Gejolak Tahta Solo: Mengapa Deklarasi "Raja Baru" Keraton Dianggap Terlalu Dini?

Gejolak Tahta Solo: Mengapa Deklarasi "Raja Baru" Keraton Dianggap Terlalu Dini?

I.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Berita yang mengguncang jagat kebudayaan dan tradisi Jawa kembali muncul dari Surakarta. I.G.K.R.H. Ikrar Hamangkunagoro secara mengejutkan mendeklarasikan diri sebagai Raja Solo, atau Sri Susuhunan Amangkurat IV. Namun, deklarasi ini bukannya disambut dengan aklamasi, melainkan justru menuai kontroversi dan dianggap "terlalu dini" oleh berbagai pihak, termasuk para kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat sendiri. Mengapa suksesi Keraton Solo tak pernah lekang dari drama dan intrik? Mari kita selami lebih dalam benang kusut di balik singgasana yang tak kunjung tenang ini.

Mengurai Benang Kusut Deklarasi "Raja Solo" Baru
Deklarasi I.G.K.R.H. Ikrar Hamangkunagoro pada tanggal 3 November 2023 di sebuah hotel di Solo sontak menjadi perhatian. Ia mengklaim dirinya telah ditunjuk oleh sinuhun Paku Buwono XIII sebagai penerus tahta. Klaim ini tentu saja memicu pertanyaan besar, mengingat saat ini masih ada Sri Susuhunan Paku Buwono XIII Hadiningrat yang sah bertahta, meskipun dalam kondisi kesehatan yang kurang prima dan seringkali menjadi sasaran perebutan pengaruh internal.
Penolakan keras datang dari K.G.P.H. Dipokusumo, adik kandung Paku Buwono XIII, yang menegaskan bahwa deklarasi tersebut sangat prematur dan tidak sesuai dengan tata cara adat Keraton. Dalam tradisi Keraton, proses penunjukan atau pengangkatan raja sangat sakral dan melibatkan berbagai ritual serta persetujuan dari para sesepuh dan kerabat inti. Ketiadaan proses ini menjadikan klaim Ikrar Hamangkunagoro berada di atas angin yang penuh keraguan, bahkan cenderung mencederai kesakralan Keraton.

Sejarah Panjang Suksesi yang Penuh Drama (Paregreg)
Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat memang tidak pernah sepi dari intrik perebutan kekuasaan. Istilah "Paregreg", yang berarti perang saudara atau perselisihan internal, sudah sering mewarnai perjalanan Keraton ini sejak berdirinya. Konflik ini bahkan sudah ada sejak zaman Mataram Islam hingga era modern, di mana kekuasaan politik Keraton telah pudar dan berganti menjadi penjaga kebudayaan.
Salah satu konflik terpanas yang masih segar dalam ingatan adalah "geger" suksesi pasca-wafatnya Paku Buwono XII pada tahun 2004. Kala itu, terjadi dualisme kepemimpinan antara Tedjowulan dan Hangabehi yang sama-sama mengklaim sebagai penerus tahta. Konflik ini sempat memanas dan baru bisa diredakan setelah campur tangan pemerintah pusat dan kesepakatan damai yang menghasilkan Paku Buwono XIII sebagai raja yang sah. Namun, perdamaian itu rupanya hanyalah fatamorgana semata, karena riak-riak perselisihan internal tak pernah benar-benar padam, khususnya menyangkut pengaruh di sekitar Paku Buwono XIII.

Siapa Saja Aktor di Balik Layar Keraton Solo?
Paku Buwono XIII saat ini secara sah masih menjadi Raja Keraton Surakarta. Namun, kesehatannya yang seringkali tidak stabil membuka celah bagi berbagai pihak untuk mencoba mengambil peran atau pengaruh. Ada G.K.R. Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, putri mahkota yang disebut-sebut sebagai calon penerus, meskipun statusnya sebagai perempuan masih menjadi perdebatan dalam interpretasi adat Keraton yang kental patriarki.
Di sisi lain, K.G.P.H. Dipokusumo, adik kandung PB XIII, seringkali menjadi penengah atau juru bicara dari pihak yang menginginkan stabilitas dan kelestarian adat Keraton. Lalu ada nama M.T. Sri Susuhunan Paku Buwono XIII, yang juga sempat menjadi bagian dari konflik suksesi sebelumnya dan kini menjadi salah satu figur yang diperhitungkan. Kemunculan Ikrar Hamangkunagoro menambah panjang daftar figur yang terlibat dalam lingkaran "kekuasaan" di Keraton, baik secara langsung maupun tidak langsung. Masing-masing memiliki klaim, pendukung, dan interpretasi sendiri mengenai adat dan siapa yang berhak melanjutkan tahta.

Antara Tradisi dan Legitimasi: Apa Kata Adat?
Dalam tradisi Keraton Jawa, suksesi tidak hanya ditentukan oleh garis keturunan semata, tetapi juga melibatkan berbagai pertimbangan adat, spiritual, dan politis internal. Yang paling krusial adalah tidak adanya penetapan putra mahkota secara formal oleh Paku Buwono XIII hingga saat ini. Kekosongan ini menjadi akar permasalahan yang terus memicu gejolak. Adat Keraton memang tidak mengharuskan adanya penetapan putra mahkota secara tertulis, namun konsensus dan restu dari para kerabat serta lembaga adat adalah hal fundamental.
Konsep "wali" atau perwakilan juga menjadi perdebatan. Beberapa pihak mungkin mengklaim bertindak sebagai wali bagi raja yang sedang sakit, namun klaim ini harus memiliki legitimasi yang kuat dari internal Keraton, bukan sekadar inisiatif pribadi. Yang lebih penting lagi, status Keraton saat ini adalah sebagai lembaga penjaga kebudayaan, bukan lagi entitas politik berdaulat. Oleh karena itu, pengangkatan raja lebih bersifat simbolis dan seremonial untuk pelestarian adat, namun tetap memerlukan tata krama dan prosedur yang dijunjung tinggi agar tidak menjadi komoditas perebutan kekuasaan semu.

Dampak pada Citra dan Kelestarian Budaya Keraton
Konflik internal yang terus-menerus terjadi di Keraton Surakarta tidak hanya merusak citra Keraton di mata masyarakat luas, tetapi juga berpotensi mengancam kelestarian budaya yang seharusnya mereka jaga. Keraton, sebagai salah satu pilar kebudayaan Jawa, seharusnya menjadi teladan dalam menjaga harmoni, tata krama, dan nilai-nilai luhur. Namun, setiap kali terjadi konflik, masyarakat melihat institusi ini terpecah belah oleh kepentingan personal atau kelompok.
Hal ini dapat menyebabkan pudarnya respek dan dukungan dari masyarakat serta pemerintah terhadap upaya pelestarian budaya Keraton. Dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk revitalisasi bangunan, pagelaran seni, atau pendidikan budaya, justru terbuang untuk penyelesaian konflik. Pada akhirnya, yang paling rugi adalah generasi mendatang yang mungkin akan kehilangan salah satu warisan budaya terbesar mereka, karena Keraton terlalu sibuk dengan intrik internalnya sendiri.

Mengapa Kita Harus Peduli?
Keraton Surakarta bukan hanya sekumpulan bangunan tua, melainkan jantung dari peradaban dan kebudayaan Jawa yang kaya. Drama suksesi yang terus berulang ini mengingatkan kita akan pentingnya persatuan, kebijaksanaan, dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur. Di tengah arus modernisasi yang deras, keberadaan Keraton adalah jangkar yang menjaga identitas dan akar budaya bangsa. Deklarasi "raja baru" yang dianggap terlalu dini ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak untuk duduk bersama, mencari solusi yang berlandaskan adat dan kearifan lokal, demi masa depan Keraton dan kebudayaan Jawa.

Bagaimana menurut Anda? Siapa yang seharusnya memimpin upaya rekonsiliasi ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.