Keadilan Tersandera? Mengapa Koalisi Sipil Begitu Ngotot Revisi UU Peradilan Militer & Apa Dampaknya Bagi Kita!
Koalisi sipil di Indonesia gencar mendesak revisi Undang-Undang Peradilan Militer untuk memindahkan yurisdiksi tindak pidana umum yang dilakukan anggota militer ke peradilan umum.
Keadilan adalah hak setiap warga negara, tanpa terkecuali. Namun, bagaimana jika sistem hukum yang seharusnya melindungi justru menciptakan celah diskriminasi? Inilah pertanyaan besar yang mengemuka seiring dengan desakan keras dari berbagai koalisi sipil di Indonesia untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Bukan tanpa alasan, dorongan ini datang dari keprihatinan mendalam terhadap sejumlah kasus yang dinilai mengusik rasa keadilan publik, di mana anggota militer yang melakukan tindak pidana umum justru diadili oleh peradilan militer, bukan peradilan umum.
Mengapa isu ini begitu penting dan mendesak? Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh koalisi sipil, dan mengapa reformasi hukum ini bisa berdampak signifikan bagi masa depan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia? Mari kita selami lebih dalam polemik yang krusial ini.
Mengapa Isu Ini Begitu Mendesak? Akar Masalah UU Peradilan Militer yang Lama
Undang-Undang Peradilan Militer tahun 1997 adalah warisan dari era yang berbeda, yang kini dianggap tidak lagi relevan dengan semangat reformasi dan prinsip negara hukum demokratis. Inti permasalahan utamanya adalah adanya dualisme hukum dan yurisdiksi yang tumpang tindih. Dalam sistem saat ini, anggota militer yang melakukan tindak pidana umum—seperti korupsi, pencurian, kekerasan, atau bahkan pembunuhan—tetap diadili di lingkungan peradilan militer, terpisah dari sistem peradilan umum yang berlaku bagi warga sipil.
Fenomena ini menimbulkan beberapa kritik fundamental:
* Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Peradilan militer seringkali dianggap kurang transparan dibandingkan peradilan umum. Proses persidangan yang tertutup, kurangnya akses publik, dan prosedur yang berbeda menyulitkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga independen. Hal ini berpotensi membuka ruang bagi praktik impunitas atau putusan yang tidak adil.
* Potensi Konflik Kepentingan: Hakim di peradilan militer adalah anggota militer itu sendiri. Meskipun memiliki integritas, ada kekhawatiran mengenai potensi konflik kepentingan atau solidaritas korps yang bisa mempengaruhi objektivitas putusan, terutama dalam kasus yang melibatkan rekan atau atasan.
* Pengecualian Prinsip Persamaan di Mata Hukum: Konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Namun, keberadaan peradilan militer yang mengadili tindak pidana umum bagi anggota militer dianggap melanggar prinsip ini, menciptakan kelas hukum yang berbeda.
* Tumpang Tindih Yurisdiksi: Dalam kasus tertentu, terutama yang melibatkan sipil dan militer, muncul masalah koneksitas yang rumit, di mana penanganan kasus bisa menjadi tidak efisien dan kurang responsif terhadap tuntutan keadilan.
Suara Rakyat Menuntut Keadilan: Desakan dari Koalisi Sipil
Berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Imparsial, KontraS, LBH Masyarakat, dan banyak lainnya, telah lama menyuarakan desakan revisi UU Peradilan Militer. Bagi mereka, revisi ini bukan sekadar perubahan teknis hukum, melainkan bagian integral dari agenda reformasi militer yang lebih luas dan penguatan supremasi sipil. Mereka tidak menuntut pembubaran peradilan militer, melainkan agar peradilan militer dikembalikan ke fungsi aslinya, yaitu hanya mengadili pelanggaran disiplin dan pidana militer murni.
Tuntutan utama koalisi sipil dapat dirangkum menjadi tiga poin krusial:
1. Perpindahan Yurisdiksi: Mendesak agar seluruh tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer, baik saat berdinas maupun di luar dinas, diadili oleh peradilan umum. Ini sejalan dengan prinsip universal bahwa kejahatan umum harus diadili oleh lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi semua warga negara.
2. Penghapusan Koneksitas: Menghapus mekanisme peradilan koneksitas yang seringkali rumit dan rawan intervensi. Jika ada tindak pidana yang melibatkan sipil dan militer, penanganannya harus tetap di bawah peradilan umum.
3. Penguatan Transparansi dan Akuntabilitas: Meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap peradilan militer agar lebih transparan dan akuntabel, sejalan dengan prinsip-prinsip good governance.
Desakan ini semakin menguat karena dinilai sebagai prasyarat bagi terwujudnya militer yang profesional, akuntabel, dan benar-benar patuh pada konstitusi.
Kasus Basarnas dan "Pemicu" Baru Desakan Reformasi
Kasus dugaan suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) menjadi pemicu terbaru yang kembali menghangatkan desakan revisi UU Peradilan Militer. Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Basarnas dan Koordinator Administrasi Basarnas sebagai tersangka. Namun, karena keduanya adalah perwira aktif TNI, penanganan perkara mereka kemudian diambil alih oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Situasi ini memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa sesuai undang-undang yang berlaku, anggota TNI harus diadili di peradilan militer. Di sisi lain, publik dan koalisi sipil mempertanyakan kembali efektivitas dan transparansi penanganan kasus korupsi di lingkungan militer. Apakah proses hukumnya akan sejelas dan setransparan jika diadili di Pengadilan Tipikor? Apakah putusan yang dihasilkan akan memberikan efek jera yang sama? Kasus Basarnas ini mempertegas urgensi untuk menyatukan sistem peradilan pidana, memastikan bahwa tidak ada institusi yang kebal hukum, bahkan militer sekalipun.
Menuju Militer Profesional dan Akuntabel: Manfaat Revisi UU
Jika revisi UU Peradilan Militer ini berhasil diwujudkan, dampak positifnya akan sangat signifikan:
* Penguatan Supremasi Sipil: Revisi ini akan menegaskan bahwa kekuasaan sipil berada di atas militer, sesuai dengan prinsip demokrasi modern. Militer akan fokus pada tugas pertahanan negara, sementara penegakan hukum umum menjadi domain peradilan sipil.
* Meningkatnya Kepercayaan Publik: Ketika anggota militer yang melakukan kejahatan umum diadili di peradilan umum yang lebih transparan, kepercayaan publik terhadap institusi TNI akan meningkat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum.
* Pencegahan Impunitas: Dengan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, peluang terjadinya impunitas atau putusan yang tidak adil akan semakin kecil. Setiap pelaku kejahatan akan dimintai pertanggungjawaban secara setara.
* Perlindungan HAM yang Lebih Baik: Revisi ini juga berpotensi memperkuat perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi korban yang berhadapan dengan anggota militer.
* Mendukung Profesionalisme Militer: Dengan membebaskan militer dari tugas-tugas penegakan hukum umum internal, institusi ini dapat lebih fokus pada profesionalisme di bidang pertahanan, yang merupakan tugas pokoknya.
Tantangan dan Harapan: Jalan Panjang Menuju Reformasi
Perjalanan untuk merevisi UU Peradilan Militer bukanlah tanpa tantangan. Resistance dari pihak-pihak tertentu yang merasa terancam dengan perubahan ini, serta kompleksitas proses legislasi di DPR, menjadi hambatan utama. Diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan agenda reformasi ini.
Namun, harapan tetap menyala. Desakan kuat dari masyarakat sipil, dukungan dari elemen-elemen progresif di legislatif dan eksekutif, serta kesadaran akan pentingnya militer yang profesional dan akuntabel, menjadi modal penting untuk terus mendorong revisi ini. Ini adalah saatnya bagi Indonesia untuk melangkah maju, memastikan bahwa prinsip keadilan berlaku setara bagi semua, tanpa memandang seragam atau pangkat.
Mari Bersama Mengawal Keadilan!
Revisi UU Peradilan Militer adalah ujian sejauh mana komitmen kita terhadap reformasi, supremasi hukum, dan keadilan substantif. Ini bukan hanya tentang militer, tetapi tentang fondasi negara hukum kita. Mari kita terus menyuarakan pentingnya perubahan ini, mendukung upaya koalisi sipil, dan memastikan bahwa setiap individu, baik sipil maupun militer, setara di mata hukum. Keadilan yang sejati hanya akan terwujud jika sistem hukum kita bersih dari bias dan diskriminasi. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mari bersama-sama menjadi bagian dari perubahan positif ini!
Mengapa isu ini begitu penting dan mendesak? Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh koalisi sipil, dan mengapa reformasi hukum ini bisa berdampak signifikan bagi masa depan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia? Mari kita selami lebih dalam polemik yang krusial ini.
Mengapa Isu Ini Begitu Mendesak? Akar Masalah UU Peradilan Militer yang Lama
Undang-Undang Peradilan Militer tahun 1997 adalah warisan dari era yang berbeda, yang kini dianggap tidak lagi relevan dengan semangat reformasi dan prinsip negara hukum demokratis. Inti permasalahan utamanya adalah adanya dualisme hukum dan yurisdiksi yang tumpang tindih. Dalam sistem saat ini, anggota militer yang melakukan tindak pidana umum—seperti korupsi, pencurian, kekerasan, atau bahkan pembunuhan—tetap diadili di lingkungan peradilan militer, terpisah dari sistem peradilan umum yang berlaku bagi warga sipil.
Fenomena ini menimbulkan beberapa kritik fundamental:
* Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Peradilan militer seringkali dianggap kurang transparan dibandingkan peradilan umum. Proses persidangan yang tertutup, kurangnya akses publik, dan prosedur yang berbeda menyulitkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga independen. Hal ini berpotensi membuka ruang bagi praktik impunitas atau putusan yang tidak adil.
* Potensi Konflik Kepentingan: Hakim di peradilan militer adalah anggota militer itu sendiri. Meskipun memiliki integritas, ada kekhawatiran mengenai potensi konflik kepentingan atau solidaritas korps yang bisa mempengaruhi objektivitas putusan, terutama dalam kasus yang melibatkan rekan atau atasan.
* Pengecualian Prinsip Persamaan di Mata Hukum: Konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Namun, keberadaan peradilan militer yang mengadili tindak pidana umum bagi anggota militer dianggap melanggar prinsip ini, menciptakan kelas hukum yang berbeda.
* Tumpang Tindih Yurisdiksi: Dalam kasus tertentu, terutama yang melibatkan sipil dan militer, muncul masalah koneksitas yang rumit, di mana penanganan kasus bisa menjadi tidak efisien dan kurang responsif terhadap tuntutan keadilan.
Suara Rakyat Menuntut Keadilan: Desakan dari Koalisi Sipil
Berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Imparsial, KontraS, LBH Masyarakat, dan banyak lainnya, telah lama menyuarakan desakan revisi UU Peradilan Militer. Bagi mereka, revisi ini bukan sekadar perubahan teknis hukum, melainkan bagian integral dari agenda reformasi militer yang lebih luas dan penguatan supremasi sipil. Mereka tidak menuntut pembubaran peradilan militer, melainkan agar peradilan militer dikembalikan ke fungsi aslinya, yaitu hanya mengadili pelanggaran disiplin dan pidana militer murni.
Tuntutan utama koalisi sipil dapat dirangkum menjadi tiga poin krusial:
1. Perpindahan Yurisdiksi: Mendesak agar seluruh tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer, baik saat berdinas maupun di luar dinas, diadili oleh peradilan umum. Ini sejalan dengan prinsip universal bahwa kejahatan umum harus diadili oleh lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi semua warga negara.
2. Penghapusan Koneksitas: Menghapus mekanisme peradilan koneksitas yang seringkali rumit dan rawan intervensi. Jika ada tindak pidana yang melibatkan sipil dan militer, penanganannya harus tetap di bawah peradilan umum.
3. Penguatan Transparansi dan Akuntabilitas: Meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap peradilan militer agar lebih transparan dan akuntabel, sejalan dengan prinsip-prinsip good governance.
Desakan ini semakin menguat karena dinilai sebagai prasyarat bagi terwujudnya militer yang profesional, akuntabel, dan benar-benar patuh pada konstitusi.
Kasus Basarnas dan "Pemicu" Baru Desakan Reformasi
Kasus dugaan suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) menjadi pemicu terbaru yang kembali menghangatkan desakan revisi UU Peradilan Militer. Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Basarnas dan Koordinator Administrasi Basarnas sebagai tersangka. Namun, karena keduanya adalah perwira aktif TNI, penanganan perkara mereka kemudian diambil alih oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Situasi ini memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa sesuai undang-undang yang berlaku, anggota TNI harus diadili di peradilan militer. Di sisi lain, publik dan koalisi sipil mempertanyakan kembali efektivitas dan transparansi penanganan kasus korupsi di lingkungan militer. Apakah proses hukumnya akan sejelas dan setransparan jika diadili di Pengadilan Tipikor? Apakah putusan yang dihasilkan akan memberikan efek jera yang sama? Kasus Basarnas ini mempertegas urgensi untuk menyatukan sistem peradilan pidana, memastikan bahwa tidak ada institusi yang kebal hukum, bahkan militer sekalipun.
Menuju Militer Profesional dan Akuntabel: Manfaat Revisi UU
Jika revisi UU Peradilan Militer ini berhasil diwujudkan, dampak positifnya akan sangat signifikan:
* Penguatan Supremasi Sipil: Revisi ini akan menegaskan bahwa kekuasaan sipil berada di atas militer, sesuai dengan prinsip demokrasi modern. Militer akan fokus pada tugas pertahanan negara, sementara penegakan hukum umum menjadi domain peradilan sipil.
* Meningkatnya Kepercayaan Publik: Ketika anggota militer yang melakukan kejahatan umum diadili di peradilan umum yang lebih transparan, kepercayaan publik terhadap institusi TNI akan meningkat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum.
* Pencegahan Impunitas: Dengan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, peluang terjadinya impunitas atau putusan yang tidak adil akan semakin kecil. Setiap pelaku kejahatan akan dimintai pertanggungjawaban secara setara.
* Perlindungan HAM yang Lebih Baik: Revisi ini juga berpotensi memperkuat perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi korban yang berhadapan dengan anggota militer.
* Mendukung Profesionalisme Militer: Dengan membebaskan militer dari tugas-tugas penegakan hukum umum internal, institusi ini dapat lebih fokus pada profesionalisme di bidang pertahanan, yang merupakan tugas pokoknya.
Tantangan dan Harapan: Jalan Panjang Menuju Reformasi
Perjalanan untuk merevisi UU Peradilan Militer bukanlah tanpa tantangan. Resistance dari pihak-pihak tertentu yang merasa terancam dengan perubahan ini, serta kompleksitas proses legislasi di DPR, menjadi hambatan utama. Diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan agenda reformasi ini.
Namun, harapan tetap menyala. Desakan kuat dari masyarakat sipil, dukungan dari elemen-elemen progresif di legislatif dan eksekutif, serta kesadaran akan pentingnya militer yang profesional dan akuntabel, menjadi modal penting untuk terus mendorong revisi ini. Ini adalah saatnya bagi Indonesia untuk melangkah maju, memastikan bahwa prinsip keadilan berlaku setara bagi semua, tanpa memandang seragam atau pangkat.
Mari Bersama Mengawal Keadilan!
Revisi UU Peradilan Militer adalah ujian sejauh mana komitmen kita terhadap reformasi, supremasi hukum, dan keadilan substantif. Ini bukan hanya tentang militer, tetapi tentang fondasi negara hukum kita. Mari kita terus menyuarakan pentingnya perubahan ini, mendukung upaya koalisi sipil, dan memastikan bahwa setiap individu, baik sipil maupun militer, setara di mata hukum. Keadilan yang sejati hanya akan terwujud jika sistem hukum kita bersih dari bias dan diskriminasi. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mari bersama-sama menjadi bagian dari perubahan positif ini!
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.