era Orde Baru



Untuk memahami mengapa banyak pihak bersikeras menyebut tindakan Orde Baru sebagai "kejahatan", kita perlu menilik kembali berbagai peristiwa dan kebijakan yang menjadi ciri khas rezim tersebut. Ini bukan sekadar kritik politik, melainkan pengungkapan pola-pola yang sistematis dan merusak.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)


Era Orde Baru diwarnai oleh serangkaian pelanggaran HAM berat yang tak terhitung jumlahnya. Dimulai dari pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada tahun 1965-1966—peristiwa yang membuka jalan bagi kekuasaan Soeharto—di mana jutaan orang dituduh terlibat dan ratusan ribu tewas tanpa pengadilan. Kemudian berlanjut dengan operasi militer brutal di Timor Timur (kini Timor Leste) setelah invasi tahun 1975, mengakibatkan kematian ratusan ribu jiwa dan kejahatan kemanusiaan seperti penghilangan paksa dan penyiksaan.

Di Aceh dan Papua, operasi militer dan penindasan terhadap gerakan separatis juga memakan korban jiwa sipil yang tak terhitung, seringkali diwarnai oleh kekerasan yang berlebihan. Kasus-kasus seperti Peristiwa Tanjung Priok 1984, penembakan misterius (Petrus) terhadap preman, hingga pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993, menunjukkan pola represi negara terhadap warga sipil yang dianggap mengancam stabilitas atau kepentingan penguasa. Ini semua adalah tindakan yang tidak bisa dikategorikan sebagai kesalahan kebijakan biasa, melainkan pelanggaran berat terhadap hak hidup, kebebasan, dan martabat manusia.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)


Meskipun Orde Baru memproklamasikan dirinya sebagai rezim yang memberantas KKN, ironisnya, ia justru menjadi salah satu rezim paling korup dalam sejarah dunia. Soeharto dan lingkaran terdekatnya, termasuk keluarga dan kroninya, membangun sebuah kerajaan bisnis yang luas, menguras kekayaan negara melalui monopoli, lisensi khusus, dan proyek-proyek yang menguntungkan pribadi.

Transparansi dan akuntabilitas adalah barang langka. Dana-dana negara, bantuan luar negeri, dan keuntungan dari sumber daya alam dialirkan ke kantong-kantong pribadi dan yayasan-yayasan yang dikendalikan oleh keluarga Soeharto. World Bank dan Transparency International memperkirakan kekayaan yang dikorupsi oleh Soeharto dan keluarganya mencapai puluhan miliar dolar AS. Skala korupsi ini bukan sekadar 'kesalahan' pengelolaan keuangan, melainkan pencurian sistematis terhadap hak ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia, menghambat pembangunan yang inklusif dan menciptakan kesenjangan sosial yang parah.

Otoritarianisme dan Pembungkaman Demokrasi


Soeharto membangun sebuah rezim otoriter yang membungkam suara-suara kritis dan membatasi partisipasi politik rakyat. Partai politik dikebiri, pers disensor ketat, dan kebebasan berekspresi dihimpit. Mahasiswa, aktivis, seniman, dan intelektual yang berani menyuarakan perbedaan pendapat seringkali menghadapi ancaman, penangkapan, bahkan penghilangan.

Sistem hukum dimanipulasi untuk melayani kepentingan penguasa, bukan keadilan. Pemilihan umum menjadi ritual tanpa makna kompetitif, di mana kemenangan Golkar selalu dijamin. Lembaga-lembaga negara, termasuk militer dan birokrasi, digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Pembungkaman demokrasi ini bukanlah sebuah 'kesalahan' dalam tata kelola negara, melainkan kejahatan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara, menghancurkan fondasi-fondasi yang seharusnya menopang sebuah negara demokratis.

Mengapa Penting untuk Memanggilnya "Kejahatan"?



Mengakui bahwa tindakan Soeharto dan rezim Orde Baru adalah "kejahatan" memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar label. Ini adalah langkah fundamental untuk penyembuhan bangsa dan pembangunan masa depan yang lebih baik.

Keadilan bagi Korban


Bagi jutaan korban pelanggaran HAM dan keluarga mereka, pengakuan bahwa apa yang mereka alami adalah hasil dari kejahatan adalah sebuah bentuk keadilan moral yang esensial. Ini memberikan validasi atas penderitaan mereka dan membantu memulihkan martabat yang telah dirampas. Tanpa pengakuan ini, luka-luka sejarah akan terus menganga dan menghantui generasi mendatang.

Pelajaran untuk Masa Depan


Dengan mengakui kejahatan masa lalu, kita dapat belajar pelajaran berharga tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi yang merajalela, dan penindasan demokrasi. Ini adalah peringatan kuat bagi pemimpin masa depan dan masyarakat untuk tidak pernah membiarkan sejarah kelam terulang kembali. Pengakuan ini memperkuat komitmen kita terhadap hak asasi manusia, supremasi hukum, dan demokrasi yang partisipatif.

Integritas Sejarah Bangsa


Sebuah bangsa yang dewasa harus berani menghadapi kebenaran pahit dari masa lalunya. Menutupi atau meminimalkan kejahatan sejarah hanya akan menciptakan narasi yang cacat dan rapuh. Dengan jujur menyebutnya "kejahatan", kita membangun integritas sejarah bangsa, memungkinkan rekonsiliasi yang sesungguhnya dan pondasi moral yang kokoh untuk identitas nasional. Ini bukan tentang dendam, tetapi tentang kebenaran.

Jalan ke Depan: Menuju Rekonsiliasi yang Berkeadilan



Mengakui bahwa ada kejahatan yang terjadi di masa lalu adalah langkah pertama, namun jalan menuju rekonsiliasi yang adil dan langgeng masih panjang. Ini membutuhkan komitmen berkelanjutan dari negara dan masyarakat. Upaya penegakan keadilan transisional, seperti pengungkapan kebenaran, pemulihan nama baik korban, rehabilitasi, dan pencegahan terulangnya kejahatan, harus terus didorong.

Meskipun Soeharto sendiri telah tiada, prinsip akuntabilitas dan keadilan tidak boleh ikut terkubur. Pendidikan sejarah yang komprehensif, dukungan terhadap riset tentang Orde Baru, dan ruang bagi dialog terbuka adalah vital. Masyarakat harus terus aktif menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpinnya, memastikan bahwa kekuasaan selalu digunakan untuk kebaikan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kesimpulan



Perdebatan tentang Soeharto dan Orde Baru adalah lebih dari sekadar perselisihan opini; ini adalah pertarungan untuk kebenaran sejarah dan keadilan. Menyebut tindakan rezim Soeharto sebagai "kejahatan" bukanlah upaya untuk menghujat atau memecah belah, melainkan sebuah seruan untuk kejujuran historis dan pertanggungjawaban moral. Ini adalah pengakuan bahwa penderitaan jutaan orang bukanlah akibat dari "kesalahan" biasa, melainkan hasil dari kebijakan dan praktik yang merusak hak asasi manusia, merampok kekayaan negara, dan membungkam demokrasi secara sistematis.

Sebagai bangsa yang sedang berproses menuju kematangan, kita memiliki tanggung jawab untuk menghadapi masa lalu kita secara jujur, mengakui kejahatan yang terjadi, dan belajar darinya. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa sejarah kelam tidak terulang dan membangun Indonesia yang benar-benar berlandaskan keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi sejati untuk generasi mendatang. Apa pendapat Anda? Mari kita lanjutkan percakapan ini dan sebarkan kesadaran akan pentingnya sejarah yang jujur.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.