Bukan Tak Mau, Tapi Tak Bisa! Drama Sanksi PBNU untuk Elham Yahya Ungkap Batasan Kekuatan Organisasi di Tengah Sengitnya Pilpres 2024

Bukan Tak Mau, Tapi Tak Bisa! Drama Sanksi PBNU untuk Elham Yahya Ungkap Batasan Kekuatan Organisasi di Tengah Sengitnya Pilpres 2024

PBNU tidak dapat menjatuhkan sanksi terhadap Elham Yahya, tokoh yang menandatangani petisi dukungan Pilpres 2024, karena dua alasan utama: Elham Yahya bukan lagi pengurus aktif PBNU dan tindakannya dianggap sebagai ranah politik pribadi, bukan pelanggaran etika organisasi.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Di tengah hiruk pikuk persiapan Pilpres 2024 yang semakin memanas, sebuah drama mengejutkan datang dari salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Nama Elham Yahya, seorang tokoh yang dikenal memiliki ikatan kuat dengan NU, mendadak menjadi sorotan publik. Pasalnya, ia kedapatan menandatangani petisi dukungan untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebuah tindakan yang seketika memicu pertanyaan besar: Akankah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menjatuhkan sanksi disipliner?

Jawaban dari PBNU mungkin akan mengejutkan banyak pihak. Alih-alih sanksi tegas, PBNU justru menyatakan "tak bisa" menjatuhkan sanksi terhadap Elham Yahya. Mengapa demikian? Apa yang membuat organisasi sebesar dan seberpengaruh NU, yang dikenal memiliki mekanisme disipliner ketat, seolah 'tak berdaya' dalam kasus ini? Artikel ini akan menyelami lebih dalam dinamika ini, mengungkap batasan kekuasaan organisasi, dan menganalisis implikasinya bagi independensi NU di kancah politik nasional.

Mengapa PBNU "Tak Berdaya"? Membongkar Aturan Main Organisasi


Pernyataan dari Ketua PBNU Bidang Hukum dan HAM, Sultonul Huda, menjadi kunci utama untuk memahami situasi ini. Menurutnya, PBNU tidak dapat memberikan sanksi kepada Elham Yahya karena dua alasan fundamental: Pertama, Elham Yahya tidak lagi menjabat sebagai pengurus aktif di PBNU. Kedua, tindakan penandatanganan petisi tersebut dinilai sebagai murni ranah politik pribadi, bukan pelanggaran etika atau konstitusi organisasi.

Ini adalah poin krusial yang seringkali luput dari perhatian publik. Dalam sebuah organisasi sebesar NU, garis pemisah antara anggota aktif (pengurus) dan anggota biasa, serta antara ranah organisasi dan ranah pribadi, sangatlah jelas. Sebagai seorang individu, Elham Yahya memiliki hak politik untuk mendukung siapa pun pilihannya, selama itu dilakukan dalam kapasitas pribadi dan tidak mengatasnamakan organisasi. Jika ia masih seorang pengurus aktif, ceritanya mungkin akan berbeda. Pengurus aktif terikat oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta kode etik organisasi yang mewajibkan netralitas dalam politik praktis untuk menjaga marwah dan independensi NU.

Artinya, PBNU tidak "tak berdaya" karena kelemahan internal, melainkan karena patuh pada mekanisme dan batasan kewenangan yang mereka sendiri tetapkan. Mereka menghormati otonomi politik individu anggota yang tidak berada dalam struktur kepengurusan aktif. Ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana organisasi modern, bahkan organisasi keagamaan, menyeimbangkan antara kontrol internal dan kebebasan individu.

Drama Politik di Balik Petisi Elham Yahya


Kasus Elham Yahya bermula ketika ia menjadi salah satu dari 100 tokoh bangsa yang menandatangani petisi dukungan untuk pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam Pilpres 2024. Tindakan ini seketika memicu perdebatan sengit. Banyak pihak yang langsung mengaitkan Elham Yahya dengan PBNU, menimbulkan persepsi seolah-olah NU secara organisasi telah memberikan dukungan politik.

Padahal, PBNU, melalui Ketua Umumnya Gus Yahya Cholil Staquf, telah berulang kali menegaskan posisi netral NU dalam Pilpres 2024. Organisasi ini tidak akan terafiliasi atau mendukung pasangan calon mana pun. Keputusan ini diambil untuk menjaga persatuan umat dan menghindari perpecahan yang seringkali terjadi akibat polarisasi politik. Oleh karena itu, setiap tindakan politik individu, bahkan tokoh sekaliber Elham Yahya, yang tidak lagi menjabat pengurus aktif, secara otomatis tidak dapat diinterpretasikan sebagai sikap resmi NU. Kontroversi ini menyoroti betapa tipisnya garis antara tindakan individu dan persepsi publik terhadap organisasi yang kuat seperti NU.

Independensi NU: Antara Harapan dan Realita


Komitmen NU terhadap independensi politik bukanlah hal baru. Sejak awal reformasi, NU telah berupaya keras untuk kembali ke khittahnya sebagai organisasi kemasyarakatan yang berfokus pada dakwah, pendidikan, dan kesejahteraan umat, bukan sebagai kendaraan politik. Gus Dur, salah satu tokoh sentral NU, pernah mencontohkan bagaimana seorang tokoh NU bisa menjadi presiden tanpa membawa-bawa nama atau struktur NU ke dalam pusaran politik praktis.

Namun, di tengah realitas politik Indonesia yang masih sangat kental dengan identitas dan afiliasi kelompok, menjaga independensi ini bukanlah perkara mudah. Setiap gerakan atau pernyataan dari tokoh-tokoh yang memiliki sejarah dengan NU akan selalu diperhatikan dan seringkali diinterpretasikan secara politis. Kasus Elham Yahya adalah salah satu contoh nyata betapa beratnya beban ekspektasi publik dan tantangan menjaga citra netralitas tersebut.

Batasan Wewenang dan Otonomi Anggota


Pernyataan PBNU tentang Elham Yahya ini secara tidak langsung menegaskan batasan wewenang organisasi. PBNU memiliki wewenang penuh atas pengurus aktif dan penggunaan atribut organisasi. Namun, wewenang tersebut menjadi terbatas ketika menyangkut hak-hak politik individu yang sudah tidak aktif dalam struktur kepengurusan. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap otonomi personal dan hak asasi warga negara untuk berpolitik.

PBNU tidak bisa menghukum seseorang karena pandangan politiknya, apalagi jika orang tersebut tidak terikat secara struktural. Ini adalah cerminan dari prinsip hukum modern yang memisahkan antara tanggung jawab institusional dan kebebasan sipil individu. Langkah ini, meski mungkin mengecewakan sebagian pihak yang mengharapkan sanksi, sebenarnya adalah langkah yang matang dan konstitusional bagi sebuah organisasi besar.

Dampak dan Implikasi: Apa Artinya Ini Bagi Pilpres dan NU?


Keputusan PBNU untuk tidak menjatuhkan sanksi kepada Elham Yahya memiliki beberapa implikasi penting:

  1. Penegasan Netralitas Organisasi: Ini memperkuat pesan bahwa NU sebagai organisasi berdiri netral dan tidak bisa diintervensi oleh tindakan politik individu, bahkan yang berlabel "mantan" sekalipun. Ini penting untuk menjaga integritas NU di mata seluruh umat.

  2. Edukasi Publik: Kasus ini mengedukasi masyarakat tentang struktur dan aturan main di dalam organisasi besar seperti NU. Ada perbedaan jelas antara sikap pribadi seorang tokoh dengan sikap resmi organisasi.

  3. Tantangan Interpretasi: Meski demikian, tantangan interpretasi di tengah masyarakat akan tetap ada. PBNU harus terus-menerus mengkomunikasikan posisinya agar tidak terjadi misinformasi atau polarisasi yang memanfaatkan nama NU.

  4. Pelajaran bagi Tokoh Lain: Ini bisa menjadi pelajaran bagi tokoh-tokoh yang memiliki kedekatan dengan organisasi keagamaan besar untuk lebih berhati-hati dalam tindakan politik pribadi agar tidak menyeret nama organisasi.



Pada akhirnya, drama sanksi PBNU untuk Elham Yahya bukan tentang siapa yang salah atau benar secara moral, melainkan tentang bagaimana sebuah organisasi besar berpegang teguh pada aturan mainnya di tengah pusaran politik yang kompleks. Ini adalah ujian bagi independensi dan kematangan organisasi NU, sebuah ujian yang mereka hadapi dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip konstitusional mereka sendiri.

Bagaimana menurut Anda? Apakah langkah PBNU ini tepat untuk menjaga independensi organisasi? Atau justru seharusnya ada langkah yang lebih tegas? Mari diskusikan di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar semakin banyak yang tercerahkan tentang dinamika di balik berita ini!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.