Di Balik Respons Jokowi: Menguak Polemik Gelar Pahlawan Soeharto yang Tak Pernah Padam

Di Balik Respons Jokowi: Menguak Polemik Gelar Pahlawan Soeharto yang Tak Pernah Padam

Presiden Joko Widodo menanggapi usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto dengan menyatakan "pro dan kontra itu biasa," menandakan isu ini adalah polemik yang terus berulang.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Pendahuluan: Ketika Sejarah Kembali Bergemuruh

Sejarah adalah cermin yang tak pernah berhenti memantulkan bayangan masa lalu ke masa kini. Di Indonesia, salah satu bayangan yang paling sering memicu perdebatan sengit adalah sosok Jenderal Besar Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia yang memimpin selama 32 tahun era Orde Baru. Baru-baru ini, usulan untuk memberinya gelar Pahlawan Nasional kembali mencuat, memicu gelombang pro dan kontra yang tak asing lagi bagi telinga kita. Respons Presiden Joko Widodo terhadap polemik ini, yang menyatakan "pro dan kontra itu biasa," mungkin terdengar sederhana, namun mengandung kedalaman yang mencerminkan kompleksitas sejarah dan identitas bangsa kita. Pernyataan ini bukan sekadar tanggapan politis, melainkan sebuah pengingat bahwa warisan Soeharto masih menjadi titik perdebatan fundamental yang belum terselesaikan, mengundang kita untuk menelusuri kembali mengapa sosok ini terus membelah opini publik dan bagaimana kita seharusnya memandang sejarah yang penuh warna ini.

Respons Presiden Jokowi: Antara Netralitas dan Realitas Sejarah

Ketika ditanya mengenai usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden Joko Widodo memberikan jawaban yang singkat namun sarat makna: "Pro dan kontra itu biasa." Pernyataan ini, yang disampaikan di Istana Negara Jakarta, mengindikasikan bahwa pemerintah menyadari betul sensitivitas isu ini dan telah terbiasa dengan dinamika perdebatan yang menyertainya. Alih-alih langsung mendukung atau menolak, respons ini bisa diinterpretasikan sebagai sikap netral yang menyerahkan persoalan ini pada mekanisme dan proses yang ada, kemungkinan besar melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta kajian historis yang lebih mendalam.

Respons Jokowi ini sejatinya mengulang pola tanggapan dari pemimpin sebelumnya. Isu gelar pahlawan untuk Soeharto bukanlah barang baru; ia telah menjadi isu periodik yang muncul setiap beberapa tahun, terutama menjelang peringatan hari pahlawan atau momen-momen refleksi nasional lainnya. Setiap kali usulan ini muncul, selalu ada dua kutub pandangan yang saling berhadapan, masing-masing dengan argumentasi kuat yang berakar pada pengalaman dan interpretasi sejarah yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa sosok Soeharto begitu monumental dan kompleks sehingga sulit untuk dinilai secara tunggal.

Jejak Kontroversi: Mengapa Soeharto Selalu Membelah Opini?

Gagasan untuk menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional bukanlah hal baru. Sejak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 dan wafatnya Soeharto pada tahun 2008, usulan ini beberapa kali diajukan oleh berbagai pihak. Namun, setiap kali muncul, usulan ini selalu menghadapi tembok tebal yang sama: belum adanya konsensus nasional.

Kompleksitas sosok Soeharto tidak dapat disangkal. Di satu sisi, ia adalah pemimpin yang memegang kendali selama lebih dari tiga dekade, membawa stabilitas dan pembangunan yang signifikan bagi Indonesia. Di sisi lain, masa kepemimpinannya juga diwarnai oleh berbagai catatan kelam, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia hingga praktik korupsi yang masif. Dualitas inilah yang membuat penilaian terhadapnya selalu terpecah belah, menciptakan dua narasi besar yang saling bertolak belakang.

Sisi Pro: Fondasi Pembangunan dan Stabilitas Orde Baru

Para pendukung usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto seringkali menyoroti pencapaian-pencapaian gemilang selama masa Orde Baru. Mereka berargumen bahwa Soeharto adalah arsitek pembangunan ekonomi yang berhasil membawa Indonesia dari keterpurukan pasca-Gestapu menuju era pertumbuhan dan swasembada pangan. Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dianggap berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat, membangun infrastruktur, dan menciptakan stabilitas politik yang diperlukan untuk pembangunan.

Selain itu, para pendukung juga menyoroti peran Soeharto dalam menjaga keutuhan bangsa dari ancaman komunisme pasca-G30S/PKI, meskipun cara-cara penumpasannya masih menjadi kontroversi. Bagi mereka, Soeharto adalah pemimpin yang tegas dan visioner, yang meletakkan fondasi bagi Indonesia modern, serta seorang patriot yang berjasa besar dalam mempertahankan kedaulatan negara di tengah gejolak regional dan global. Mereka percaya bahwa jasa-jasanya jauh melampaui kekurangannya, dan sudah selayaknya diakui secara resmi oleh negara sebagai bagian dari sejarah bangsa.

Sisi Kontra: Pelanggaran HAM dan Bayang-Bayang KKN

Namun, suara kontra terhadap gelar pahlawan untuk Soeharto sama kuatnya. Kelompok ini menyoroti sisi gelap kepemimpinan Soeharto yang penuh dengan catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Kasus-kasus seperti pembantaian pasca-G30S/PKI (1965-1966), operasi militer di Timor Timur, Papua, dan Aceh, serta Tragedi Trisakti dan Semanggi, menjadi bukti kelam yang tak dapat dihapus dari memori kolektif bangsa. Banyak keluarga korban dan aktivis masih menuntut keadilan.

Selain pelanggaran HAM, rezim Orde Baru juga dikenal masifnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Keluarga dan kroni Soeharto dituduh terlibat dalam berbagai praktik korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah, yang dampaknya masih terasa hingga kini. Aspek lain yang menjadi sorotan adalah pembatasan kebebasan sipil dan politik. Selama Orde Baru, kebebasan pers dibungkam, partai politik dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah seringkali berujung pada penangkapan atau penghilangan paksa. Bagi kelompok kontra, pemberian gelar pahlawan akan menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan, HAM, dan demokrasi yang diperjuangkan pasca-reformasi. Mereka percaya bahwa mengabaikan catatan kelam ini adalah bentuk amnesia sejarah yang berbahaya bagi generasi mendatang.

Dilema Bangsa: Merangkul Sejarah Tanpa Mengkhianati Nilai

Perdebatan mengenai gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto memiliki implikasi yang mendalam bagi politik dan kohesi sosial Indonesia. Di tingkat politik, isu ini seringkali digunakan sebagai alat untuk menguji arah reformasi, atau bahkan sebagai manuver politik dari kelompok-kelompok tertentu. Bagi pemerintah, mengambil sikap tegas adalah dilema besar: mendukung bisa berarti mengabaikan tuntutan keadilan korban HAM dan aktivis demokrasi; menolak bisa berarti mengabaikan suara kelompok yang mengagungkan pembangunan Orde Baru.

Di tingkat sosial, polemik ini dapat memperdalam jurang pemisah antara generasi. Generasi tua mungkin memiliki memori akan stabilitas dan pembangunan, sementara generasi muda, yang tumbuh di era reformasi, lebih peka terhadap isu HAM dan demokrasi. Ini juga menjadi ujian bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi sejarahnya sendiri yang kompleks, di mana satu sosok bisa menjadi simbol kebanggaan sekaligus kepedihan. Bagaimana kita bisa merangkul seluruh spektrum sejarah tanpa mengkhianati nilai-nilai fundamental yang kita anut? Ini adalah pertanyaan inti yang harus dijawab.

Menuju Kriteria Pahlawan yang Utuh: Pelajaran dari Soeharto

Pernyataan Presiden Jokowi yang menganggap pro-kontra sebagai hal biasa sejatinya membuka ruang bagi kita untuk merenung lebih jauh. Bagaimana seharusnya sebuah bangsa menyikapi figur sejarah yang begitu kontroversial? Apakah kita harus memilih satu narasi dan mengubur yang lain, ataukah kita harus belajar untuk menerima kompleksitasnya?

Proses pemberian gelar Pahlawan Nasional seharusnya tidak hanya berdasarkan sentimen atau popularitas, melainkan melalui kajian historis yang komprehensif dan transparan. Kajian ini harus melibatkan berbagai pihak: sejarawan, akademisi, tokoh masyarakat, dan terutama perwakilan dari korban pelanggaran HAM. Penting untuk memastikan bahwa kriteria "jasa luar biasa" tidak mengaburkan "cacat hukum" atau tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang dijunjung tinggi oleh bangsa. Pelajaran dari polemik Soeharto ini adalah bahwa keadilan sejarah adalah fondasi bagi rekonsiliasi nasional.

Kesimpulan: Sejarah Adalah Guru Terbaik, Jika Kita Mau Belajar

Polemik gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto adalah refleksi dari perjuangan panjang Indonesia dalam merajut narasi sejarahnya sendiri. Ini adalah ujian bagi kita semua untuk melihat masa lalu dengan mata yang jernih, mengakui kebaikan tanpa mengabaikan kesalahan, dan mengambil pelajaran berharga untuk masa depan. Respons Jokowi mengingatkan kita bahwa perdebatan adalah bagian dari demokrasi, dan bahwa kita sebagai bangsa harus terus berdialog—secara hormat dan konstruktif—untuk menemukan titik temu dalam memahami sejarah kita yang rumit ini. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, di mana keadilan dan kebenaran sejarah menjadi pilar utama.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Soeharto layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, ataukah sejarahnya perlu dipandang dengan kacamata yang lebih kritis? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah ini!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.