Dana Desa di Ujung Tanduk? APDESI Murka Tolak Aturan Wajib Koperasi Pemda, Apa Dampaknya bagi Desa Anda?

Dana Desa di Ujung Tanduk? APDESI Murka Tolak Aturan Wajib Koperasi Pemda, Apa Dampaknya bagi Desa Anda?

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) menolak keras aturan baru yang mensyaratkan pencairan dana desa hanya jika pemerintah daerah (Pemda) memiliki koperasi desa.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Ketika miliaran rupiah dana desa digulirkan untuk memajukan pembangunan dari Sabang sampai Merauke, harapan besar masyarakat desa tertumpu pada transparansi dan efektivitas penggunaannya. Namun, sebuah kabar terbaru mengguncang lanskap kebijakan dana desa, memicu gelombang penolakan keras dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Aturan baru yang mensyaratkan pencairan dana desa hanya jika pemerintah daerah (Pemda) memiliki koperasi desa, kini menjadi bola panas yang berpotensi menghambat laju pembangunan dan bahkan memicu krisis kepercayaan. Benarkah otonomi desa sedang dipertaruhkan? Apa dampak sesungguhnya dari polemik ini bagi jutaan warga di pedesaan? Mari kita telaah lebih dalam.

Mengapa APDESI "Murka"? Menyoroti Penolakan Aturan Kontroversial


Penolakan APDESI terhadap aturan yang mewajibkan Pemda memiliki koperasi desa sebagai syarat pencairan dana desa bukanlah tanpa alasan. Ketua Umum APDESI, Surtawijaya, dengan tegas menyebut aturan ini sebagai upaya "pemalakan" terhadap dana desa. Istilah ini memang keras, namun menggambarkan kekhawatiran mendalam akan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan intervensi yang tidak semestinya.

Menurut APDESI, kewajiban ini secara fundamental bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menekankan otonomi dan kemandirian desa. UU Desa dirancang untuk memberdayakan desa agar dapat mengelola sumber dayanya sendiri, termasuk dana desa, demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan adanya koperasi Pemda sebagai "gerbang" baru, desa-desa merasa otonomi mereka tergerus, tergantikan oleh campur tangan birokrasi yang lebih tinggi.

APDESI juga menyoroti fakta bahwa banyak desa sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau koperasi desa sendiri yang berfungsi dengan baik. Kehadiran koperasi Pemda dianggap sebagai duplikasi yang tidak perlu dan bahkan berpotensi mematikan inisiatif ekonomi lokal yang sudah terbangun. Alih-alih memperkuat ekosistem ekonomi desa yang sudah ada, aturan ini justru menciptakan ketergantungan baru yang tidak produktif dan berisiko politisasi. Bayangkan, jika desa harus "menitipkan" sebagian urusannya kepada koperasi milik Pemda, efisiensi dan transparansi justru bisa terganggu.

Otonomi Desa vs. Sentralisasi: Pertarungan Ideologi Pembangunan?


Polemik ini bisa dibilang sebagai pertarungan ideologi pembangunan antara pendekatan yang lebih sentralistik dan semangat otonomi yang diusung oleh UU Desa. Sejak digulirkannya UU Desa dan dana desa, desa-desa telah mengalami transformasi signifikan dalam hal tata kelola pemerintahan dan pengembangan ekonomi lokal. Mereka diberi ruang lebih besar untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan sesuai kebutuhan dan potensi lokal. Ini adalah lompatan besar dari era sebelumnya yang cenderung sentralistik.

Namun, aturan baru ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada upaya untuk mengembalikan sebagian kontrol ke tingkat Pemda? Jika memang demikian, motif di baliknya perlu dipertanyakan. Apakah ini murni untuk efisiensi dan pengawasan, ataukah ada kepentingan lain yang berpotensi merugikan desa? APDESI menduga ada motif "memalak" yang mengarah pada pengalihan sebagian keuntungan atau kontrol atas transaksi ekonomi desa kepada koperasi milik Pemda. Jika benar, ini akan menjadi preseden buruk yang dapat merusak kepercayaan masyarakat desa terhadap pemerintah di atasnya.

Jerat Birokrasi atau Solusi Pembangunan? Membedah Fungsi Koperasi Pemda


Dari sudut pandang pemerintah, mungkin keberadaan koperasi Pemda ini dimaksudkan untuk memfasilitasi koordinasi, standardisasi, atau bahkan sebagai agregator bagi produk-produk desa. Namun, tanpa penjelasan yang transparan dan partisipasi aktif dari perwakilan desa dalam perumusannya, aturan ini justru menimbulkan kecurigaan.

Jika tujuan utamanya adalah pemberdayaan ekonomi, mengapa tidak memperkuat BUMDes dan koperasi desa yang sudah ada melalui pendampingan, pelatihan, dan akses permodalan yang lebih baik? Mengapa harus menciptakan entitas baru di tingkat Pemda yang justru berpotensi menjadi pesaing atau bahkan "pemalak" bagi unit usaha milik desa? APDESI khawatir bahwa koperasi Pemda ini akan menjadi lembaga yang membebani desa dengan berbagai pungutan atau mempersulit proses administrasi, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat desa.

Ketidakjelasan fungsi, struktur, dan akuntabilitas koperasi Pemda ini menjadi sorotan utama. Siapa yang akan mengelola? Bagaimana keuntungan akan dibagi? Apakah ada jaminan tidak akan ada konflik kepentingan dengan BUMDes atau koperasi desa yang sudah eksis? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung dan menjadi dasar kuat penolakan APDESI.

Apa Dampaknya bagi Pembangunan Desa dan Masyarakat?


Dampak paling nyata dari polemik ini adalah potensi terhambatnya pencairan dana desa. Jika desa-desa tetap menolak aturan ini dan pemerintah bersikukuh, maka dana yang seharusnya menggerakkan roda ekonomi dan pembangunan di desa bisa tertunda. Proyek-proyek infrastruktur, program pemberdayaan masyarakat, hingga bantuan sosial bisa terganggu, yang pada akhirnya merugikan masyarakat desa.

Selain itu, konflik ini juga dapat merusak hubungan antara pemerintah desa, Pemda, dan Kementerian Desa. Kepercayaan adalah kunci dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Jika desa merasa hak otonominya diinjak-injak dan kebijakan dibuat tanpa partisipasi, maka kolaborasi akan sulit terwujud.

Dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini berpotensi melemahkan semangat kemandirian dan inovasi di desa. Jika setiap kebijakan dari atas selalu menciptakan ketergantungan baru, maka desa tidak akan pernah benar-benar mandiri. Padahal, tujuan utama UU Desa adalah mewujudkan desa yang berdaulat, mandiri, dan sejahtera.

Menuju Titik Temu? Harapan dan Tantangan ke Depan


Penting bagi semua pihak, terutama Kementerian Desa dan Pemda, untuk segera membuka ruang dialog yang konstruktif dan transparan dengan APDESI serta perwakilan desa lainnya. Penolakan keras dari APDESI harus dilihat sebagai alarm untuk meninjau kembali kebijakan ini secara menyeluruh.

Solusi yang paling bijaksana adalah dengan kembali pada semangat UU Desa: memberdayakan, bukan membatasi. Jika ada kekhawatiran tentang pengelolaan dana desa, maka harus ada pendekatan yang lebih partisipatif dan edukatif, bukan dengan menciptakan gerbang birokrasi baru yang justru memicu kecurigaan. Penguatan pengawasan internal, peningkatan kapasitas SDM desa, dan fasilitasi akses informasi adalah langkah-langkah yang jauh lebih efektif dan sesuai dengan prinsip otonomi desa.

Pemerintah perlu mendengarkan aspirasi dari akar rumput. Masyarakat desa, yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari dana ini, memiliki hak untuk bersuara dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar mendukung kesejahteraan mereka, bukan sebaliknya.

Keseluruhan polemik ini mengingatkan kita bahwa proses pembangunan adalah dialog berkelanjutan antara pemerintah dan rakyat. Ketika salah satu pihak merasa tidak didengar atau dirugikan, pembangunan berkelanjutan akan sulit tercapai. Mari kita berharap ada titik temu yang adil, demi kemajuan desa-desa kita.

Bagaimana pendapat Anda tentang aturan ini? Apakah Anda setuju dengan APDESI, atau Anda melihat ada manfaat dari kebijakan tersebut? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan diskusikan berita penting ini bersama!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.