Menggali Akar Bencana: Suara Kenabian Ephorus HKBP Terhadap "Ulah Manusia" di Sumatera
Ephorus HKBP, Pdt.
Menggali Akar Bencana: Suara Kenabian Ephorus HKBP Terhadap "Ulah Manusia" di Sumatera
Bencana alam di Indonesia, khususnya banjir dan tanah longsor yang kerap melanda Sumatera, seringkali dianggap sebagai takdir atau fenomena alam biasa. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan bahwa di balik setiap tetes air bah yang meluap, atau setiap bongkahan tanah yang longsor, ada jejak tangan manusia? Pertanyaan mendalam ini yang kini digaungkan oleh Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt. Robinson Butarbutar, yang secara tegas menyebut bahwa banjir di Sumatera adalah akibat langsung dari "ulah manusia" yang merusak alam. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah seruan moral dan spiritual yang menggugah kesadaran kita tentang hubungan yang rusak antara manusia dan lingkungan.
Pernyataan Ephorus HKBP ini menjadi sorotan, mengingat posisi beliau sebagai pemimpin spiritual salah satu denominasi Kristen terbesar di Indonesia. Pesan ini melampaui batas-batas denominasi, menyentuh inti permasalahan yang kerap kita hindari: tanggung jawab kolektif atas kehancuran alam. Ini adalah panggilan untuk refleksi mendalam, bukan hanya bagi umat Kristen, tetapi bagi seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan korporasi, untuk melihat bencana bukan hanya sebagai musibah, melainkan sebagai cermin dari tindakan-tindakan kita.
Suara Kenabian dari Ephorus HKBP: Ketika Alam Berbicara Melalui Bencana
Dalam khotbah dan pernyataan publiknya, Pdt. Robinson Butarbutar tidak segan-segan menunjuk pada akar permasalahan bencana banjir di Sumatera. Beliau dengan jelas menyebut bahwa aktivitas seperti penebangan liar, pertambangan ilegal, dan eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab adalah pemicu utama. Ini adalah "ulah manusia" yang secara sistematis merusak ekosistem, menghilangkan fungsi hutan sebagai penahan air, dan mengubah bentang alam yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan.
Pernyataan ini memiliki resonansi spiritual yang kuat. Dalam banyak tradisi keagamaan, alam dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dieksploitasi semena-mena. Ketika manusia melanggar prinsip ini, maka keseimbangan alam akan terganggu, dan pada akhirnya, dampak buruknya akan kembali kepada manusia itu sendiri. Ephorus HKBP mengingatkan bahwa sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan adalah bentuk pelanggaran terhadap perintah ilahi untuk menjaga bumi. Ini adalah peringatan bahwa krisis lingkungan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga krisis moral dan spiritual yang membutuhkan "pertobatan" kolektif dalam cara kita berinteraksi dengan alam.
Akar Masalah: "Ulah Manusia" di Balik Bencana Sumatera
Mari kita bedah lebih lanjut apa saja yang termasuk dalam "ulah manusia" yang disoroti oleh Ephorus HKBP.
Penebangan Liar yang Merajalela
Sumatera, dengan hutan tropisnya yang kaya, telah lama menjadi sasaran empuk praktik penebangan liar. Pohon-pohon yang seharusnya menjadi penjaga air dan tanah ditebang tanpa kendali, seringkali demi keuntungan sesaat. Akibatnya, ketika hujan deras turun, tidak ada lagi akar-akar pohon yang menahan air, tanah menjadi gembur dan mudah longsor, serta air langsung mengalir deras ke permukiman, menyebabkan banjir bandang. Degradasi hutan ini tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak sistem hidrologi alami.
Pertambangan Ilegal dan Eksploitasi Sumber Daya
Selain penebangan liar, aktivitas pertambangan ilegal juga menjadi momok. Tanpa izin, tanpa standar lingkungan yang ketat, dan seringkali menggunakan metode merusak, pertambangan ini meninggalkan lubang-lubang besar di tanah, merusak struktur geologi, dan mencemari sungai-sungai dengan limbah kimia berbahaya. Efek domino dari praktik ini adalah erosi yang parah, sedimentasi sungai yang cepat, dan kontaminasi air bersih yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan
Urbanisasi dan pembangunan infrastruktur yang pesat, jika tidak direncanakan dengan matang dan berkelanjutan, juga berkontribusi pada masalah ini. Pembukaan lahan untuk perkebunan monokultur, pembangunan permukiman di daerah resapan air, hingga penutupan daerah hijau dengan beton, semuanya mengurangi kapasitas bumi untuk menyerap dan menampung air. Akibatnya, sedikit saja curah hujan tinggi, genangan air akan meluas dan menjadi bencana banjir.
Data dan fakta ilmiah pun konsisten mendukung peringatan spiritual ini. Laporan dari berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa deforestasi di Sumatera masih menjadi isu serius, dan banyak wilayahnya telah kehilangan sebagian besar tutupan hutan primer dalam beberapa dekade terakhir. Perubahan iklim global juga memperparah kondisi dengan meningkatkan intensitas curah hujan, menjadikan wilayah yang rentan semakin rentan terhadap bencana.
Tanggung Jawab Kolektif: Lebih dari Sekadar Bencana Alam Biasa
Pesan Ephorus HKBP bukanlah sekadar keluh kesah, melainkan ajakan untuk mengambil tanggung jawab. Bencana di Sumatera bukan lagi murni "alam", melainkan "antropogenik"—disebabkan oleh aktivitas manusia. Ini berarti solusinya pun ada di tangan manusia.
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menegakkan hukum lingkungan, memberantas praktik ilegal, dan merumuskan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Korporasi harus mengintegrasikan etika lingkungan dalam setiap operasi bisnisnya, mengutamakan keberlanjutan daripada keuntungan jangka pendek. Sementara itu, masyarakat individu juga memiliki peran krusial melalui kesadaran, partisipasi dalam menjaga lingkungan, dan menuntut akuntabilitas dari para pembuat kebijakan dan pelaku ekonomi.
Konsep "penyesalan dan pertobatan" yang diusung oleh Ephorus bukan hanya bermakna religius, tetapi juga berarti perubahan paradigma dan tindakan nyata. Ini adalah seruan untuk mengakui kesalahan, menyesali kerusakan yang telah terjadi, dan berkomitmen untuk tidak mengulangi pola-pola destruktif di masa depan.
Menuju Solusi Berkelanjutan: Mengembalikan Harmoni Antara Manusia dan Alam
Merespons seruan ini, langkah-langkah konkret perlu segera diambil:
1. Penegakan Hukum yang Tegas: Tidak ada toleransi bagi pelaku penebangan liar dan pertambangan ilegal. Hukuman yang berat dan konsisten adalah kunci.
2. Rehabilitasi dan Reforestasi: Program penanaman kembali hutan yang masif dan terencana di area-area kritis harus digalakkan, melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat.
3. Edukasi Lingkungan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan sejak dini, melalui kurikulum pendidikan dan kampanye publik yang berkelanjutan.
4. Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan: Mendorong praktik pertanian dan perkebunan yang ramah lingkungan, serta mengembangkan sektor ekonomi yang tidak merusak alam.
5. Partisipasi Komunitas: Melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam, karena merekalah penjaga utama lingkungan di wilayahnya.
Pernyataan Ephorus HKBP ini adalah sebuah mercusuar di tengah badai krisis lingkungan. Ini adalah pengingat bahwa alam adalah karunia yang harus dijaga, bukan harta yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Mari kita jadikan bencana di Sumatera sebagai pelajaran berharga, momentum untuk bersatu, dan bergerak menuju harmoni yang berkelanjutan antara manusia dan alam.
Masa Depan Bumi Ada di Tangan Kita
Krisis iklim dan lingkungan adalah tantangan terbesar zaman ini. Mengabaikan peringatan dari alam—dan kini dari pemimpin spiritual—adalah bentuk kelalaian yang akan dibayar mahal oleh generasi mendatang. Sudah saatnya kita tidak hanya berdoa dan berharap, tetapi juga bertindak nyata, berani berubah, dan menjadi bagian dari solusi. Bagikan artikel ini, diskusikan, dan yang terpenting, mulailah beraksi. Masa depan Sumatera, dan bahkan seluruh Indonesia, ada di tangan kita. Apa yang akan Anda lakukan untuk Bumi hari ini?
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.