Gonjang-ganjing PBNU: Kubu Yahya Staquf Ngotot Muktamar 2027 Sesuai Jadwal, Apa Maknanya?

Gonjang-ganjing PBNU: Kubu Yahya Staquf Ngotot Muktamar 2027 Sesuai Jadwal, Apa Maknanya?

Kubu Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf secara tegas menolak wacana percepatan Muktamar PBNU, bersikeras bahwa Muktamar harus digelar sesuai jadwal pada tahun 2027.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat sentral dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan bahkan politik di Indonesia. Setiap gerak-gerik, apalagi yang menyangkut dinamika internal kepemimpinan, selalu menjadi sorotan dan memiliki implikasi luas. Kini, perhatian publik tertuju pada perdebatan mengenai jadwal Muktamar PBNU berikutnya. Secara tegas, kubu Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menolak wacana percepatan Muktamar, bersikeras bahwa forum tertinggi organisasi ini harus tetap digelar sesuai jadwal pada tahun 2027. Keputusan ini bukan sekadar urusan administratif, melainkan cerminan dari kompleksitas internal, perebutan pengaruh, dan visi masa depan NU. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi penolakan ini, dan apa maknanya bagi perjalanan NU serta peta perpolitikan nasional? Mari kita selami lebih dalam polemik yang tengah menghangat ini.

Mengapa Muktamar PBNU Begitu Krusial?



Muktamar adalah forum tertinggi dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama. Ia bukan sekadar ajang pertemuan biasa, melainkan arena penentuan arah dan kebijakan strategis organisasi untuk lima tahun ke depan. Di sinilah kepemimpinan PBNU—baik Rais Aam Syuriyah maupun Ketua Umum Tanfidziyah—dipilih melalui proses demokratis yang melibatkan perwakilan dari seluruh wilayah dan cabang NU di Indonesia. Hasil dari Muktamar memiliki daya jangkau yang luas, tidak hanya memengaruhi jutaan warga Nahdliyin, tetapi juga turut membentuk narasi kebangsaan, sosial, dan politik di tingkat nasional.

Sejarah mencatat, NU selalu menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan bangsa, menyuarakan nilai-nilai toleransi, moderasi beragama, serta menjadi kekuatan penyeimbang dalam berbagai dinamika. Oleh karena itu, siapa yang memimpin NU dan bagaimana proses suksesi berlangsung, menjadi perhatian banyak pihak, mulai dari politisi, akademisi, hingga masyarakat umum. Stabilitas dan arah kebijakan PBNU pasca-Muktamar akan sangat berpengaruh terhadap iklim sosial dan politik Indonesia.

Suara Tegas dari Kubu Yahya Staquf: "2027 Harga Mati!"



Ketegasan sikap kubu Yahya Staquf dalam menolak percepatan Muktamar bukan tanpa alasan. Melalui juru bicaranya, PBNU kubu Yahya Staquf, menyatakan bahwa Muktamar harus digelar sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi, yakni pada tahun 2027. Ini adalah prinsip yang dipegang teguh untuk menjaga konstitusionalitas dan tertib organisasi.

Penolakan Terhadap Percepatan



Penolakan terhadap wacana percepatan Muktamar ini disampaikan dengan jelas, seolah ingin mengirim pesan kuat bahwa PBNU di bawah kepemimpinan saat ini berkomitmen pada aturan main yang telah disepakati. Ada beberapa argumen kunci yang dikemukakan:

* Ketaatan pada AD/ART: Ini adalah fondasi utama. Percepatan Muktamar di luar ketentuan AD/ART bisa dianggap melanggar konstitusi organisasi dan berpotensi menimbulkan preseden buruk serta ketidakpastian hukum internal.
* Fokus pada Program Kerja: PBNU saat ini memiliki banyak program kerja yang sedang berjalan, terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan umat, pendidikan, kesehatan, dan dakwah. Percepatan Muktamar dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi dan implementasi program-program tersebut, yang pada akhirnya merugikan warga Nahdliyin.
* Menjaga Stabilitas Organisasi: Proses Muktamar, apalagi yang dipercepat, seringkali diwarnai dengan dinamika yang intens. Menjaga jadwal yang teratur dianggap sebagai cara untuk menjaga stabilitas internal dan menghindari gejolak yang tidak perlu.

Argumentasi di Balik Jadwal



Bagi kubu Yahya Staquf, mempertahankan jadwal 2027 adalah bentuk komitmen terhadap tata kelola organisasi yang baik dan prinsip akuntabilitas. Muktamar yang berjalan sesuai siklus lima tahunan memberikan waktu yang cukup bagi kepengurusan untuk menjalankan visi dan misinya, serta memberikan ruang bagi evaluasi menyeluruh sebelum estafet kepemimpinan diserahkan. Ini juga memungkinkan kaderisasi berjalan alami dan persiapan Muktamar dilakukan secara matang, tidak terburu-buru. Waktu yang cukup juga akan menjamin legitimasi kepemimpinan dan kebijakan yang dihasilkan dari Muktamar, karena prosesnya dianggap sesuai prosedur dan tidak dipaksakan.

Isu Percepatan: Angin Apa yang Bertiup?



Meskipun kubu Yahya Staquf telah menyatakan sikap tegas, wacana percepatan Muktamar ini tentu tidak muncul tanpa sebab. Siapa atau pihak mana yang menyuarakan percepatan, dan apa motivasi di baliknya? Biasanya, seruan percepatan Muktamar bisa datang dari berbagai pihak:

* Pihak Oposisi/Penantang: Kelompok yang tidak puas dengan kepemimpinan atau arah PBNU saat ini mungkin melihat percepatan Muktamar sebagai peluang untuk mengambil alih kepemimpinan atau mengubah kebijakan organisasi.
* Faktor Politik Eksternal: PBNU, sebagai organisasi massa terbesar, seringkali menjadi incaran kepentingan politik praktis. Menjelang atau setelah tahun-tahun politik penting (misalnya Pilpres 2024), mungkin ada dorongan dari kekuatan eksternal yang ingin memastikan kepemimpinan PBNU sejalan dengan agenda politik mereka.
* Ketidakpuasan Internal: Bisa jadi ada ketidakpuasan dari sebagian pengurus atau anggota di tingkat bawah mengenai kinerja atau kebijakan PBNU, yang merasa percepatan Muktamar adalah cara untuk segera melakukan perubahan.

Mengacu pada pengalaman Muktamar ke-34 di Lampung pada tahun 2021 yang juga dipercepat karena beberapa alasan, hal ini menunjukkan bahwa dinamika internal PBNU memang rentan terhadap perubahan jadwal. Namun, setiap percepatan selalu dibarengi dengan perdebatan sengit dan memerlukan konsensus yang kuat.

Dinamika Internal PBNU: Lebih dari Sekadar Jadwal



Debat mengenai jadwal Muktamar sejatinya adalah puncak gunung es dari dinamika internal yang lebih kompleks dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Organisasi sebesar NU tentu memiliki berbagai faksi, pandangan, dan kepentingan yang berbeda-beda. Ini adalah hal yang wajar dalam organisasi demokratis, namun juga bisa menjadi sumber ketegangan.

PBNU saat ini adalah hasil dari Muktamar Lampung yang cukup panas. Kepemimpinan Yahya Staquf dan Rais Aam KH Miftachul Akhyar adalah hasil konsolidasi internal yang tidak mudah. Wacana percepatan Muktamar bisa dibaca sebagai upaya untuk menguji kekuatan kepemimpinan saat ini atau bahkan membuka kembali "pertarungan" yang sempat mereda. Pertarungan ini bisa jadi melibatkan perbedaan pandangan ideologis, pendekatan dakwah, hingga perebutan pengaruh di tingkat wilayah dan cabang. Stabilitas PBNU sangat bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk mengelola perbedaan-perbedaan ini dan tetap berpegang pada Khittah NU.

Implikasi Politik dan Sosial: Apa Efeknya Bagi Indonesia?



Sebagai pilar utama masyarakat sipil dan keagamaan di Indonesia, stabilitas internal PBNU memiliki implikasi yang signifikan bagi stabilitas nasional. Jika dinamika internal NU menjadi terlalu panas atau bahkan terpecah belah, efeknya bisa terasa di berbagai sektor:

* Politik Nasional: NU dikenal memiliki massa yang loyal dan tersebar luas. Gejolak di internal NU bisa memengaruhi konstelasi politik, terutama dalam dukungan elektoral. Meskipun Muktamar 2027 akan terjadi setelah Pemilu 2024, namun perebutan pengaruh dalam tubuh NU bisa membentuk opini publik dan arah dukungan di Pilkada serentak 2024 atau bahkan Pemilu 2029.
* Harmoni Sosial: NU adalah penjaga utama moderasi beragama di Indonesia. Jika internal PBNU tidak solid, dikhawatirkan dapat melemahkan peran ini, dan berpotensi membuka ruang bagi narasi-narasi ekstrem atau polarisasi yang mengancam harmoni sosial.
* Hubungan Agama-Negara: PBNU adalah mitra strategis pemerintah dalam banyak kebijakan. Kekisruhan internal dapat mengganggu sinergi ini, terutama dalam isu-isu keagamaan dan kebangsaan.

Oleh karena itu, menjaga PBNU tetap solid, kondusif, dan fokus pada Khittahnya adalah kepentingan bersama, baik bagi warga Nahdliyin maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Menanti Babak Baru: Prediksi dan Harapan



Dengan sikap tegas dari kubu Yahya Staquf, wacana percepatan Muktamar PBNU kemungkinan besar akan mereda untuk sementara waktu. Namun, ini bukan berarti dinamika internal akan berhenti. Kekuatan-kekuatan yang menginginkan percepatan mungkin akan mencari celah lain atau menunggu momentum yang tepat untuk kembali menyuarakan gagasan tersebut.

Harapan terbesar adalah agar PBNU tetap mampu menjaga soliditas dan kekompakan internalnya. Setiap perbedaan pandangan harus diselesaikan melalui mekanisme organisasi yang telah ditetapkan, dengan mengedepankan musyawarah mufakat dan semangat persaudaraan Nahdliyin. Adalah tugas para pemimpin NU untuk menempatkan kepentingan organisasi dan umat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, PBNU dapat terus fokus pada program-program kerjanya, melanjutkan pembangunan peradaban Nahdliyin, dan menjadi lentera bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Bagaimana menurut Anda? Akankah PBNU tetap solid di tengah dinamika ini, ataukah wacana percepatan akan kembali menguat menjelang tahun 2027? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.