Gebrak Meja! Projo: Tolak Jadi Relawan 'Asal Bapak Senang', Siap Kritis Walau Pahit?

Gebrak Meja! Projo: Tolak Jadi Relawan 'Asal Bapak Senang', Siap Kritis Walau Pahit?

Projo, organisasi relawan pendukung Jokowi, secara mengejutkan menyatakan tidak akan lagi menjadi relawan "asal bapak senang".

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Gebrak Meja! Projo: Tolak Jadi Relawan 'Asal Bapak Senang', Siap Kritis Walau Pahit?



Dalam lanskap politik Indonesia yang seringkali didominasi oleh loyalitas tanpa batas, pernyataan dari Projo (Pro Jokowi) baru-baru ini telah mengguncang banyak pihak. Organisasi relawan yang selama ini dikenal sebagai garda terdepan pendukung setia Presiden Joko Widodo itu secara tegas menyatakan tidak ingin lagi menjadi relawan "asal bapak senang". Sebuah deklarasi yang bukan hanya mengejutkan, tetapi juga berpotensi mengubah dinamika hubungan antara kelompok relawan dan pemerintah di masa depan.

Apa makna di balik pernyataan berani ini? Apakah ini sinyal kematangan politik atau justru manuver strategis Projo pasca-Jokowi? Mari kita bedah lebih dalam implikasi dari sikap Projo yang menolak jadi 'penjilat' ini.

Mengapa Projo Mengambil Sikap Ini?



Untuk memahami signifikansi pernyataan Projo, kita perlu melihat kembali sejarah dan perannya. Sejak kemunculannya, Projo telah menjadi lokomotif utama kekuatan relawan yang mengantarkan Jokowi ke kursi kepresidenan dua periode berturut-turut. Mereka adalah mesin kampanye yang gigih, selalu berada di garis depan untuk membela dan menyuarakan kebijakan pemerintah. Loyalitas Projo terhadap Jokowi tidak diragukan lagi, bahkan seringkali dianggap sebagai cerminan kesetiaan total.

Namun, dengan mendekatnya akhir masa jabatan Jokowi, Projo agaknya merasa perlu mendefinisikan ulang identitas dan relevansinya. Pernyataan bahwa mereka tidak akan menjadi relawan "asal bapak senang" adalah sebuah penolakan terhadap budaya politik yang seringkali mengedepankan pujian dan keselarasan semu, tanpa kritik konstruktif. Budaya ini, yang jamak ditemukan dalam birokrasi maupun lingkar kekuasaan, seringkali menghambat kemajuan karena mematikan inisiatif, menutupi masalah, dan menciptakan ekosistem yang tidak akuntabel.

Projo kini menegaskan niatnya untuk bertransformasi menjadi mitra kritis. Mereka ingin memberikan masukan yang jujur dan konstruktif kepada pemerintah, sekalipun itu pahit atau tidak populer. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memastikan arah pembangunan bangsa tetap pada jalurnya, sejalan dengan cita-cita awal perjuangan mereka. Ini menunjukkan sebuah kematangan berorganisasi, di mana loyalitas tidak lagi berarti buta, melainkan diiringi dengan tanggung jawab moral untuk mengawasi.

Dampak Potensial Terhadap Politik Nasional



Sikap Projo ini berpotensi memiliki dampak signifikan pada peta politik nasional. Pertama, ini bisa menjadi preseden bagi organisasi relawan lain. Jika Projo, sebagai salah satu kekuatan relawan terbesar, berani mengambil posisi kritis, maka kelompok-kelompok relawan lain mungkin akan terinspirasi untuk melakukan hal serupa. Ini dapat mendorong ekosistem relawan yang lebih sehat, di mana mereka tidak hanya menjadi pendulang suara tetapi juga pengawas independen.

Kedua, ini akan mengubah dinamika hubungan antara pemerintah dan basis pendukungnya. Pemerintah mendatang, di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, akan menghadapi kenyataan bahwa tidak semua "mantan" pendukung akan diam seribu bahasa. Projo dapat menjadi salah satu kekuatan penyeimbang yang vokal, menuntut akuntabilitas dan transparansi. Tentu saja, tantangan terbesar bagi Projo adalah menjaga konsistensi dan integritasnya agar tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis atau dituding sekadar mencari panggung. Membuktikan bahwa kritik mereka benar-benar konstruktif dan berbasis data adalah kuncinya.

Menilik Makna Sejati 'Asal Bapak Senang' dalam Birokrasi dan Politik



Frasa "asal bapak senang" bukan sekadar jargon politik, melainkan representasi dari masalah fundamental yang menghantui birokrasi dan politik di banyak negara, termasuk Indonesia. Ini adalah mentalitas yang menempatkan kepuasan atasan di atas efektivitas kebijakan, kebenaran fakta, atau kepentingan publik yang lebih luas. Konsekuensinya sangat merugikan:
* Kebijakan Tidak Efektif: Informasi yang disaring atau diubah agar menyenangkan atasan dapat menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada data palsu atau persepsi yang keliru.
* Minimnya Inovasi: Bawahan cenderung tidak berani mengemukakan ide baru atau perbedaan pendapat karena takut tidak disukai, membunuh potensi inovasi.
* Korupsi dan Akuntabilitas Rendah: Lingkungan "asal bapak senang" seringkali menciptakan celah bagi praktik korupsi dan minimnya akuntabilitas karena kritik ditekan dan pengawasan internal lemah.
* Kesenjangan dengan Realitas: Para pengambil keputusan bisa kehilangan kontak dengan realitas di lapangan karena hanya mendengar laporan yang "dipercantik".

Oleh karena itu, penolakan Projo terhadap mentalitas ini adalah sebuah langkah maju yang patut diapresiasi, setidaknya dalam tataran wacana. Ini mengingatkan kita akan pentingnya kritik konstruktif sebagai elemen vital dalam demokrasi yang sehat. Kritik bukan berarti membenci, tetapi bentuk kepedulian untuk perbaikan.

Masa Depan Projo dan Lanskap Politik Indonesia



Langkah Projo ini menempatkan mereka pada persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang besar untuk tumbuh menjadi organisasi masyarakat sipil yang kredibel dan berpengaruh, yang menyuarakan kepentingan rakyat secara independen. Mereka bisa menjadi model baru bagi gerakan relawan yang lebih matang dan bertanggung jawab. Di sisi lain, ada risiko kehilangan relevansi, dituduh bermuka dua, atau bahkan pecah kongsi jika internal Projo sendiri tidak bulat dalam menjalankan misi barunya.

Bagaimana Projo akan berinteraksi dengan pemerintahan baru Prabowo-Gibran? Apakah mereka akan mampu mempertahankan sikap kritisnya ataukah pada akhirnya akan terkooptasi dalam sistem? Ini akan menjadi ujian nyata bagi Projo. Konsistensi dalam memberikan masukan, keberanian untuk menunjuk masalah tanpa motif tersembunyi, dan kemampuan untuk merumuskan solusi adalah kunci keberhasilan mereka.

Pernyataan Projo ini mengingatkan kita bahwa loyalitas sejati tidak selalu berarti kesesuaian mutlak, tetapi keberanian untuk menyampaikan kebenaran demi kebaikan bersama. Dalam demokrasi yang berkembang, suara kritis adalah fondasi yang tak ternilai.

Ayo, Suarakan Pendapatmu!



Menurut Anda, apakah langkah Projo ini adalah sebuah titik balik penting dalam politik relawan di Indonesia? Mampukah mereka konsisten menjaga independensi dan memberikan kritik konstruktif? Atau ini hanyalah strategi politik semata? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah! Mari diskusikan bagaimana kita bisa menciptakan budaya politik yang lebih sehat dan akuntabel bersama. Jangan lupa bagikan artikel ini jika Anda merasa pesan Projo ini relevan dan penting untuk diketahui lebih banyak orang.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.