Drama Takhta Jawa Memanas: Putri Pakubuwono XIII Sesalkan Pengangkatan Raja Baru Keraton Surakarta, Apa Artinya Bagi Masa Depan Budaya Kita?

Drama Takhta Jawa Memanas: Putri Pakubuwono XIII Sesalkan Pengangkatan Raja Baru Keraton Surakarta, Apa Artinya Bagi Masa Depan Budaya Kita?

Putri sulung Pakubuwono XIII, GKR Timoer Rumbai Dailami, menyatakan penyesalan mendalam atas penetapan KGPH Hangabehi sebagai Raja Baru Keraton Surakarta.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Di balik kemegahan dan keagungan Keraton Surakarta Hadiningrat, sebuah pusaran konflik tak berujung kembali menggelegak. Istana yang seharusnya menjadi jantung budaya Jawa, kini justru diselimuti ketegangan menyusul pengangkatan raja baru yang kontroversial. Geger yang memicu kekhawatiran ini bukan datang dari luar, melainkan dari dalam inti keluarga keraton itu sendiri. Putri sulung Pakubuwono XIII, Gusti Kanjeng Ratu Timoer Rumbai Dailami, dengan nada sedih dan penuh kekecewaan, menyuarakan penyesalannya atas keputusan menetapkan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi sebagai Raja Baru Keraton Surakarta.



Kabar ini bukan sekadar berita biasa, melainkan sebuah alarm keras bagi pelestarian tradisi dan marwah sebuah institusi kebudayaan yang telah berdiri berabad-abad. Mengapa pengangkatan ini begitu memantik polemik? Apa dampak jangka panjangnya bagi Keraton Surakarta dan bahkan bagi identitas budaya Jawa secara keseluruhan? Mari kita selami lebih dalam drama takhta yang mengguncang ini.



Suara Kekecewaan dari Jantung Keraton: GKR Timoer Rumbai Bersuara



Keterkejutan publik mencuat setelah GKR Timoer Rumbai Dailami, putri dari Sinuhun Pakubuwono XIII dan permaisuri GKR Pakubuwono, menyatakan kekecewaannya secara terbuka. Dalam pernyataannya, GKR Timoer menegaskan bahwa penetapan KGPH Hangabehi sebagai raja baru merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat rekonsiliasi yang telah susah payah dibangun. Ia menyoroti fakta bahwa keputusan ini diambil tanpa adanya musyawarah dan mufakat menyeluruh dari seluruh keluarga besar keraton, khususnya para Sentono Dalem (kerabat utama). Menurutnya, penetapan raja seharusnya mengikuti mekanisme yang telah disepakati bersama, bukan hasil dari klaim sepihak atau dorongan dari pihak-pihak tertentu.



GKR Timoer mengungkapkan bahwa proses rekonsiliasi internal yang telah berjalan sejak tahun 2017, dan difasilitasi oleh banyak pihak termasuk pemerintah, kini terancam bubar. Ia khawatir, langkah gegabah ini justru akan mengembalikan Keraton Surakarta ke titik nol, terjerumus kembali ke dalam jurang konflik yang lebih dalam dan berkepanjangan. Suaranya bukan hanya mewakili dirinya, melainkan juga representasi dari kekhawatiran banyak pihak yang mendambakan kedamaian dan keutuhan Keraton sebagai pusat budaya dan spiritual masyarakat Jawa.



Jejak Konflik Panjang: Mengapa Keraton Surakarta Selalu Bergejolak?



Bagi sebagian besar masyarakat, khususnya mereka yang mengikuti perkembangan Keraton Surakarta, polemik ini bukanlah hal baru. Keraton Surakarta memang dikenal memiliki sejarah konflik internal yang cukup panjang dan kompleks, sering kali terkait dengan suksesi takhta dan perebutan pengaruh. Sejak awal abad ke-21, Keraton ini telah beberapa kali mengalami gejolak internal yang membelah keluarga besar menjadi beberapa faksi.



Salah satu konflik paling monumental terjadi pada tahun 2004, ketika dua kubu utama, yakni kubu Pakubuwono XIII (saat itu masih bergelar KGPH Tedjowulan) dan kubu KGPH Hangabehi, sama-sama mengklaim sebagai penerus takhta. Konflik ini bahkan sempat memicu ketegangan fisik dan pendudukan keraton. Meskipun pada akhirnya terjadi upaya rekonsiliasi dan pengakuan Pakubuwono XIII sebagai raja yang sah, luka dan ketegangan di antara kerabat keraton tak pernah benar-benar pulih sepenuhnya. Pengangkatan Hangabehi saat ini, terlepas dari klaim legitimasi yang menyertainya, secara tak terhindarkan membangkitkan kembali memori pahit konflik masa lalu dan mengancam untuk membuka kembali kotak pandora perpecahan yang selama ini hanya tertutup samar.



Siapa KGPH Hangabehi dan Klaim "Raja Baru" yang Kontroversial?



KGPH Hangabehi bukanlah nama asing dalam konstelasi Keraton Surakarta. Ia adalah putra tertua dari Pakubuwono XII, yang mendahului Pakubuwono XIII. Sejarahnya yang panjang dalam konflik suksesi menjadikannya figur yang selalu berada di pusat perhatian setiap kali polemik keraton mencuat. Klaimnya sebagai "Raja Baru" kali ini disinyalir muncul setelah kematian Pakubuwono XIII belum lama ini. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana proses penetapan ini berlangsung dan siapa yang memberinya legitimasi.



GKR Timoer dan pihak-pihak lain yang keberatan menyoroti kurangnya konsensus keluarga. Dalam tradisi keraton, penetapan raja atau pemimpin adat biasanya melibatkan musyawarah mufakat dari para sesepuh dan sentono dalem. Ini bukan hanya masalah hukum, melainkan juga masalah adat dan budaya yang mengakar kuat. Ketika proses ini dikesampingkan, legitimasi seorang raja akan dipertanyakan, tidak hanya oleh internal keraton tetapi juga oleh masyarakat luas. Konflik ini bukan hanya tentang siapa yang duduk di takhta, tetapi juga tentang bagaimana sebuah takhta diwariskan dan dihormati.



Ancaman Perpecahan Lebih Dalam: Masa Depan Adat dan Budaya



Dampak dari penetapan raja baru yang kontroversial ini tidak bisa dianggap remeh. Pertama, ia akan menciptakan polarisasi yang lebih tajam di dalam keluarga keraton, memecah belah kerabat menjadi faksi-faksi yang saling bertentangan. Hal ini bisa berujung pada gugatan hukum, memperpanjang daftar perselisihan yang harus diselesaikan di meja hijau, bukan di ruang musyawarah keraton.



Kedua, dan yang lebih mengkhawatirkan, adalah erosi terhadap kewibawaan dan relevansi Keraton Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Jika keraton terus-menerus terjebak dalam intrik internal, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap kemampuannya untuk menjalankan perannya sebagai penjaga tradisi, pelestari seni, dan panduan moral. Bagaimana sebuah institusi yang terpecah belah dapat menginspirasi dan mempersatukan masyarakatnya?



Ketiga, konflik ini juga dapat mengganggu hubungan antara keraton dan pemerintah daerah maupun pusat. Pemerintah memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas dan melestarikan warisan budaya, dan konflik yang terus-menerus bisa menyulitkan kolaborasi serta dukungan yang diperlukan untuk keberlangsungan keraton.



Dari Istana ke Rakyat: Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa



Keraton bukan sekadar bangunan fisik atau keluarga kerajaan; ia adalah simbol hidup dari nilai-nilai budaya Jawa yang luhur. Filosofi guyub rukun (hidup damai dan harmonis), musyawarah mufakat, dan unggah-ungguh (tata krama) seharusnya menjadi napas setiap keputusan yang diambil di dalamnya. Ketika nilai-nilai ini terpinggirkan demi kepentingan dan ambisi pribadi, esensi budaya itu sendiri terancam luntur. Masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi harmoni dan keselarasan tentu akan merasa prihatin melihat "rumah" budayanya sendiri terpecah belah.



Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana Keraton Surakarta dapat kembali menemukan jalannya untuk bersatu dan melanjutkan misinya sebagai mercusuar budaya? Apakah mungkin untuk menempatkan kepentingan bersama dan kelestarian budaya di atas ambisi individu? Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan kearifan, kerendahan hati, dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang merasa memiliki Keraton.



Panggilan untuk Rekonsiliasi Sejati: Jalan Ke Depan



Melihat kompleksitas dan dampak yang ditimbulkan, sudah saatnya semua pihak yang terlibat dalam Keraton Surakarta meninjau kembali langkah mereka. Panggilan untuk rekonsiliasi sejati harus menjadi prioritas utama. Ini berarti kembali ke meja perundingan, melibatkan semua faksi dan kerabat keraton, mendengarkan semua suara, dan mencari solusi yang didasarkan pada musyawarah mufakat serta rasa hormat terhadap tradisi dan adat istiadat.



Pemerintah dan tokoh masyarakat yang peduli terhadap kelestarian budaya juga memiliki peran penting sebagai fasilitator yang netral. Mereka dapat membantu menciptakan ruang dialog yang konstruktif dan mendorong tercapainya kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Masa depan Keraton Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, sebagai penjaga warisan leluhur, sangat bergantung pada kemampuan para penghuninya untuk menyatukan visi dan misi, menyingkirkan perbedaan, dan bergerak maju sebagai satu keluarga besar yang utuh.



Drama takhta ini adalah cerminan dari tantangan modernitas yang dihadapi oleh institusi tradisional. Mampukah Keraton Surakarta menemukan jalan keluar dari labirin konflik ini dan kembali menjadi panutan kebudayaan yang menginspirasi? Hanya waktu dan kebijaksanaan para pemimpinnya yang akan menjawab.



Bagaimana menurut Anda? Apakah penetapan raja baru ini akan membawa Keraton Surakarta pada kebangkitan atau justru keterpurukan yang lebih dalam? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.