Indonesia Darurat Kesiapan Bencana di Sekolah? Ribuan SPAB Terbentuk, Hanya Sedikit yang Benar-benar Siaga!

Indonesia Darurat Kesiapan Bencana di Sekolah? Ribuan SPAB Terbentuk, Hanya Sedikit yang Benar-benar Siaga!

Kepala BNPB mengungkapkan fakta mengejutkan: dari lebih 13 ribu Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang terbentuk di Indonesia, hanya 690 yang benar-benar memiliki status Satuan Pendidikan Layak Siaga (SPLS).

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Indonesia Darurat Kesiapan Bencana di Sekolah? Ribuan SPAB Terbentuk, Hanya Sedikit yang Benar-benar Siaga!



Indonesia, negeri yang diberkahi dengan keindahan alam, juga merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia. Mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung berapi, hingga tanah longsor, ancaman bencana seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dalam situasi seperti ini, kesiapsiagaan menjadi kunci. Namun, bagaimana dengan institusi pendidikan kita, tempat jutaan generasi penerus bangsa menghabiskan sebagian besar waktu mereka? Sebuah fakta mengejutkan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru-baru ini menguak kesenjangan yang mengkhawatirkan: dari 13.044 Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang telah terbentuk, hanya 690 yang benar-benar memiliki status Satuan Pendidikan Layak Siaga (SPLS). Angka ini menyoroti celah besar antara inisiatif awal dan kesiapsiagaan yang sesungguhnya. Apakah ini berarti sekolah-sekolah kita belum sepenuhnya aman dari ancaman bencana?

Mengapa Kesiapan Bencana di Sekolah Begitu Penting?


Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di sana, belajar, bermain, dan berinteraksi. Ketika bencana melanda, anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Mereka mungkin tidak memiliki pemahaman penuh tentang apa yang terjadi, cara merespons, atau bahkan tempat untuk berlindung. Oleh karena itu, memastikan lingkungan sekolah yang aman dari bencana bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan moral dan konstitusional.

Indonesia, dengan posisinya di Cincin Api Pasifik dan pertemuan tiga lempeng tektonik utama, serta kondisi geografis yang rentan terhadap banjir dan tanah longsor, menjadikannya medan "latihan" yang tak ada habisnya bagi kesiapsiagaan bencana. Edukasi dini dan praktik simulasi di sekolah terbukti efektif dalam menyelamatkan nyawa, mengurangi kepanikan, dan meminimalkan dampak psikologis pasca-bencana. Sebuah sekolah yang siap bencana akan menjadi mercusuar keselamatan bagi seluruh komunitasnya.

Dari SPAB Menuju SPLS: Apa Bedanya dan Mengapa Ada Kesenjangan?


Data BNPB yang disampaikan oleh Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, menjadi alarm bagi kita semua. Lebih dari 13 ribu SPAB telah berdiri, sebuah angka yang menunjukkan adanya kesadaran awal. Namun, hanya sekitar 5% dari jumlah tersebut yang berhasil mencapai predikat SPLS. Apa sebenarnya perbedaan mendasar antara kedua status ini?

Memahami SPAB: Langkah Awal Menuju Keamanan


Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) adalah inisiatif awal untuk membangun kesadaran dan kapasitas mitigasi bencana di lingkungan sekolah. Pembentukan SPAB biasanya melibatkan langkah-langkah seperti sosialisasi, pembentukan tim siaga bencana di sekolah, identifikasi risiko dan potensi bahaya, serta penyusunan rencana kontingensi sederhana. Ini adalah fondasi dasar, pengakuan bahwa sekolah perlu memulai proses kesiapsiagaan. Banyak sekolah yang antusias membentuk tim dan melakukan pelatihan dasar, namun seringkali berhenti di tahap ini.

SPLS: Standar Tertinggi Kesiapsiagaan yang Belum Tercapai


Sementara itu, Satuan Pendidikan Layak Siaga (SPLS) adalah level kesiapsiagaan yang jauh lebih komprehensif dan teruji. Untuk mencapai status SPLS, sebuah sekolah harus memenuhi kriteria yang lebih ketat, termasuk:

  • Memiliki jalur evakuasi yang jelas dan aman.

  • Fasilitas dan sarana prasarana yang tahan bencana atau mitigasi risiko bencana.

  • Kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana secara rutin.

  • Pelatihan dan simulasi bencana yang dilakukan secara berkala dan realistis.

  • Keterlibatan aktif seluruh elemen sekolah (guru, siswa, staf) dan komunitas sekitar.

  • Adanya sistem peringatan dini yang efektif.


Status SPLS menunjukkan bahwa sekolah tidak hanya sadar akan risiko, tetapi juga telah mengimplementasikan langkah-langkah konkret dan berkelanjutan untuk memastikan keselamatan warga sekolah saat bencana terjadi. Kesenjangan antara 13.044 SPAB dan 690 SPLS menunjukkan bahwa mayoritas sekolah masih belum mampu mengadopsi standar komprehensif ini, meninggalkan mereka dalam posisi rentan.

Tantangan di Balik Angka: Mengapa Target Sulit Tercapai?


Kesenjangan yang signifikan ini tentu bukan tanpa alasan. Berbagai faktor berkontribusi pada lambatnya pencapaian status SPLS:

  • Keterbatasan Anggaran dan Sumber Daya: Mengimplementasikan standar SPLS membutuhkan investasi, baik untuk perbaikan infrastruktur, penyediaan peralatan, hingga pelatihan intensif. Anggaran yang terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil, seringkali menjadi penghalang utama.

  • Kurangnya Pemahaman dan Komitmen Jangka Panjang: Meskipun ada kesadaran awal, menjaga momentum dan komitmen berkelanjutan untuk program kesiapsiagaan seringkali sulit. Bencana seringkali dianggap sebagai "musibah tak terduga" daripada risiko yang harus dikelola secara proaktif.

  • Variasi Kondisi Geografis dan Kapasitas Daerah: Setiap daerah memiliki karakteristik risiko bencana yang berbeda. Kapasitas pemerintah daerah, sekolah, dan masyarakat dalam mengelola risiko juga bervariasi. Kurikulum dan pendekatan yang seragam mungkin tidak efektif di semua tempat.

  • Tumpang Tindih Prioritas: Di tengah berbagai tantangan pendidikan lainnya, kesiapsiagaan bencana terkadang kurang mendapatkan prioritas yang semestinya.



Dampak Jangka Panjang Jika Kesenjangan Ini Terus Berlanjut


Jika kesenjangan antara SPAB dan SPLS ini terus diabaikan, dampaknya bisa sangat fatal. Bukan hanya ancaman keselamatan jiwa yang nyata bagi jutaan siswa dan guru, tetapi juga potensi trauma psikologis yang mendalam, gangguan proses belajar mengajar yang berlarut-larut, dan kerugian material yang besar bagi aset pendidikan. Lebih jauh lagi, kegagalan dalam membangun budaya sadar bencana sejak dini akan membuat generasi mendatang menjadi lebih rentan.

Mendorong Aksi Nyata: Solusi dan Harapan


Melihat fakta ini, sudah saatnya kita semua bertindak. Pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, orang tua, masyarakat, dan sektor swasta harus bersinergi untuk menutup kesenjangan ini.

Pertama, diperlukan peningkatan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya SPLS, bukan hanya SPAB. Memastikan semua pihak memahami standar dan manfaatnya. Kedua, alokasi anggaran yang memadai dan berkelanjutan harus menjadi prioritas. BNPB perlu dukungan lebih untuk mempercepat pendampingan dan sertifikasi SPLS. Ketiga, pengembangan kurikulum pendidikan bencana yang lebih komprehensif dan terintegrasi harus dipercepat. Keempat, pelatihan dan simulasi bencana harus menjadi agenda rutin, bukan sekadar formalitas. Terakhir, peran aktif komunitas dan orang tua sangat krusial. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem sekolah dan dapat menjadi motor penggerak perubahan.

Wujudkan Sekolah Aman, Selamatkan Masa Depan!


Kesenjangan antara SPAB dan SPLS adalah cerminan dari tantangan besar dalam membangun resiliensi di tengah ancaman bencana. Namun, ini juga merupakan peluang untuk berbenah dan bergerak maju. Mari bersama-sama memastikan bahwa setiap sekolah di Indonesia benar-benar menjadi "Rumah Aman" bagi anak-anak kita. Menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam kesiapsiagaan bencana di sekolah bukan hanya investasi pada bangunan, tetapi investasi pada kehidupan dan masa depan bangsa. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mendorong aksi nyata!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.