Geger! SMAN 78 Jakarta Wajibkan Siswa Ikut Tes Berbayar Demi Ijazah? Ini Modus dan Aturan yang Dilanggar!
Siswa SMAN 78 Jakarta mengungkapkan praktik wajib ikut Tes Kompetensi Akademik (TKA) berbayar sebesar Rp150.
Dalam beberapa hari terakhir, jagat maya dan dunia pendidikan dihebohkan dengan sebuah cerita yang menyeruak dari salah satu sekolah negeri favorit di Jakarta. Bukan tentang prestasi akademik atau inovasi pendidikan, melainkan dugaan praktik pungutan berkedok Tes Kompetensi Akademik (TKA) berbayar yang diduga menjadi syarat mutlak bagi siswa SMAN 78 Jakarta untuk dapat mengambil ijazah kelulusan mereka. Kisah ini sontak memicu pertanyaan besar: Sejauh mana sekolah boleh memungut biaya dari siswa, dan apakah ini sudah melampaui batas etika serta regulasi yang ada?
Artikel ini akan mengupas tuntas praktik yang terjadi di SMAN 78 Jakarta, menelisik aturan-aturan yang diduga dilanggar, serta dampaknya bagi siswa, orang tua, dan masa depan dunia pendidikan kita. Mari kita selami lebih dalam kegaduhan yang sedang berlangsung.
Semua bermula dari pengakuan seorang siswa SMAN 78 Jakarta yang merasa terbebani dan terpaksa. Siswa tersebut menceritakan bagaimana pihak sekolah mewajibkan mereka untuk mengikuti Tes Kompetensi Akademik (TKA) yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga bimbingan belajar (bimbel) tertentu. Kewajiban ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah keharusan yang memiliki konsekuensi serius: tidak ikut TKA, berarti tidak bisa mengambil ijazah.
Biaya TKA ini tidak sedikit, mencapai sekitar Rp150.000. Parahnya, pembayaran tidak langsung ke pihak bimbel, melainkan disalurkan melalui sekolah atau koperasi sekolah. Praktik ini, menurut kesaksian, sudah berlangsung selama tiga tahun terakhir, menciptakan lingkaran dilema bagi para orang tua. Mereka merasa keberatan dan terpaksa membayar, demi memastikan masa depan pendidikan anak-anak mereka tidak terhambat hanya karena selembar ijazah yang seharusnya menjadi hak.
“Ini seperti disandera,” keluh salah seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya, mencerminkan perasaan tak berdaya yang dialami banyak orang tua lain. Di satu sisi, mereka ingin anak-anak mendapatkan ijazah mereka. Di sisi lain, mereka merasa ditekan dengan pungutan yang tidak jelas dasar hukumnya dan sangat memberatkan.
Apa yang terjadi di SMAN 78 Jakarta bukan sekadar masalah kecil. Praktik ini berpotensi melanggar beberapa peraturan penting yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan pemerintah daerah, yang bertujuan melindungi siswa dari beban finansial yang tidak semestinya dan memastikan integritas proses pendidikan.
Pungutan liar, atau pungli, dalam konteks pendidikan adalah segala bentuk penarikan biaya yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas, tidak transparan, dan/atau bersifat memaksa. Biaya TKA sebesar Rp150.000 yang diwajibkan oleh sekolah, apalagi dengan ancaman penahanan ijazah, sangat mungkin masuk dalam kategori pungli. TKA sejatinya adalah sebuah instrumen evaluasi yang seharusnya bersifat opsional atau, jika memang esensial, biayanya ditanggung oleh negara atau melalui mekanisme yang transparan dan tidak memberatkan. Ketika sebuah tes menjadi wajib dan berbayar, serta diselenggarakan oleh pihak ketiga yang bekerja sama dengan sekolah, patut dipertanyakan apakah ini murni untuk peningkatan kualitas atau justru sebagai ladang bisnis terselubung.
Ada dua regulasi utama yang tampaknya diabaikan dalam kasus ini:
1. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah: Peraturan ini secara eksplisit melarang komite sekolah dan sekolah melakukan pungutan dalam bentuk apa pun dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pungutan yang dimaksud dalam Permendikbud ini harus berdasarkan kesepakatan komite sekolah dan orang tua, serta memiliki tujuan yang jelas untuk peningkatan mutu pelayanan pendidikan dan bukan bersifat wajib atau mengikat. Jika TKA ini diwajibkan dan menjadi syarat pengambilan ijazah, jelas bertentangan dengan semangat Permendikbud ini yang ingin melindungi siswa dari pungutan yang memberatkan.
2. Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2018 tentang Pelarangan dan Pencegahan Praktek Percaloan, Pungutan Liar dan Gratifikasi pada Satuan Pendidikan: Pergub ini secara tegas melarang sekolah untuk bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar. Larangan ini bertujuan untuk mencegah potensi konflik kepentingan, memastikan tidak ada diskriminasi dalam pelayanan pendidikan, dan mencegah praktik-praktik yang dapat membebani siswa dan orang tua. Kerja sama antara SMAN 78 dengan bimbel tertentu untuk TKA berbayar ini secara langsung melanggar poin krusial dalam Pergub tersebut.
Dengan demikian, praktik di SMAN 78 Jakarta bukan hanya sekadar "kebijakan internal" tetapi merupakan pelanggaran serius terhadap regulasi yang ada, yang berpotensi memiliki implikasi hukum.
Menanggapi laporan ini, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta menyatakan akan segera menindaklanjuti. Kepala Bidang SMA Disdik DKI Jakarta, Purwosusilo, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan investigasi menyeluruh. Ini adalah langkah yang sangat dinantikan, mengingat pentingnya menjaga integritas dan keadilan dalam sistem pendidikan.
Sikap kepala SMAN 78 Jakarta yang belum memberikan komentar resmi juga menjadi sorotan. Transparansi dan akuntabilitas dari pihak sekolah sangat diperlukan untuk menjelaskan duduk perkara dan mengambil tindakan korektif jika terbukti ada pelanggaran. Jika dugaan pungli dan pelanggaran regulasi terbukti benar, sanksi tegas harus diberikan agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
Kasus SMAN 78 Jakarta adalah cerminan kecil dari tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan kita. Praktik semacam ini memiliki dampak yang merugikan, tidak hanya bagi individu siswa dan orang tua, tetapi juga terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan.
Bagi sebagian keluarga, biaya Rp150.000 mungkin terasa kecil, namun bagi banyak keluarga lain, terutama yang memiliki keterbatasan ekonomi, jumlah tersebut bisa sangat berarti. Memaksa mereka membayar demi ijazah adalah bentuk eksploitasi yang tidak etis. Selain itu, ada dampak psikologis berupa perasaan tidak berdaya, tertekan, dan ketidakadilan yang dapat mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan.
Ketika sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu justru terlibat dalam praktik yang meragukan, kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan akan menurun. Fokus pendidikan seharusnya adalah pada kualitas pembelajaran, pengembangan karakter, dan penyiapan generasi muda yang kompeten dan berintegritas. Jika fokus bergeser pada "memungut biaya," esensi pendidikan akan hilang. Ini juga bisa menciptakan preseden buruk dan membuka celah bagi praktik serupa di sekolah-sekolah lain.
Kasus SMAN 78 Jakarta harus menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan introspeksi dan penegakan aturan yang lebih tegas. Sekolah adalah garda terdepan dalam membentuk karakter bangsa, dan harus bebas dari praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Dinas Pendidikan harus bertindak cepat, transparan, dan adil dalam menyelesaikan masalah ini, serta memastikan bahwa aturan-aturan yang ada ditegakkan tanpa pandang bulu.
Bagi kita semua, ini adalah panggilan untuk lebih aktif mengawasi lingkungan pendidikan di sekitar kita. Jangan ragu untuk melaporkan jika menemukan indikasi praktik serupa, karena suara kita adalah kekuatan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, lebih inklusif, dan bebas dari pungutan liar. Mari bersama-sama wujudkan pendidikan yang berintegritas, di mana hak-hak siswa dihormati, dan setiap langkah menuju masa depan tidak dihalangi oleh jerat biaya yang tidak adil. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mari bersama-sama #BersihkanPendidikan dari praktik pungutan yang meresahkan!
Artikel ini akan mengupas tuntas praktik yang terjadi di SMAN 78 Jakarta, menelisik aturan-aturan yang diduga dilanggar, serta dampaknya bagi siswa, orang tua, dan masa depan dunia pendidikan kita. Mari kita selami lebih dalam kegaduhan yang sedang berlangsung.
Awal Mula Kegaduhan: Kisah dari SMAN 78 Jakarta
Semua bermula dari pengakuan seorang siswa SMAN 78 Jakarta yang merasa terbebani dan terpaksa. Siswa tersebut menceritakan bagaimana pihak sekolah mewajibkan mereka untuk mengikuti Tes Kompetensi Akademik (TKA) yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga bimbingan belajar (bimbel) tertentu. Kewajiban ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah keharusan yang memiliki konsekuensi serius: tidak ikut TKA, berarti tidak bisa mengambil ijazah.
Kesaksian Siswa dan Orang Tua yang Terjebak Dilema
Biaya TKA ini tidak sedikit, mencapai sekitar Rp150.000. Parahnya, pembayaran tidak langsung ke pihak bimbel, melainkan disalurkan melalui sekolah atau koperasi sekolah. Praktik ini, menurut kesaksian, sudah berlangsung selama tiga tahun terakhir, menciptakan lingkaran dilema bagi para orang tua. Mereka merasa keberatan dan terpaksa membayar, demi memastikan masa depan pendidikan anak-anak mereka tidak terhambat hanya karena selembar ijazah yang seharusnya menjadi hak.
“Ini seperti disandera,” keluh salah seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya, mencerminkan perasaan tak berdaya yang dialami banyak orang tua lain. Di satu sisi, mereka ingin anak-anak mendapatkan ijazah mereka. Di sisi lain, mereka merasa ditekan dengan pungutan yang tidak jelas dasar hukumnya dan sangat memberatkan.
Mengapa Ini Menjadi Masalah Besar? Membedah Aturan yang Dilanggar
Apa yang terjadi di SMAN 78 Jakarta bukan sekadar masalah kecil. Praktik ini berpotensi melanggar beberapa peraturan penting yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan pemerintah daerah, yang bertujuan melindungi siswa dari beban finansial yang tidak semestinya dan memastikan integritas proses pendidikan.
Jerat Pungutan Liar Berkedok Tes
Pungutan liar, atau pungli, dalam konteks pendidikan adalah segala bentuk penarikan biaya yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas, tidak transparan, dan/atau bersifat memaksa. Biaya TKA sebesar Rp150.000 yang diwajibkan oleh sekolah, apalagi dengan ancaman penahanan ijazah, sangat mungkin masuk dalam kategori pungli. TKA sejatinya adalah sebuah instrumen evaluasi yang seharusnya bersifat opsional atau, jika memang esensial, biayanya ditanggung oleh negara atau melalui mekanisme yang transparan dan tidak memberatkan. Ketika sebuah tes menjadi wajib dan berbayar, serta diselenggarakan oleh pihak ketiga yang bekerja sama dengan sekolah, patut dipertanyakan apakah ini murni untuk peningkatan kualitas atau justru sebagai ladang bisnis terselubung.
Pelanggaran Jelas Peraturan Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah
Ada dua regulasi utama yang tampaknya diabaikan dalam kasus ini:
1. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah: Peraturan ini secara eksplisit melarang komite sekolah dan sekolah melakukan pungutan dalam bentuk apa pun dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pungutan yang dimaksud dalam Permendikbud ini harus berdasarkan kesepakatan komite sekolah dan orang tua, serta memiliki tujuan yang jelas untuk peningkatan mutu pelayanan pendidikan dan bukan bersifat wajib atau mengikat. Jika TKA ini diwajibkan dan menjadi syarat pengambilan ijazah, jelas bertentangan dengan semangat Permendikbud ini yang ingin melindungi siswa dari pungutan yang memberatkan.
2. Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2018 tentang Pelarangan dan Pencegahan Praktek Percaloan, Pungutan Liar dan Gratifikasi pada Satuan Pendidikan: Pergub ini secara tegas melarang sekolah untuk bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar. Larangan ini bertujuan untuk mencegah potensi konflik kepentingan, memastikan tidak ada diskriminasi dalam pelayanan pendidikan, dan mencegah praktik-praktik yang dapat membebani siswa dan orang tua. Kerja sama antara SMAN 78 dengan bimbel tertentu untuk TKA berbayar ini secara langsung melanggar poin krusial dalam Pergub tersebut.
Dengan demikian, praktik di SMAN 78 Jakarta bukan hanya sekadar "kebijakan internal" tetapi merupakan pelanggaran serius terhadap regulasi yang ada, yang berpotensi memiliki implikasi hukum.
Respon dan Tindak Lanjut: Bola Panas di Tangan Dinas Pendidikan
Menanggapi laporan ini, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta menyatakan akan segera menindaklanjuti. Kepala Bidang SMA Disdik DKI Jakarta, Purwosusilo, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan investigasi menyeluruh. Ini adalah langkah yang sangat dinantikan, mengingat pentingnya menjaga integritas dan keadilan dalam sistem pendidikan.
Sikap kepala SMAN 78 Jakarta yang belum memberikan komentar resmi juga menjadi sorotan. Transparansi dan akuntabilitas dari pihak sekolah sangat diperlukan untuk menjelaskan duduk perkara dan mengambil tindakan korektif jika terbukti ada pelanggaran. Jika dugaan pungli dan pelanggaran regulasi terbukti benar, sanksi tegas harus diberikan agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
Dampak Jangka Panjang dan Tantangan bagi Dunia Pendidikan
Kasus SMAN 78 Jakarta adalah cerminan kecil dari tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan kita. Praktik semacam ini memiliki dampak yang merugikan, tidak hanya bagi individu siswa dan orang tua, tetapi juga terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan.
Beban Finansial dan Psikologis bagi Siswa dan Orang Tua
Bagi sebagian keluarga, biaya Rp150.000 mungkin terasa kecil, namun bagi banyak keluarga lain, terutama yang memiliki keterbatasan ekonomi, jumlah tersebut bisa sangat berarti. Memaksa mereka membayar demi ijazah adalah bentuk eksploitasi yang tidak etis. Selain itu, ada dampak psikologis berupa perasaan tidak berdaya, tertekan, dan ketidakadilan yang dapat mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan.
Merusak Kepercayaan Publik dan Kualitas Pendidikan
Ketika sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu justru terlibat dalam praktik yang meragukan, kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan akan menurun. Fokus pendidikan seharusnya adalah pada kualitas pembelajaran, pengembangan karakter, dan penyiapan generasi muda yang kompeten dan berintegritas. Jika fokus bergeser pada "memungut biaya," esensi pendidikan akan hilang. Ini juga bisa menciptakan preseden buruk dan membuka celah bagi praktik serupa di sekolah-sekolah lain.
Kesimpulan: Demi Pendidikan yang Berintegritas dan Bebas Pungli
Kasus SMAN 78 Jakarta harus menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan introspeksi dan penegakan aturan yang lebih tegas. Sekolah adalah garda terdepan dalam membentuk karakter bangsa, dan harus bebas dari praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Dinas Pendidikan harus bertindak cepat, transparan, dan adil dalam menyelesaikan masalah ini, serta memastikan bahwa aturan-aturan yang ada ditegakkan tanpa pandang bulu.
Bagi kita semua, ini adalah panggilan untuk lebih aktif mengawasi lingkungan pendidikan di sekitar kita. Jangan ragu untuk melaporkan jika menemukan indikasi praktik serupa, karena suara kita adalah kekuatan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, lebih inklusif, dan bebas dari pungutan liar. Mari bersama-sama wujudkan pendidikan yang berintegritas, di mana hak-hak siswa dihormati, dan setiap langkah menuju masa depan tidak dihalangi oleh jerat biaya yang tidak adil. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mari bersama-sama #BersihkanPendidikan dari praktik pungutan yang meresahkan!
Comments
Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.
Related articles
Misteri Tarif LRT Velodrome-Manggarai: Mengapa Kemenhub Belum Ketok Palu dan Apa Dampaknya untuk Komuter Jakarta?
Sistemik! Kasus Guru Luwu Utara Buka Mata Komisi X DPR Atas Nestapa Jutaan Guru Honorer
Setelah Ledakan: Mengapa Banyak Siswa SMAN 72 Jakarta Minta Pindah Sekolah dan Apa Dampaknya pada Pendidikan Kita?
Tetap Terhubung dengan Kami!
Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.