Marsinah: Antara Gelar Pahlawan dan Harapan Keadilan yang Terpisah

Marsinah: Antara Gelar Pahlawan dan Harapan Keadilan yang Terpisah

Istana menyatakan bahwa rencana penetapan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional tidak terkait dengan penyidikan ulang kasus pembunuhannya.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Marsinah. Sebuah nama yang mengukir luka dan semangat perjuangan di hati nurani bangsa Indonesia. Kisahnya adalah cerminan getir dari perjuangan buruh dan perburuan keadilan yang tak kunjung usai. Baru-baru ini, berita tentang rencana pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah kembali menyeruak, memicu gelombang harapan sekaligus pertanyaan mendalam. Namun, di tengah euforia pengakuan atas jasa-jasanya, Istana mengeluarkan pernyataan krusial: penetapan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional tidak terkait dengan penyidikan ulang kasus pembunuhannya.

Pernyataan ini, bak dua sisi mata uang, menghadirkan kompleksitas tersendiri. Di satu sisi, ada pengakuan atas kontribusi heroik Marsinah. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa pengakuan ini bisa menjadi cara untuk "menutup buku" atas tuntutan keadilan yang telah lama digantungkan. Lantas, apa makna sebenarnya dari gelar Pahlawan Nasional bagi Marsinah jika harapan penuntasan kasusnya tetap terpisah? Mari kita telaah lebih dalam.

Mengurai Benang Kusut: Kepahlawanan dan Keadilan Marsinah



Pernyataan dari Istana melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, cukup jelas. Ngabalin menegaskan bahwa pembahasan penetapan gelar Pahlawan Nasional Marsinah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Kriteria utamanya adalah jasa dan perjuangan yang luar biasa bagi bangsa dan negara, tanpa menyinggung status hukum kasus kematiannya.

Pandangan ini mencoba memisahkan antara dimensi historis pengakuan atas jasa seorang individu dengan dimensi hukum dari sebuah kasus. Bagi pemerintah, gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk penghargaan tertinggi atas kontribusi yang tak ternilai. Ini adalah pengakuan bahwa Marsinah, melalui perjuangannya yang berujung tragis, telah memberikan dampak signifikan terhadap kesadaran akan hak-hak buruh dan demokrasi di Indonesia. Namun, bagi sebagian masyarakat, terutama pegiat hak asasi manusia dan keluarga korban, kedua dimensi ini tak bisa dipisahkan begitu saja. Keadilan sejati bagi Marsinah adalah ketika pembunuhnya terungkap dan dihukum setimpal.

Jejak Perjuangan Marsinah: Mengapa Ia Layak Jadi Pahlawan?



Siapakah Marsinah? Ia adalah seorang buruh pabrik arloji PT. Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Mei 1993, Marsinah aktif memimpin unjuk rasa menuntut kenaikan upah buruh dan hak-hak pekerja lainnya. Pada masa Orde Baru yang represif, aksi semacam ini adalah tindakan berani yang penuh risiko. Setelah terlibat aktif dalam aksi mogok, Marsinah tiba-tiba menghilang dan ditemukan tewas mengenaskan beberapa hari kemudian. Tubuhnya ditemukan di sebuah gubuk di Desa Jagong, Nganjuk, dengan tanda-tanda penyiksaan berat.

Kematian Marsinah segera menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan buruh dan pelanggaran HAM berat yang sistematis. Kasusnya menarik perhatian nasional dan internasional, mengungkap brutalitas aparat dan pengusaha terhadap suara-suara rakyat yang menuntut keadilan. Perjuangannya, meskipun berujung tragis, telah menginspirasi banyak pihak dan turut mendorong lahirnya reformasi di kemudian hari.

Dalam konteks ini, pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Marsinah adalah bentuk pengakuan bahwa pengorbanannya bukan sia-sia. Ia telah memenuhi kriteria "yang berjasa besar bagi bangsa dan negara" karena telah memelopori, mengembangkan, dan menyebarluaskan pemikiran atau gagasan yang menunjang pembangunan bangsa dan negara, serta memberikan sumbangan besar yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara.

Harapan Keadilan yang Masih Menggantung



Meskipun pengakuan atas jasa Marsinah disambut baik, pernyataan Istana yang memisahkan gelar pahlawan dari penyidikan ulang kasus pembunuhannya menimbulkan ganjalan. Bagi banyak aktivis HAM, keluarga, dan masyarakat yang peduli, gelar pahlawan tanpa keadilan adalah pengakuan yang tidak utuh.

Kasus pembunuhan Marsinah adalah salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM berat yang masih menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Penyelidikan awal kasus ini diwarnai kontroversi, mulai dari dugaan rekayasa bukti, penyiksaan tersangka untuk mendapatkan pengakuan, hingga putusan pengadilan yang kerap dianggap tidak memuaskan. Beberapa terdakwa sempat divonis bersalah di tingkat pengadilan negeri, namun kemudian dibebaskan di tingkat banding atau kasasi. Hasilnya, hingga kini, pembunuh sebenarnya dan dalang di balik kekejaman terhadap Marsinah belum pernah terungkap dan dihukum secara adil.

Tuntutan untuk membuka kembali penyidikan kasus Marsinah, atau bahkan membentuk pengadilan ad-hoc HAM, telah bergaung selama puluhan tahun. Keluarga Marsinah dan organisasi HAM terus berjuang untuk mencari kejelasan dan keadilan, meyakini bahwa hanya dengan menuntaskan kasus ini, arwah Marsinah dapat beristirahat dengan tenang dan keadilan benar-benar ditegakkan.

Dilema Pemerintah: Antara Pengakuan dan Penuntasan Kasus



Sikap pemerintah yang memisahkan kedua isu ini dapat dipahami dari beberapa perspektif. Pertama, secara legal, kasus Marsinah telah melewati serangkaian proses hukum dengan putusan pengadilan yang inkrah, meskipun diwarnai kontroversi. Membuka kembali kasus yang sudah lama dan melibatkan banyak pihak di masa lalu adalah tantangan besar, baik secara yuridis maupun politis. Kedua, pemerintah mungkin ingin fokus pada pengakuan positif atas jasa Marsinah, tanpa terjebak dalam pusaran kompleksitas kasus hukum yang belum terselesaikan.

Namun, di sisi lain, dilema ini juga menyoroti kerapuhan sistem keadilan di Indonesia. Bagaimana mungkin seorang yang diakui sebagai pahlawan nasional, simbol perjuangan hak asasi, justru belum mendapatkan keadilan atas kematiannya sendiri? Apakah pengakuan tanpa penuntasan kasus tidak akan menjadi preseden bahwa negara bisa "menghormati" korban tanpa harus "mempertanggungjawabkan" pelaku?

Momentum Refleksi: Apa Arti Sebenarnya Gelar Pahlawan Nasional?



Kasus Marsinah ini menjadi momentum penting bagi kita untuk merefleksikan makna sesungguhnya dari gelar Pahlawan Nasional. Apakah gelar ini semata-mata penghargaan atas jasa masa lalu, ataukah juga membawa serta tanggung jawab negara untuk menegakkan keadilan atas nama pahlawan tersebut?

Gelar pahlawan seharusnya menjadi inspirasi, bukan hanya untuk mengenang jasa, tetapi juga untuk terus memperjuangkan nilai-nilai yang mereka emban. Dalam kasus Marsinah, nilai-nilai tersebut adalah hak asasi manusia, keadilan bagi buruh, dan penegakan hukum yang berpihak pada kebenaran. Jika keadilan tak kunjung didapatkan, maka gelar pahlawan bisa terasa hampa, setidaknya bagi mereka yang selama ini berjuang menuntut kebenaran.

Menatap Masa Depan: Harapan untuk Buruh dan Keadilan di Indonesia



Terlepas dari perdebatan mengenai korelasi gelar pahlawan dengan penyidikan kasus, keputusan pemerintah untuk mengakui Marsinah sebagai Pahlawan Nasional tetap merupakan langkah penting. Ini adalah pengakuan simbolis bahwa perjuangan buruh adalah bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa. Diharapkan, pengakuan ini juga dapat memicu perhatian lebih besar terhadap isu-isu buruh di masa kini, serta menjadi dorongan bagi pemerintah untuk lebih serius dalam melindungi hak-hak pekerja.

Namun, pengakuan ini tidak boleh menjadi akhir dari segalanya. Keadilan untuk Marsinah dan seluruh korban pelanggaran HAM lainnya harus terus menjadi tuntutan yang tak boleh padam. Sejarah telah mencatat nama Marsinah sebagai martir perjuangan buruh, dan bangsa ini berutang padanya sebuah keadilan yang utuh.

Kesimpulan

Keputusan Istana untuk menunjuk Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, terpisah dari penyidikan ulang kasus pembunuhannya, adalah langkah yang patut dicermati. Ini adalah pengakuan atas pengorbanan dan jasa luar biasa seorang buruh yang berani melawan penindasan. Namun, bagi keluarga dan aktivis, pengakuan tanpa keadilan adalah sebuah ironi yang menyayat hati.

Marsinah bukan hanya sekadar nama yang akan teruk dalam daftar pahlawan, melainkan simbol abadi perjuangan tak kenal lelah untuk hak-hak buruh dan keadilan. Gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk penghormatan, tetapi penuntasan kasus pembunuhannya adalah bentuk keadilan yang sesungguhnya. Semoga pengakuan ini tidak hanya menjadi penutup buku, melainkan justru pembuka babak baru dalam upaya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Bagaimana menurut Anda? Apakah gelar Pahlawan Nasional cukup untuk Marsinah, ataukah keadilan harus menyertai setiap pengakuan atas pengorbanan? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.