Geger Pers Nasional: AJI Tolak Anugerah Dewan Pers 2025, Pertaruhkan Integritas atau Bongkar Borok Transparansi?

Geger Pers Nasional: AJI Tolak Anugerah Dewan Pers 2025, Pertaruhkan Integritas atau Bongkar Borok Transparansi?

AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menolak Anugerah Dewan Pers 2025 dengan alasan proses seleksi yang tidak transparan dan tidak akuntabel.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Dunia pers nasional sedang diguncang sebuah berita yang tak biasa, namun penuh makna. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi jurnalis paling vokal dan dihormati di Indonesia, secara mengejutkan menolak Anugerah Dewan Pers 2025. Keputusan ini bukan sekadar penolakan biasa terhadap sebuah penghargaan; ini adalah pernyataan tegas, pukulan telak, dan potensi pemicu perdebatan besar mengenai transparansi, akuntabilitas, dan masa depan jurnalisme di Tanah Air. Mengapa AJI mengambil langkah drastis ini? Apakah ada sesuatu yang lebih dalam di balik keputusan berani yang mungkin akan mengubah lanskap pers Indonesia?

Mengapa AJI Tolak Anugerah Bergengsi Ini? Sebuah Pernyataan Berani


Penolakan AJI terhadap Anugerah Dewan Pers 2025, yang sedianya akan diserahkan pada Hari Pers Nasional (HPN), didasari oleh alasan fundamental: ketiadaan transparansi dalam proses penilaian dan pemilihan penerima anugerah. Menurut AJI, proses seleksi tidak dijelaskan secara gamblang kepada publik, termasuk kriteria yang jelas, komposisi juri, serta mekanisme penilaian yang akuntabel. Ini menciptakan keraguan besar mengenai objektivitas dan integritas anugerah tersebut.

Bagi AJI, sebuah anugerah yang seharusnya menjadi simbol pengakuan tertinggi terhadap karya jurnalistik dan dedikasi jurnalis, haruslah melalui proses yang tidak tercela. Jika prosesnya sendiri diselimuti tanda tanya, bagaimana anugerah tersebut dapat mencerminkan nilai-nilai luhur jurnalisme? AJI melihat ini bukan hanya sebagai masalah prosedural, tetapi sebagai cerminan dari potensi masalah yang lebih besar dalam tata kelola Dewan Pers itu sendiri. Mereka khawatir bahwa kurangnya transparansi ini bisa membuka pintu bagi konflik kepentingan atau bias dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi pers.

Lebih dari Sekadar Anugerah: Sorotan Tajam Terhadap Kredibilitas Dewan Pers


Penolakan AJI ini tidak berdiri sendiri. Ini adalah puncak gunung es dari kritik yang lebih luas terhadap kinerja dan kredibilitas Dewan Pers dalam beberapa waktu terakhir. AJI telah secara konsisten menyuarakan keprihatinan mereka mengenai independensi Dewan Pers, komitmennya terhadap kebebasan pers, dan akuntabilitasnya dalam menjalankan fungsinya.

Dewan Pers, sebagai lembaga independen yang diamanahkan undang-undang untuk menjaga kebebasan pers dan mengembangkan kehidupan pers nasional, memiliki peran krusial. Namun, ketika proses internalnya sendiri dipertanyakan, apalagi oleh organisasi sekelas AJI yang memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan hak-hak jurnalis, ini menjadi alarm bahaya. Ketidakjelasan dalam proses anugerah ini, menurut AJI, hanya mengkonfirmasi kekhawatiran mereka bahwa Dewan Pers mungkin telah kehilangan sebagian dari "taring" independensinya atau setidaknya, belum sepenuhnya transparan dalam setiap aspek operasionalnya.

Bagaimana publik bisa mempercayai media dan lembaga yang mengaturnya, jika lembaga itu sendiri gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas? Ini bukan hanya tentang sebuah piala atau penghargaan, melainkan tentang fondasi kepercayaan yang menopang seluruh ekosistem pers. Jika Dewan Pers gagal menjaga integritasnya dalam hal-hal kecil seperti penghargaan, bagaimana dengan isu-isu besar yang menyangkut kebebasan berekspresi, perlindungan jurnalis, atau penyelesaian sengketa pers?

Dampak Potensial terhadap Jurnalisme Indonesia


Keputusan AJI ini berpotensi memiliki dampak signifikan. Pertama, ini bisa memicu perdebatan yang sehat (meskipun mungkin panas) di kalangan komunitas pers tentang standar etika, transparansi, dan independensi. Ini adalah kesempatan bagi semua pemangku kepentingan untuk merenungkan kembali bagaimana penghargaan diberikan dan bagaimana lembaga pers dijalankan.

Kedua, ini bisa mempengaruhi kepercayaan publik. Ketika organisasi jurnalis sendiri saling mengkritik, apalagi tentang isu fundamental seperti transparansi, publik bisa menjadi bingung atau bahkan sinis terhadap berita yang mereka terima. Penting bagi Dewan Pers untuk menanggapi kritik ini dengan serius dan menunjukkan komitmen nyata terhadap perbaikan.

Ketiga, keputusan ini memberikan dilema bagi jurnalis dan perusahaan media yang mungkin menerima anugerah tersebut. Apakah mereka akan merasa terlegitimasi sepenuhnya, ataukah akan ada bayangan keraguan yang menyelimuti penghargaan tersebut? Ini adalah sebuah "ujian" bagi integritas masing-masing pihak.

Suara Lain dari Komunitas Pers: Pro dan Kontra Penolakan AJI


Sudah dapat diprediksi, keputusan AJI ini akan menimbulkan beragam reaksi. Beberapa pihak mungkin akan mendukung langkah AJI, melihatnya sebagai keberanian untuk menegakkan prinsip, dan sebagai "wake-up call" bagi Dewan Pers. Mereka akan berargumen bahwa integritas lebih penting daripada pengakuan semu.

Di sisi lain, mungkin ada yang berpendapat bahwa penolakan ini terlalu reaktif atau bahwa AJI seharusnya berdialog terlebih dahulu. Mungkin juga ada yang khawatir bahwa penolakan ini justru akan memperkeruh suasana dan merusak citra pers di mata publik. Namun, inti dari semua perdebatan ini haruslah satu: bagaimana kita bisa memastikan bahwa jurnalisme di Indonesia tetap independen, kredibel, dan transparan, baik dari sisi pelaksana maupun regulatornya?

Penting bagi Dewan Pers untuk tidak hanya menganggap ini sebagai serangan, melainkan sebagai masukan konstruktif untuk meningkatkan tata kelola dan legitimasinya di mata komunitas pers dan publik. Dialog terbuka dan kesediaan untuk berbenah adalah kunci untuk mengatasi krisis kepercayaan ini.

Masa Depan Transparansi dan Independensi Pers: Tantangan di Depan Mata


Peristiwa ini menyoroti kembali urgensi transparansi dan independensi dalam setiap aspek kehidupan pers, mulai dari proses redaksi hingga lembaga yang mengawasinya. Di era disrupsi informasi dan maraknya hoaks, peran jurnalisme yang kredibel dan institusi pers yang independen menjadi semakin vital. Jika fondasinya retak, maka seluruh bangunan informasi akan goyah.

Tantangan ke depan adalah bagaimana Dewan Pers dapat memulihkan kepercayaan, tidak hanya dari AJI tetapi juga dari seluruh komunitas pers dan masyarakat luas. Ini membutuhkan lebih dari sekadar klarifikasi. Ini membutuhkan reformasi struktural, komitmen yang lebih kuat terhadap keterbukaan, dan mungkin, melibatkan lebih banyak partisipasi dari berbagai elemen masyarakat pers dalam proses pengambil keputusan. AJI telah melemparkan bola panas. Kini giliran Dewan Pers dan seluruh ekosistem pers untuk menunjukkan apakah mereka siap menghadapinya dengan dewasa dan bertanggung jawab demi kemajuan jurnalisme Indonesia.

Penolakan Anugerah Dewan Pers 2025 oleh AJI adalah sebuah momen krusial yang lebih dari sekadar berita. Ini adalah cerminan dari ketegangan yang mendasari dan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang arah jurnalisme kita. Ini adalah seruan untuk transparansi, akuntabilitas, dan independensi yang lebih kuat dalam tubuh Dewan Pers, sebuah lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi kebebasan pers.

Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai momentum untuk berdiskusi, berbenah, dan bersama-sama memperjuangkan jurnalisme yang lebih baik. Jurnalisme yang tidak hanya bebas dari tekanan eksternal, tetapi juga dari keraguan internal. Apa pendapat Anda tentang penolakan AJI ini? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan mari bersama mengawal masa depan pers Indonesia yang lebih transparan dan berintegritas!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.