Korupsi Sebagai Pelanggaran HAM: Harapan Baru atau Dilema Hukum? ICW Bersuara!

Korupsi Sebagai Pelanggaran HAM: Harapan Baru atau Dilema Hukum? ICW Bersuara!

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti pentingnya sinkronisasi aturan hukum terkait usulan agar korupsi, khususnya korupsi tingkat tinggi, dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Bayangkan sebuah negara di mana layanan kesehatan dasar tak terjangkau, pendidikan berkualitas hanya mimpi, dan infrastruktur vital ambruk. Semua itu bukan karena bencana alam, melainkan karena praktik korupsi yang menggerogoti setiap sendi kehidupan. Bukankah ini juga sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan, sebuah pelanggaran hak asasi manusia?

Wacana untuk mengklasifikasikan korupsi, terutama korupsi tingkat tinggi, sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kini semakin mengemuka di Indonesia. Sebuah usulan yang menjanjikan harapan baru dalam pemberantasan korupsi, namun juga memicu perdebatan sengit dan pertanyaan kritis terkait sinkronisasi aturan hukum. Indonesia Corruption Watch (ICW) turut angkat bicara, menyoroti urgensi sinkronisasi regulasi jika wacana ini benar-benar akan diimplementasikan. Mari kita selami lebih dalam implikasi dan tantangan di balik gagasan revolusioner ini.

Korupsi dan HAM: Mengapa Korupsi Pantas Disebut Pelanggaran HAM?



Secara tradisional, korupsi dipandang sebagai kejahatan pidana yang merugikan keuangan negara. Namun, seiring waktu, pemahaman tentang dampak korupsi semakin meluas. Korupsi bukan hanya sekadar pencurian uang rakyat; ia adalah kejahatan sistemik yang merampas hak-hak dasar warga negara.

Ketika dana pendidikan diselewengkan, anak-anak kehilangan hak atas pendidikan yang layak. Saat anggaran kesehatan dikorupsi, masyarakat miskin sulit mengakses layanan medis. Proyek infrastruktur yang mangkrak akibat suap dan mark-up merampas hak masyarakat atas fasilitas publik yang aman dan berfungsi. Bahkan, korupsi dapat mengancam hak sipil dan politik dengan merusak integritas pemilihan umum dan sistem peradilan.

Para pegiat HAM dan ahli hukum internasional telah lama menyerukan agar korupsi diakui sebagai pelanggaran HAM. Argumentasinya kuat: korupsi secara langsung atau tidak langsung melanggar berbagai hak asasi manusia, seperti hak atas kehidupan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas air bersih, hak atas pekerjaan, hingga hak atas keadilan dan pemerintahan yang bersih. Klasifikasi ini dapat memberikan legitimasi hukum yang lebih kuat untuk menuntut akuntabilitas, tidak hanya dari para pelaku, tetapi juga dari negara yang gagal melindungi warganya dari dampak korupsi.

Tantangan Implementasi: Sinkronisasi Aturan dan Klasifikasi Menurut ICW



Meskipun gagasan ini menjanjikan, ICW menekankan bahwa jalan menuju implementasinya tidaklah mudah. Perlu adanya sinkronisasi dan penyesuaian yang komprehensif terhadap berbagai undang-undang di Indonesia. Saat ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya mengakui pelanggaran HAM berat yang mencakup genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Memasukkan korupsi ke dalam kategori ini membutuhkan perubahan mendasar dalam kerangka hukum yang ada.

Pertama, definisi dan batasan. Tidak semua tindak pidana korupsi mungkin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. ICW menyoroti perlunya klasifikasi yang jelas: korupsi jenis apa dan dalam skala seperti apa yang dapat disebut sebagai pelanggaran HAM? Apakah korupsi kecil (petty corruption) juga termasuk, ataukah hanya korupsi berskala besar (grand corruption) yang berdampak masif pada masyarakat? Tanpa definisi yang presisi, risiko ambiguitas hukum dan potensi penyalahgunaan akan sangat tinggi.

Kedua, sinkronisasi antar undang-undang. Indonesia memiliki Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berdiri sendiri. Untuk menyatukan kedua konsep ini, revisi atau penambahan pasal dalam kedua undang-undang tersebut, serta kemungkinan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, menjadi keharusan. Sinkronisasi ini juga harus mempertimbangkan yurisdiksi dan kewenangan lembaga penegak hukum yang berbeda, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian, hingga Pengadilan HAM.

Ketiga, mekanisme pembuktian dan pertanggungjawaban. Jika korupsi dianggap pelanggaran HAM berat, maka standar pembuktiannya akan berbeda dan mungkin lebih kompleks. Dibutuhkan bukti yang kuat untuk menunjukkan korelasi langsung antara tindakan korupsi dan dampak pelanggaran hak asasi manusia yang dialami korban. Selain itu, konsekuensi hukumnya juga akan berbeda, termasuk kemungkinan adanya mekanisme reparasi bagi korban, yang belum sepenuhnya terwadahi dalam sistem peradilan korupsi saat ini.

Dampak Potensial: Harapan Baru atau Komplikasi Hukum?



Wacana ini membawa optimisme sekaligus kekhawatiran.

Sisi Positif: Senjata Baru Melawan Koruptor Kelas Kakap


Jika korupsi diakui sebagai pelanggaran HAM, beberapa dampak positif yang diharapkan meliputi:
* Efek Jera Lebih Kuat: Ancaman hukuman yang lebih berat, termasuk pertanggungjawaban pribadi atas pelanggaran HAM, dapat meningkatkan efek jera bagi para koruptor.
* Meningkatkan Akuntabilitas Negara: Negara akan memiliki kewajiban yang lebih besar untuk melindungi warganya dari dampak korupsi, bukan hanya sekadar menindak pelakunya.
* Peningkatan Pengawasan Internasional: Klasifikasi ini membuka pintu bagi pengawasan dan intervensi komunitas internasional dalam kasus-kasus korupsi yang berdampak luas, serupa dengan kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
* Mekanisme Pemulihan Korban: Potensi adanya reparasi atau kompensasi bagi korban korupsi dapat menjadi angin segar dalam menegakkan keadilan restoratif.

Sisi Negatif dan Tantangan: Kompleksitas yang Menguji Sistem Hukum


Namun, ada juga risiko dan tantangan yang tidak bisa diabaikan:
* Kekacauan Hukum: Tanpa sinkronisasi yang matang, dapat terjadi tumpang tindih yurisdiksi dan interpretasi hukum yang membingungkan.
* Beban Pembuktian Berat: Pembuktian adanya korelasi langsung antara korupsi dan pelanggaran HAM dapat sangat sulit, terutama untuk kasus-kasus korupsi yang dampaknya tidak langsung terlihat.
* Potensi Politisasi: Isu HAM seringkali rentan terhadap politisasi. Dikhawatirkan, klasifikasi ini bisa menjadi alat baru dalam perebutan kekuasaan atau serangan politik.
* Kapasitas Penegak Hukum: Lembaga penegak hukum harus diperkuat kapasitasnya dalam menangani kasus-kasus korupsi dengan perspektif HAM, yang membutuhkan keahlian dan sumber daya tambahan.

Membangun Konsensus dan Merancang Masa Depan Anti-Korupsi



Usulan ini bukan sekadar perubahan terminologi, melainkan sebuah pergeseran paradigma dalam memandang kejahatan korupsi. Ini adalah langkah maju yang berani, yang jika dieksekusi dengan bijaksana, dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, perjalanan ini membutuhkan kajian mendalam, partisipasi publik yang luas, dan kemauan politik yang kuat.

Pemerintah, DPR, akademisi, masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa perlu duduk bersama. Membangun konsensus, merancang regulasi yang komprehensif, dan mempersiapkan infrastruktur hukum yang memadai adalah kunci. Jangan sampai niat baik ini justru menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Indonesia berhak atas pemerintahan yang bersih, dan warganya berhak atas perlindungan HAM yang menyeluruh dari ancaman korupsi. Mari kita kawal proses ini demi masa depan Indonesia yang lebih adil dan beradab.

Bagaimana menurut Anda? Apakah ini langkah tepat untuk Indonesia? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.