Geger Kampus UI: Mengapa Mahasiswa Menolak Mati-matian Peleburan SIL dan SKSG Jadi SPPB?

Geger Kampus UI: Mengapa Mahasiswa Menolak Mati-matian Peleburan SIL dan SKSG Jadi SPPB?

Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menolak keras kebijakan peleburan program pascasarjana Sistem Informasi Lingkungan (SIL) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) ke dalam Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan (SPPB).

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
H1: Geger Kampus UI: Mengapa Mahasiswa Menolak Mati-matian Peleburan SIL dan SKSG Jadi SPPB?

Suasana kampus yang biasanya identik dengan diskusi ilmiah yang tenang dan inovasi tiada henti, kini diwarnai gejolak. Universitas Indonesia (UI), salah satu institusi pendidikan tinggi paling bergengsi di tanah air, tengah menghadapi gelombang penolakan keras dari para mahasiswanya. Objek penolakan ini adalah kebijakan peleburan dua program pascasarjana unggulan, yaitu Sistem Informasi Lingkungan (SIL) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), ke dalam entitas baru bernama Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan (SPPB).

Penolakan ini bukan sekadar protes biasa terhadap kebijakan administratif, melainkan cerminan kekhawatiran mendalam yang menyentuh inti identitas akademik, otonomi mahasiswa, dan masa depan pendidikan di UI. Para mahasiswa berargumen bahwa keputusan ini berpotensi menggerus kekhasan dan relevansi program studi yang telah mereka pilih, sekaligus dipertanyakan landasan hukum serta proses pengambilan keputusannya yang dinilai minim partisipasi. Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi penolakan masif ini? Mari kita selami lebih dalam duduk perkara yang tengah memanas di balik dinding-dinding Universitas Indonesia.

H2: Membongkar Akar Masalah: Kebijakan Peleburan yang Menuai Kontroversi

Keputusan untuk melebur dua program pascasarjana, SIL dan SKSG, menjadi SPPB, telah memicu gelombang protes yang tak terduga. Ini bukan hanya perubahan nama, melainkan restrukturisasi fundamental yang menurut mahasiswa, mengancam esensi dari program-program tersebut. Untuk memahami ketidakpuasan ini, kita perlu melihat lebih dekat program-program yang terlibat dan mengapa identitas mereka sangat diperjuangkan.

H3: Apa yang Dilebur dan Menjadi Apa?

Sistem Informasi Lingkungan (SIL) adalah program pascasarjana yang dikenal dengan pendekatan interdisipliner uniknya. Program ini fokus pada integrasi sistem informasi dengan isu-isu lingkungan, menghasilkan lulusan yang mampu menganalisis dan memecahkan masalah lingkungan dengan perspektif teknologi dan manajemen yang komprehensif. SIL telah membangun reputasi sebagai program yang relevan dengan tantangan global saat ini, mulai dari perubahan iklim hingga keberlanjutan.

Sementara itu, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) adalah wadah bagi studi-studi mendalam tentang geopolitik, keamanan, diplomasi, dan isu-isu global lainnya. Program ini membekali mahasiswanya dengan kerangka analisis kritis untuk memahami dinamika kekuatan dan interaksi antarnegara di panggung dunia. SKSG telah menjadi pusat pemikiran strategis yang penting bagi Indonesia.

Kini, kedua program ini akan dilebur ke dalam Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan (SPPB). SPPB, sebagaimana namanya, berorientasi pada perencanaan dan kebijakan pembangunan. Meskipun pembangunan adalah bidang yang luas, kekhawatiran muncul bahwa kekhasan interdisipliner SIL dan fokus strategis SKSG akan ‘tenggelam’ di bawah payung SPPB yang lebih umum. Mahasiswa melihat ini sebagai upaya homogenisasi yang dapat mengikis spesialisasi dan keunggulan kompetitif yang telah lama dibangun oleh SIL dan SKSG.

H3: Argumen Mahasiswa: Kekhawatiran Identitas dan Kehilangan Ciri Khas

Penolakan mahasiswa bukan tanpa alasan yang kuat. Mereka menyuarakan beberapa poin krusial yang mereka yakini akan merugikan kualitas pendidikan dan masa depan lulusan.

Pertama, identitas unik terancam. Mahasiswa SIL khususnya, sangat bangga dengan karakter interdisipliner program mereka yang menggabungkan sains lingkungan, teknologi informasi, dan kebijakan. Mereka khawatir bahwa dalam SPPB, kekhasan ini akan hilang, tereduksi menjadi hanya salah satu aspek pembangunan, tanpa kedalaman dan fokus yang memadai. Program SPPB dinilai memiliki spektrum yang terlalu luas sehingga esensi SIL yang spesifik menjadi terabaikan.

Kedua, dilusi keilmuan. Keahlian spesifik yang diasah bertahun-tahun dalam kurikulum SIL dan SKSG berisiko menjadi kabur atau kurang fokus. Mahasiswa khawatir kompetensi yang mereka dapatkan akan menjadi terlalu umum, tidak lagi memiliki daya saing yang kuat di pasar kerja yang semakin membutuhkan spesialisasi. Mereka mempertanyakan bagaimana integrasi ini akan dilakukan tanpa mengorbankan kedalaman materi perkuliahan dan riset.

Ketiga, isu otonomi akademik. Para mahasiswa merasa keputusan peleburan ini diambil secara top-down, tanpa proses konsultasi yang memadai atau partisipasi aktif dari komunitas akademik yang terdampak. Mereka menuntut hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada pendidikan dan masa depan mereka. Kurangnya dialog ini menimbulkan perasaan terpinggirkan dan tidak dihargai, padahal suara mahasiswa adalah representasi langsung dari kualitas pendidikan yang mereka rasakan.

Keempat, legalitas dan landasan hukum. Mahasiswa juga mempertanyakan dasar hukum dari keputusan peleburan ini. Apakah prosesnya sudah sesuai dengan peraturan dan statuta universitas? Apakah ada kajian mendalam yang menjustifikasi peleburan ini dari segi akademik maupun administratif? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan terhadap proses yang transparan dan akuntabel.

H2: Suara yang Tak Didengar: Mengapa Dialog Menjadi Penting?

Polemik peleburan program studi di UI ini menjadi studi kasus penting mengenai tata kelola perguruan tinggi modern. Ini bukan hanya tentang dua program studi, tetapi tentang bagaimana sebuah institusi sebesar UI berinteraksi dengan komunitas akademiknya, terutama mahasiswanya.

Dampak yang paling dikhawatirkan adalah pada kualitas pendidikan. Jika peleburan ini dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan pemahaman mendalam tentang masing-masing program, bisa jadi kurikulum akan menjadi tidak fokus, dosen kehilangan spesialisasi, dan riset menjadi kurang inovatif. Kualitas lulusan pun bisa terpengaruh, padahal UI memiliki reputasi sebagai pencetak lulusan terbaik.

Selain itu, ini bisa menjadi preseden buruk untuk masa depan. Jika keputusan strategis seperti ini dapat diambil tanpa partisipasi aktif dari komunitas akademik, bukan tidak mungkin program studi lain juga akan mengalami nasib serupa di kemudian hari. Ini bisa mengikis semangat akademik dan inovasi jika setiap keputusan besar hanya berasal dari atas tanpa mendengarkan aspirasi dari bawah.

Oleh karena itu, pentingnya partisipasi mahasiswa tidak bisa diabaikan. Mahasiswa adalah penerima langsung dari kebijakan pendidikan dan memiliki perspektif unik yang sangat berharga. Mereka bukan sekadar objek kebijakan, melainkan pemangku kepentingan utama yang seharusnya dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang memengaruhi jalur pendidikan dan karier mereka. Dialog yang konstruktif dan terbuka adalah kunci untuk mencari solusi terbaik yang menguntungkan semua pihak.

H2: Refleksi Lebih Luas: Tantangan Tata Kelola Perguruan Tinggi Modern

Kasus di UI ini adalah cerminan dari tantangan yang lebih luas dalam tata kelola perguruan tinggi modern. Seringkali, institusi pendidikan dihadapkan pada tekanan untuk meningkatkan efisiensi administratif, merespons perubahan pasar, atau melakukan restrukturisasi untuk mencapai tujuan strategis tertentu. Namun, pertanyaan fundamentalnya adalah: apakah efisiensi harus mengorbankan identitas dan kekhasan program studi yang telah terbukti berhasil?

Keseimbangan antara efisiensi dan identitas menjadi krusial. Sebuah program studi dengan identitas yang kuat akan menarik minat mahasiswa yang tepat, menghasilkan riset yang relevan, dan mencetak lulusan yang kompeten. Mengikis identitas ini demi efisiensi semata bisa berakibat fatal dalam jangka panjang.

Aspek transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan juga menjadi sorotan. Masyarakat dan komunitas akademik berhak mengetahui alasan di balik kebijakan besar, data yang mendasarinya, serta proses konsultasi yang telah dilakukan. Tanpa transparansi, akan sulit membangun kepercayaan dan dukungan dari semua pihak.

Sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia, UI memiliki peran besar dalam membentuk masa depan bangsa. Keputusan-keputusan yang diambil oleh UI tidak hanya berdampak pada internal kampus, tetapi juga pada ekosistem pendidikan tinggi nasional dan bahkan internasional. Oleh karena itu, penting bagi UI untuk menunjukkan contoh tata kelola yang baik, yang tidak hanya responsif terhadap tantangan zaman, tetapi juga menghargai suara dan identitas setiap komponennya.

H2: Apa Selanjutnya? Menanti Solusi dan Dialog Konstruktif

Situasi di UI saat ini menuntut sebuah resolusi yang bijaksana. Desakan untuk dialog terbuka dan konstruktif dengan pihak rektorat adalah tuntutan utama mahasiswa. Mereka ingin aspirasi mereka didengar, kekhawatiran mereka dipertimbangkan, dan proses pengambilan keputusan melibatkan mereka secara aktif.

Pencarian jalan tengah sangat diperlukan. Apakah ada alternatif selain peleburan total? Misalnya, memperkuat kolaborasi antar program studi tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing, atau mencari model integrasi yang tetap mempertahankan kekhasan setiap program. Solusi inovatif yang mengakomodasi kepentingan semua pihak perlu dieksplorasi.

Jika penolakan ini terus berlanjut tanpa penyelesaian yang memuaskan, dampak potensial bisa sangat luas. Reputasi UI sebagai kampus yang demokratis dan peduli terhadap mahasiswanya bisa tercoreng. Proses akademik bisa terganggu, dan bahkan bisa memicu ketidakpercayaan yang lebih besar antara mahasiswa dan manajemen universitas. Ini adalah situasi yang tidak diinginkan oleh siapa pun yang mencintai dan ingin melihat UI terus maju.

Kesimpulan:

Polemikk peleburan SIL dan SKSG ke dalam SPPB di Universitas Indonesia adalah lebih dari sekadar masalah administratif; ini adalah pertarungan untuk prinsip-prinsip dasar pendidikan tinggi – identitas akademik, otonomi, dan partisipasi. Suara mahasiswa UI yang menolak mati-matian kebijakan ini adalah panggilan untuk tata kelola universitas yang lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Semoga polemik ini menjadi momentum bagi Universitas Indonesia untuk memperkuat fondasi kelembagaan yang menghargai keberagaman keilmuan dan mendengarkan setiap suara dalam komunitas akademiknya. Masa depan pendidikan di UI, dan bahkan di Indonesia, sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menyeimbangkan inovasi dengan penghormatan terhadap tradisi, serta efisiensi dengan identitas.

Bagaimana menurut Anda? Apakah keputusan peleburan ini tepat? Apakah suara mahasiswa harus menjadi penentu dalam kebijakan kampus? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan diskusikan artikel ini agar suara mahasiswa UI didengar lebih luas! Mari bersama-sama mendukung terciptanya lingkungan akademik yang lebih baik dan inklusif. #SaveSILUI #SuaraMahasiswaUI #OtonomiAkademik #UIBergerak

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.