Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Ketika 'Kebaikan Publik' Bertemu Bayang-Bayang Otoritarianisme

Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Ketika 'Kebaikan Publik' Bertemu Bayang-Bayang Otoritarianisme

Perdebatan mengenai gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto terus berlanjut, menyoroti ketegangan antara narasi "public virtue" atas pembangunan dan stabilitas di era Orde Baru dengan catatan kelam otoritarianisme, pelanggaran HAM, dan KKN.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Perdebatan mengenai apakah mantan Presiden Soeharto layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional selalu berhasil membangkitkan polemik di tengah masyarakat Indonesia. Lebih dari dua dekade setelah reformasi, warisan kepemimpinan Soeharto, terutama selama 32 tahun era Orde Baru, masih menjadi titik tumpul yang memisahkan berbagai pandangan. Di satu sisi, ada narasi tentang pembangunan pesat, stabilitas politik, dan kemajuan ekonomi yang diidentikkan dengan "public virtue" atau kebaikan publik yang diinisiasi olehnya. Namun, di sisi lain, bayang-bayang otoritarianisme yang disertai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pembungkaman kritik, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga tak bisa diabaikan. Artikel ini akan mengurai kompleksitas perdebatan ini, mencoba memahami mengapa gelar pahlawan bagi Soeharto adalah isu yang jauh lebih dalam daripada sekadar pengakuan formal.

Menggali Makna "Pahlawan Nasional": Lebih dari Sekadar Gelar?



Gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar simbol atau penghargaan semata; ia adalah representasi kolektif dari nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh suatu bangsa. Kriteria untuk mendapatkan gelar ini, sebagaimana diatur dalam undang-undang, umumnya mencakup jasa-jasa besar terhadap negara, pengorbanan luar biasa, serta rekam jejak yang bersih dari catatan tercela. Dalam konteks Indonesia, pahlawan adalah sosok yang menjadi teladan, inspirasi, dan kebanggaan bagi generasi penerus.

Maka dari itu, wacana pemberian gelar ini kepada Soeharto menjadi sangat sensitif. Jasa-jasanya dalam menjaga stabilitas dan memimpin pembangunan memang diakui oleh sebagian kalangan, terutama mereka yang merasakan langsung dampak positif kebijakan ekonominya di era awal Orde Baru. Namun, sejarah juga mencatat bahwa stabilitas tersebut seringkali dicapai dengan harga mahal: kekerasan negara, represi politik, dan pengekangan kebebasan. Bagaimana sebuah bangsa dapat mengukuhkan seorang figur sebagai pahlawan jika warisannya juga mencakup sisi gelap yang merenggut hak-hak dasar warganya? Ini adalah pertanyaan fundamental yang harus dijawab.

"Public Virtue" Soeharto: Sebuah Narasi yang Dibangun?



Selama masa kepemimpinannya, rezim Orde Baru berhasil membangun narasi kuat mengenai "public virtue" Soeharto. Ini terwujud dalam citra Bapak Pembangunan, Bapak Keluarga Berencana, dan sosok pemimpin yang membawa Indonesia menuju swasembada pangan. Melalui berbagai program pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan stabilitas ekonomi, Soeharto memang berhasil meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Pencapaian ini, yang digembar-gemborkan oleh mesin propaganda Orde Baru, menciptakan persepsi luas bahwa Soeharto adalah pemimpin yang berjasa besar dalam mengangkat martabat bangsa.

Narasi ini diperkuat melalui sistem pendidikan yang indoktrinatif, media massa yang dikendalikan, serta berbagai perayaan dan simbol-simbol kenegaraan yang memuja figur presiden. Hasilnya, sebuah generasi tumbuh dengan pemahaman bahwa Soeharto adalah lokomotif kemajuan dan keamanan. Untuk sebagian masyarakat, kenangan akan stabilitas dan kemakmuran relatif di bawah Orde Baru adalah alasan kuat untuk mendukung pemberian gelar pahlawan. Mereka melihat 'kebaikan publik' yang nyata dalam bentuk jalan raya, sekolah, puskesmas, dan pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan mereka meningkatkan kualitas hidup. Namun, apakah "public virtue" ini bisa dipisahkan dari cara ia diwujudkan?

Otoritarianisme Orde Baru: Sisi Gelap yang Tak Terbantahkan



Sisi gelap Orde Baru, yang secara drastis kontras dengan "public virtue" tersebut, adalah catatan panjang mengenai praktik otoritarianisme. Penindasan terhadap oposisi politik, pembantaian massal yang tak terungkap sepenuhnya (seperti peristiwa 1965), penghilangan aktivis, pengekangan kebebasan pers dan berpendapat, serta pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah rezim ini.

Lebih lanjut, praktik KKN yang merajalela di lingkaran kekuasaan menciptakan kesenjangan sosial yang parah dan menghambat pembangunan yang adil. Kekayaan yang terakumulasi di tangan segelintir elite, termasuk keluarga dan kroni Soeharto, menjadi luka terbuka yang sulit disembuhkan. Otoritarianisme Soeharto tidak hanya merenggut nyawa dan kebebasan, tetapi juga merusak fondasi institusi demokrasi dan menciptakan budaya korupsi yang masih terasa dampaknya hingga kini. Mengabaikan aspek-aspek ini saat mempertimbangkan gelar pahlawan berarti mengkhianati perjuangan korban dan menyederhanakan kompleksitas sejarah.

Dilema Sejarah dan Memori Kolektif Bangsa



Perdebatan mengenai gelar pahlawan untuk Soeharto memunculkan dilema krusial tentang bagaimana sebuah bangsa seharusnya menghadapi masa lalunya yang kompleks. Apakah kita harus mengubur sisi gelap demi "persatuan", ataukah kita wajib mengingatnya sebagai pelajaran berharga? Memori kolektif bangsa adalah konstruksi yang terus-menerus diperdebatkan, terutama ketika menyangkut figur kontroversial.

Bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto adalah penistaan terhadap keadilan dan penghapusan memori pahit yang mereka alami. Mereka menuntut pengakuan, keadilan, dan rekonsiliasi sebelum nama Soeharto diangkat menjadi pahlawan. Di sisi lain, ada argumen bahwa sejarah harus dilihat secara utuh, dengan segala sisi baik dan buruknya. Namun, "melihat utuh" tidak berarti mengabaikan atau mereduksi dampak dari tindakan otoriter. Pentingnya pendidikan sejarah yang jujur dan objektif menjadi krusial dalam membentuk pemahaman generasi muda agar tidak terjebak dalam romantisme masa lalu atau kebencian buta.

Mengapa Debat Ini Penting untuk Masa Depan?



Debat tentang gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto bukan sekadar mengorek luka lama; ini adalah upaya untuk mendefinisikan identitas dan nilai-nilai yang akan menopang masa depan Indonesia. Bagaimana kita menghargai pahlawan akan mencerminkan standar moral dan etika yang kita pegang sebagai bangsa. Jika seorang pemimpin yang terbukti memiliki catatan pelanggaran HAM dan praktik otoriter dapat diangkat menjadi pahlawan tanpa penyelesaian yang berarti terhadap masa lalunya, pesan apa yang kita kirimkan kepada generasi mendatang?

Pelajaran dari masa lalu adalah fondasi untuk membangun demokrasi yang lebih kuat, pemerintahan yang lebih akuntabel, dan masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mencegah pengulangan sejarah otoritarianisme membutuhkan kesadaran kritis terhadap figur-figur masa lalu yang kontroversial. Generasi muda memiliki peran penting dalam memaknai sejarah ini, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk belajar, berdialog, dan memastikan bahwa keadilan sejarah tetap menjadi bagian integral dari perjalanan bangsa.

Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto akan terus menjadi topik yang memicu diskusi panas. Ini adalah cerminan dari pergulatan bangsa Indonesia dengan masa lalunya, antara apresiasi terhadap pembangunan dan penolakan terhadap otoritarianisme. Mungkin, alih-alih terburu-buru memberikan gelar, energi kita lebih baik dicurahkan untuk upaya rekonsiliasi nasional yang sejati, pendidikan sejarah yang komprehensif, dan penegakan keadilan bagi semua korban. Barulah setelah itu, kita bisa merumuskan narasi kolektif tentang siapa yang layak menjadi pahlawan sejati bagi bangsa ini.

Bagaimana menurut Anda? Apakah 'kebaikan publik' Soeharto cukup untuk menutupi bayang-bayang otoritarianismenya? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.