Jeritan Pedagang Pasar Barito: Penggusuran 'Tidak Humanis' Menurut PSI, Ada Apa di Balik Kebijakan Ini?

Jeritan Pedagang Pasar Barito: Penggusuran 'Tidak Humanis' Menurut PSI, Ada Apa di Balik Kebijakan Ini?

Legislator PSI menilai penggusuran pedagang di Pasar Barito, Jakarta, sebagai tindakan yang "tidak humanis" karena mengabaikan dialog, relokasi yang layak, dan dampak sosial-ekonomi bagi ribuan UMKM.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Jeritan Pedagang Pasar Barito: Penggusuran 'Tidak Humanis' Menurut PSI, Ada Apa di Balik Kebijakan Ini?



Pasar Barito, sebuah nama yang tak asing bagi warga Jakarta, bukan hanya sekadar tempat bertransaksi jual beli, melainkan juga saksi bisu denyut nadi kehidupan ribuan pedagang dan keluarga mereka selama puluhan tahun. Aroma rempah, tawa riang pembeli, hingga hiruk pikuk tawar-menawar adalah melodi keseharian yang membentuk identitas pasar tradisional ini. Namun, belakangan ini, melodi tersebut terancam sumbang. Kabar penggusuran pedagang di Pasar Barito telah memicu gelombang kekhawatiran dan memantik kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk legislator Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang secara terang-terangan menilai kebijakan ini "tidak humanis".

Pertanyaannya kemudian, benarkah di tengah ambisi modernisasi dan penataan kota, nilai kemanusiaan tergerus? Mengapa sebuah partai politik merasa perlu bersuara lantang, dan apa sebenarnya yang terjadi di balik tirai kebijakan penggusuran ini? Artikel ini akan menyelami lebih dalam isu penggusuran pedagang Pasar Barito, menggali perspektif yang berbeda, serta mencari tahu implikasi yang lebih luas bagi ekonomi rakyat kecil dan wajah kota Jakarta ke depan.

Suara Kritis dari Senayan: Mengapa PSI Menilai Penggusuran Ini Tidak Humanis?


Ketika sebuah kebijakan publik bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak, khususnya kelompok rentan, sensitivitas menjadi kunci. PSI, melalui salah satu legislatornya, menyoroti penggusuran pedagang Pasar Barito sebagai tindakan yang jauh dari nilai kemanusiaan. Kritik ini bukan sekadar retorika politik, melainkan berakar pada beberapa poin krusial yang dianggap mengabaikan hak-hak dasar pedagang.

Pertama, kurangnya dialog yang substantif dan partisipatif. Pedagang seringkali merasa tidak dilibatkan secara memadai dalam proses pengambilan keputusan yang sangat berdampak pada kehidupan mereka. Kebijakan yang turun dari atas tanpa mendengarkan aspirasi dan masukan dari bawah seringkali berakhir dengan penolakan dan konflik. Dialog yang humanis seharusnya menjadi fondasi utama, bukan sekadar formalitas.

Kedua, minimnya solusi relokasi yang layak dan berkelanjutan. Penggusuran tanpa diiringi dengan tempat relokasi yang strategis, terjangkau, dan menjamin keberlangsungan usaha, sama saja dengan mematikan mata pencarian pedagang secara perlahan. Lokasi baru harus mampu menarik pembeli, memiliki akses yang mudah, dan fasilitas yang memadai. Jika tidak, relokasi hanyalah pemindahan masalah, bukan penyelesaian. Legislator PSI menekankan bahwa solusi haruslah komprehensif, tidak hanya sebatas "memindahkan" tanpa memikirkan kelangsungan hidup mereka.

Ketiga, dampak ekonomi dan sosial yang masif. Para pedagang di Pasar Barito sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan berdagang. Penggusuran mendadak dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, hilangnya pelanggan, terputusnya rantai pasokan, dan bahkan merusak struktur sosial komunitas pedagang yang telah terbangun puluhan tahun. Ini bukan hanya soal kehilangan lapak, melainkan kehilangan masa depan, pendidikan anak-anak, dan jaminan kesehatan keluarga.

Dampak Nyata di Lapangan: Kisah Pedagang yang Terdampak


Di balik angka-angka statistik dan retorika kebijakan, ada wajah-wajah nyata, ada keluarga yang menggantungkan harapannya pada lapak sederhana di Pasar Barito. Bayangkan Ibu Susi, yang telah berjualan sayuran di sana selama 30 tahun, mewarisi usaha dari orang tuanya. Seluruh tabungannya, masa depannya, bahkan impian menyekolahkan anaknya hingga sarjana, terikat pada kios kecil itu. Ketika perintah penggusuran datang, bukan hanya lapaknya yang hilang, tetapi seluruh identitas dan harapan hidupnya seolah runtuh.

Demikian pula dengan Pak Budi, pedagang ikan yang setiap pagi buta berangkat ke pelelangan, memastikan dagangannya segar dan berkualitas. Pelanggan setianya sudah seperti keluarga sendiri. Penggusuran berarti ia harus memulai dari nol, mencari lokasi baru, membangun kembali jaringan pelanggan, dan menghadapi persaingan yang tidak pasti. Dampak psikologis berupa stres, kecemasan, dan ketidakpastian masa depan menjadi beban berat yang tak terlihat. Kisah-kisah ini, yang mungkin tidak terangkum dalam laporan resmi, adalah inti dari kritik "tidak humanis" yang disuarakan PSI. Mereka adalah pahlawan ekonomi rakyat yang berjuang di tengah keterbatasan, dan keberpihakan negara seharusnya hadir melindungi mereka.

Perspektif Berbeda: Latar Belakang Kebijakan dan Pihak Terkait


Tentu, setiap kebijakan memiliki alasan di baliknya. Pihak pemerintah daerah atau pengelola aset biasanya berargumen bahwa penggusuran adalah bagian dari upaya penataan kota, revitalisasi kawasan, atau pemanfaatan aset daerah yang lebih optimal. Seringkali, alasan-alasan seperti penertiban fasilitas publik, kebersihan, atau pengembangan infrastruktur menjadi dasar kebijakan ini.

Sebagai ibu kota yang terus berkembang, Jakarta memang membutuhkan penataan agar lebih modern, tertib, dan fungsional. Pemanfaatan lahan yang efektif menjadi krusial. Namun, pertanyaan besar yang selalu muncul adalah: apakah penataan ini harus selalu mengorbankan rakyat kecil? Apakah tidak ada cara lain yang lebih berkeadilan dan humanis untuk mencapai tujuan tersebut?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebagai pemangku kebijakan utama, memiliki tanggung jawab besar untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan kota dan kesejahteraan warganya, khususnya kelompok rentan seperti pedagang UMKM. Keputusan terkait penggusuran harus melalui kajian mendalam yang mempertimbangkan semua aspek, termasuk dampak sosial-ekonomi jangka panjang. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan juga menjadi kunci untuk menghindari persepsi negatif dan memastikan keadilan.

Mencari Solusi Berkelanjutan: Dialog dan Relokasi yang Layak


Jika penggusuran harus terjadi, maka prosesnya harus dilakukan dengan cara yang humanis dan berkeadilan. Apa yang bisa menjadi solusi berkelanjutan?

Pertama dan terpenting, adalah *dialog yang tulus dan setara*. Pemerintah harus duduk bersama pedagang, mendengarkan keluhan mereka, mencari titik temu, dan merumuskan solusi bersama. Proses ini tidak bisa instan, butuh waktu, empati, dan kesabaran.

Kedua, *program relokasi yang komprehensif*. Relokasi bukan sekadar memindahkan, tetapi memastikan pedagang dapat kembali beraktivitas dan mendapatkan penghasilan yang sama, atau bahkan lebih baik, di tempat baru. Ini berarti lokasi yang strategis, fasilitas yang memadai, promosi dari pemerintah, bahkan bantuan modal atau pelatihan bagi pedagang untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Contoh sukses relokasi pedagang di beberapa kota bisa menjadi pembelajaran.

Ketiga, *pemberdayaan UMKM*. Pemerintah harus melihat pedagang sebagai mitra pembangunan ekonomi, bukan sekadar objek penertiban. Program pemberdayaan, pelatihan manajemen usaha, akses ke permodalan, dan bantuan pemasaran digital, dapat menjadi investasi jangka panjang untuk kesejahteraan pedagang dan kekuatan ekonomi kota.

Menilik Peran Politik dan Keberpihakan


Kritik PSI terhadap penggusuran pedagang Pasar Barito adalah cerminan dari peran partai politik dalam sebuah demokrasi: menjadi jembatan aspirasi rakyat dan pengawas kebijakan pemerintah. Ketika ada kelompok masyarakat yang merasa dirugikan, partai politik memiliki mandat untuk menyuarakan ketidakadilan dan menuntut keberpihakan.

Dalam konteks yang lebih luas, isu penggusuran pedagang kecil seringkali menjadi litmus test bagi pemerintah daerah dalam menunjukkan keberpihakannya. Apakah pembangunan hanya untuk kelompok tertentu, ataukah inklusif dan merangkul semua elemen masyarakat? Kebijakan yang humanis adalah kebijakan yang mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan, tidak semata-mata aspek legalitas atau efisiensi semu.

Masa Depan Jakarta: Antara Modernisasi dan Kemanusiaan


Kasus Pasar Barito adalah salah satu dari sekian banyak dilema pembangunan kota di Indonesia. Ambisi untuk menciptakan kota modern dan tertata memang penting, namun harus selalu diiringi dengan komitmen kuat terhadap keadilan sosial dan martabat manusia. Penggusuran yang tidak humanis tidak hanya menyisakan luka bagi pedagang, tetapi juga mencoreng citra kota dan mempertanyakan nilai-nilai yang kita junjung sebagai bangsa.

Masa depan Jakarta haruslah masa depan yang berpihak pada rakyat kecil, yang memberdayakan UMKM, dan yang menghargai setiap individu yang berkontribusi pada denyut nadi ekonomi kota. Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah proaktif untuk menyelesaikan masalah penggusuran dengan pendekatan yang lebih dialogis, adil, dan mengutamakan kemanusiaan.

Kami ingin mendengar pandangan Anda: Apa pendapat Anda tentang penggusuran pedagang di kota-kota besar? Apakah Anda setuju dengan penilaian PSI? Bagikan artikel ini dan mari diskusikan bersama bagaimana kita bisa membangun kota yang lebih manusiawi dan berkeadilan!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.