Drama FTX Makin Panas: Rebutan Miliaran Dolar, Nasib Nasabah di Ujung Tanduk!

Drama FTX Makin Panas: Rebutan Miliaran Dolar, Nasib Nasabah di Ujung Tanduk!

Tim debitur FTX yang dipimpin John Ray III secara tegas menolak permintaan pemerintah Bahama untuk merepatriasi aset kripto senilai lebih dari $300 juta yang telah diamankan oleh liquidator Bahama.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Dunia kripto kembali dikejutkan dengan babak baru drama kebangkrutan FTX, salah satu bursa aset digital terbesar yang runtuh secara spektakuler pada akhir 2022. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada penolakan tegas tim debitur FTX yang dipimpin oleh CEO John Ray III terhadap permintaan pemerintah Bahama untuk merepatriasi aset kripto senilai lebih dari $300 juta. Konflik ini bukan sekadar sengketa hukum biasa; ini adalah pertarungan sengit atas miliaran dolar, melibatkan yurisdiksi internasional, dan secara langsung mempengaruhi ribuan nasabah yang dana mereka masih terperangkap dalam kekacauan FTX. Bagaimana mungkin dua entitas yang seharusnya bekerja demi kepentingan kreditur justru saling berhadapan? Dan apa dampaknya bagi harapan nasabah yang sudah lama menanti pengembalian aset mereka? Artikel ini akan mengupas tuntas drama terbaru ini, implikasinya, dan apa yang bisa kita pelajari dari kompleksitas kebangkrutan kripto global.

H2: Latar Belakang Konflik: Mengapa FTX dan Bahama Berseteru?

Untuk memahami inti perseteruan ini, kita perlu melihat kembali runtuhnya FTX. Pada November 2022, bursa kripto yang didirikan oleh Sam Bankman-Fried (SBF) ini mendadak kolaps, meninggalkan lubang keuangan senilai miliaran dolar dan jutaan nasabah yang panik. SBF, yang kini menghadapi tuntutan hukum berat, dituduh melakukan penipuan dan penyalahgunaan dana nasabah. Segera setelah kebangkrutan, muncul dua pemain utama yang berupaya mengendalikan aset dan proses likuidasi: pertama, tim debitur FTX yang berbasis di AS di bawah John Ray III, yang ditunjuk oleh pengadilan kebangkrutan Delaware untuk mengelola FTX Trading Ltd. dan sekitar 100 afiliasinya. Kedua, Joint Provisional Liquidators (JPLs) yang ditunjuk oleh pengadilan di Bahama untuk mengelola FTX Digital Markets, entitas FTX yang terdaftar dan beroperasi di Bahama.

Sejak awal, kedua belah pihak telah bersitegang mengenai siapa yang memiliki yurisdiksi utama atas aset FTX dan bagaimana proses pemulihan harus dijalankan. Bahama mengklaim bahwa mereka adalah yang pertama bertindak cepat setelah keruntuhan, berhasil mengamankan aset digital senilai lebih dari $300 juta yang terkait dengan FTX Digital Markets. Mereka berargumen bahwa aset-aset ini berada di bawah yurisdiksi Bahama dan harus dikelola serta didistribusikan sesuai dengan hukum Bahama. Sementara itu, tim debitur AS di bawah John Ray III berpendapat bahwa semua aset FTX harus dikonsolidasikan di bawah proses kebangkrutan AS, yang mereka yakini menawarkan kerangka kerja yang lebih adil, transparan, dan efisien untuk semua kreditur global. Perselisihan ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam menangani kebangkrutan perusahaan multinasional di era aset digital yang bersifat tanpa batas.

H3: Permintaan Repatriasi Bahama dan Penolakan Tegas FTX

Puncak dari perseteruan ini terjadi ketika Bahama secara resmi meminta tim debitur FTX AS untuk merepatriasi aset digital senilai lebih dari $300 juta yang telah mereka amankan. Permintaan ini diajukan dengan dalih bahwa aset tersebut adalah milik FTX Digital Markets dan harus dikembalikan ke Bahama untuk didistribusikan kepada para kreditur sesuai dengan rencana mereka. Namun, tim debitur FTX di AS menolak permintaan ini mentah-mentah.

Dalam respons mereka, tim debitur FTX menganggap permintaan Bahama sebagai tindakan yang tidak pantas dan berpotensi merugikan kepentingan kreditur secara keseluruhan. Mereka berargumen bahwa proses pengembalian aset harus terpusat di bawah pengawasan pengadilan kebangkrutan AS. Penolakan ini didasarkan pada beberapa poin utama: pertama, mereka khawatir bahwa tindakan terpisah oleh Bahama dapat menciptakan diskriminasi antar kreditur, di mana beberapa pihak mungkin menerima pembayaran lebih cepat atau lebih banyak daripada yang lain, bergantung pada yurisdiksi. Kedua, tim debitur AS menyangsikan transparansi dan efisiensi proses distribusi yang diusulkan Bahama, mengingat kompleksitas dan skala kebangkrutan FTX secara global. Mereka menekankan pentingnya satu proses terpadu untuk memastikan perlakuan yang setara bagi semua yang terdampak. Ketiga, ada kekhawatiran bahwa aset yang diminta Bahama adalah bagian integral dari skema penipuan yang dilakukan SBF, yang secara tidak tepat mengalihkan aset ke Bahama sebelum kebangkrutan AS.

H2: Implikasi Penolakan: Apa Artinya Bagi Nasabah dan Pasar Kripto?

Penolakan repatriasi ini memiliki implikasi yang signifikan, tidak hanya bagi pihak-pihak yang terlibat langsung tetapi juga bagi ribuan nasabah FTX yang masih menaruh harapan pada proses pemulihan.

H3: Bagi Nasabah yang Terdampak

Bagi nasabah, penolakan ini menambah lapisan ketidakpastian dan potensi penundaan dalam pengembalian dana mereka. Jika perselisihan yurisdiksi ini berlanjut, proses likuidasi dan distribusi aset akan menjadi lebih berlarut-larut dan mahal karena harus melewati litigasi yang panjang di berbagai pengadilan. Nasabah mungkin merasa frustrasi karena melihat pihak-pihak yang seharusnya melindungi kepentingan mereka justru bertikai. Pertanyaan krusial adalah: apakah nasabah di Bahama akan diperlakukan berbeda dari nasabah di yurisdiksi lain? Tim debitur AS telah berjanji untuk memperlakukan semua kreditur secara adil, namun konflik ini menguji janji tersebut.

H3: Bagi Pasar Kripto dan Regulasi Global

Di tingkat yang lebih luas, konflik FTX vs. Bahama menjadi pengingat keras akan tantangan regulasi dalam ekosistem aset digital yang bersifat global dan terdesentralisasi. Ketika sebuah entitas kripto sebesar FTX kolaps, masalah yurisdiksi menjadi sangat rumit. Tidak ada kerangka kerja hukum internasional yang jelas untuk menangani kebangkrutan lintas batas aset digital, sehingga setiap negara mencoba menerapkan hukumnya sendiri. Kasus ini dapat menjadi preseden penting bagi cara penanganan kebangkrutan kripto di masa depan, mendorong kebutuhan akan kerja sama regulasi internasional yang lebih baik dan harmonisasi hukum. Selain itu, sentimen negatif berkelanjutan dari drama FTX ini dapat terus mempengaruhi kepercayaan investor dan adopsi kripto secara keseluruhan.

H3: Argumentasi Tim Debitur FTX (John Ray III)

John Ray III, yang terkenal karena pengalamannya mengelola kebangkrutan Enron, berulang kali menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk memaksimalkan nilai pemulihan bagi semua kreditur. Ia berpendapat bahwa satu proses kebangkrutan terpusat di AS adalah cara paling efektif untuk mencapai tujuan ini. Timnya menyoroti bahwa banyak aset FTX yang dipindahkan ke Bahama dilakukan secara tidak semestinya oleh Sam Bankman-Fried sebelum kebangkrutan, dan bahwa konsolidasi aset di bawah satu payung hukum akan meminimalkan biaya litigasi dan mempercepat proses. Mereka juga khawatir bahwa Bahama mungkin tidak memiliki kapasitas atau kerangka hukum yang memadai untuk menangani distribusi aset dalam skala global yang dibutuhkan oleh kebangkrutan FTX.

H3: Sudut Pandang Pemerintah dan Regulator Bahama

Di sisi lain, pemerintah dan regulator Bahama mempertahankan bahwa tindakan mereka adalah sah dan diperlukan. Mereka mengklaim memiliki yurisdiksi atas FTX Digital Markets karena entitas tersebut terdaftar dan beroperasi di Bahama, di bawah pengawasan regulator Bahama. Mereka bertindak cepat untuk mengamankan aset demi kepentingan nasabah mereka di Bahama dan menganggap proses mereka sesuai dengan hukum Bahama. Mereka mungkin melihat penolakan dari tim debitur AS sebagai upaya untuk meminggirkan peran Bahama dalam pemulihan, meskipun aset tersebut awalnya diamankan di yurisdiksi mereka.

H2: Masa Depan Sengketa dan Harapan Nasabah

Konflik antara tim debitur FTX dan Bahama diperkirakan akan berlanjut di pengadilan, menambah kompleksitas dan durasi proses kebangkrutan yang sudah sangat rumit ini. Upaya mediasi mungkin akan diperlukan, atau pengadilan AS harus membuat keputusan yang mengikat mengenai yurisdiksi. Bagaimanapun, penyelesaian sengketa ini akan memakan waktu.

Bagi nasabah, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah tetap terinformasi melalui sumber resmi, mengikuti perkembangan hukum, dan memastikan klaim mereka telah diajukan melalui prosedur yang benar. Meskipun harapan untuk pengembalian dana penuh mungkin tipis, persatuan dan kejelasan dalam proses pemulihan adalah satu-satunya jalan menuju keadilan.

Drama perebutan aset FTX ini bukan sekadar sengketa hukum biasa; ini adalah pengingat keras akan pentingnya regulasi yang jelas, tata kelola yang transparan, dan kerja sama internasional dalam ekosistem aset digital yang terus berkembang. Nasib miliaran dolar aset digital dan ribuan nasabah bergantung pada bagaimana sengketa ini akan diselesaikan. Ini adalah ujian nyata bagi sistem hukum global dalam menghadapi tantangan era digital.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.