Budi Arie Projo Ungkap Fenomena 'Adu Domba' Prabowo-Jokowi: Ancaman atau Peluang Rekonsiliasi?

Budi Arie Projo Ungkap Fenomena 'Adu Domba' Prabowo-Jokowi: Ancaman atau Peluang Rekonsiliasi?

Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto kerap 'diadu domba' oleh pihak-pihak tertentu.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Di tengah hiruk pikuk dan dinamika politik nasional yang seringkali panas dan penuh intrik, sebuah pernyataan mengejutkan dari Ketua Umum Relawan Projo, Budi Arie Setiadi, telah berhasil mencuri perhatian publik dan memicu diskusi hangat. Dalam Kongres IV Projo, Budi Arie dengan lantang menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto kerap 'diadu domba'. Sebuah tudingan serius yang bukan hanya menguak potensi retaknya persatuan di elite politik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang diuntungkan dari fenomena 'adu domba' ini, bagaimana dampaknya bagi stabilitas negara, dan apakah ini justru menjadi momentum untuk memperkuat rekonsiliasi?

Pernyataan ini muncul dari sebuah kelompok yang memiliki sejarah panjang sebagai garda terdepan pendukung setia Joko Widodo, dan kini telah secara terbuka menyatakan dukungan penuhnya kepada Prabowo Subianto. Hal ini memberikan bobot tersendendiri pada peringatan Budi Arie. Artikel ini akan mengupas tuntas pernyataan tersebut, menelisik motif di baliknya, serta menganalisis implikasinya terhadap lanskap politik Indonesia ke depan. Kita akan mencoba memahami mengapa narasi "adu domba" ini relevan, bagaimana Projo berperan dalam konteks ini, serta apa tantangan dan harapan bagi politik kebersamaan di era transisi kekuasaan.

Menguak Tirai "Adu Domba": Apa yang Diungkap Budi Arie?

Ketika Budi Arie Setiadi menggunakan frasa 'diadu domba', ia secara implisit menunjuk adanya upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu untuk menciptakan gesekan, friksi, atau bahkan konflik antara dua figur paling berpengaruh di panggung politik Indonesia saat ini: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Frasa ini memiliki konotasi negatif yang kuat, menggambarkan manipulasi dan pembenturan yang disengaja untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks politik, 'adu domba' bisa berarti menyebarkan informasi palsu, menciptakan narasi yang memecah belah, atau mengeksploitasi perbedaan pendapat untuk menggoyahkan fondasi persatuan yang telah dibangun.

Lalu, mengapa ada pihak yang ingin mengadu domba Jokowi dan Prabowo? Ada beberapa kemungkinan motif di balik upaya semacam ini. Pertama, keuntungan politik. Dengan menciptakan keretakan antara kedua pemimpin, kelompok tertentu mungkin berharap dapat melemahkan koalisi yang ada, mengganggu stabilitas pemerintahan, atau bahkan menciptakan ruang bagi kepentingan mereka sendiri. Kedua, ketidakpuasan. Mungkin ada pihak yang tidak puas dengan arah politik atau pembentukan koalisi saat ini, dan melihat perpecahan antara Jokowi dan Prabowo sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Ketiga, destabilisasi. Dalam skenario terburuk, 'adu domba' bisa menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk menciptakan ketidakpastian dan kekacauan politik.

Pernyataan Budi Arie ini penting karena mengingatkan kita pada kerentanan politik terhadap intrik dan kepentingan tersembunyi. Hubungan Jokowi dan Prabowo sendiri telah melewati perjalanan panjang, dari rival sengit dalam dua pemilihan presiden yang kompetitif, hingga akhirnya menjadi sekutu kuat dalam pemerintahan saat ini. Transformasi ini adalah cerminan kematangan politik Indonesia, dan upaya 'adu domba' mengancam kemajuan tersebut.

Projo: Dari Garda Terdepan Jokowi ke Pilar Prabowo

Peran Projo dalam dinamika politik Indonesia tidak bisa diremehkan. Sebagai salah satu kelompok relawan terbesar dan paling militan yang gigih mendukung Joko Widodo sejak Pilpres 2014 dan 2019, Projo telah menjadi simbol loyalitas yang tak tergoyahkan. Keberadaan mereka seringkali menjadi penyeimbang dan kekuatan penggerak di akar rumput. Oleh karena itu, ketika Projo, melalui Ketua Umumnya Budi Arie Setiadi, menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2024, hal itu menjadi sebuah peristiwa politik yang sangat signifikan.

Pergeseran dukungan ini bukan sekadar perubahan haluan, melainkan penanda konsolidasi politik yang lebih besar. Projo melihat keberlanjutan visi dan misi Jokowi dalam sosok Prabowo, dan ini menunjukkan adanya upaya untuk membangun jembatan antar kekuatan politik demi stabilitas jangka panjang. Dalam konteks inilah, pernyataan Budi Arie tentang 'adu domba' menjadi lebih bermakna. Ini bisa diinterpretasikan sebagai sebuah peringatan internal dari kelompok yang sangat loyal terhadap kedua pemimpin, sebuah seruan untuk kewaspadaan agar persatuan yang telah dibangun tidak rusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dukungan Projo kepada Prabowo sekaligus memperkuat koalisi yang akan menopang pemerintahan mendatang. Jika ada upaya 'adu domba' dari luar, maka konsolidasi semacam ini menjadi krusial untuk menangkalnya. Projo, dengan basis massa dan jaringan yang kuat, dapat berperan sebagai benteng yang menjaga narasi persatuan dan menepis upaya pembelahan, sekaligus menunjukkan bahwa transisi kepemimpinan ini adalah tentang keberlanjutan dan kolaborasi, bukan tentang perpecahan.

Menjaga Api Persatuan di Tengah Transisi Kekuasaan

Transisi kekuasaan dari satu presiden ke presiden berikutnya adalah momen krusial bagi sebuah negara demokrasi. Di Indonesia, transisi ini semakin unik dengan hubungan Jokowi dan Prabowo yang telah berkembang dari rivalitas menjadi kemitraan. Menjaga persatuan dan sinergi antara Presiden yang akan segera mengakhiri masa jabatan dengan Presiden Terpilih adalah kunci untuk memastikan transisi yang mulus, stabil, dan produktif.

Upaya 'adu domba' yang diungkap Budi Arie berpotensi mengganggu stabilitas ini. Jika narasi perpecahan berhasil disisipkan, dapat tercipta ketidakpastian politik yang berdampak pada kinerja pemerintahan, kepercayaan investor, dan bahkan keharmonisan sosial. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, terutama para pemimpin politik, untuk menunjukkan kematangan dan kedewasaan. Komunikasi langsung, transparansi, dan fokus pada kepentingan nasional harus menjadi prioritas utama.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menyikapi isu 'adu domba' ini. Dengan semakin derasnya arus informasi, terutama di media sosial, kemampuan untuk memfilter, memverifikasi, dan menolak narasi yang memecah belah menjadi sangat esensial. Mendorong dialog yang konstruktif dan menolak provokasi adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga api persatuan tetap menyala.

Tantangan dan Harapan: Membangun Politik Kebersamaan

Pernyataan Budi Arie tentang 'adu domba' Prabowo-Jokowi bukan hanya sebuah peringatan, tetapi juga sebuah kesempatan. Ini adalah momen untuk mengidentifikasi dan menangkal praktik-praktik politik yang destruktif, serta memperkuat fondasi politik kebersamaan. Tantangannya adalah bagaimana para aktor politik dapat menahan diri dari godaan politik praktis jangka pendek dan berfokus pada visi jangka panjang untuk Indonesia.

Harapannya adalah kita bisa melihat politik yang lebih dewasa, di mana perbedaan pandangan adalah keniscayaan demokrasi yang disikapi dengan dialog dan musyawarah, bukan dengan permusuhan dan intrik. Hubungan Jokowi dan Prabowo, yang telah menunjukkan kematangan dalam melampaui rivalitas, bisa menjadi contoh bagaimana rekonsiliasi politik dapat berjalan. Ini adalah peluang untuk membangun tradisi politik yang lebih kolaboratif, yang menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya.

Masa depan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk bersatu dan bekerja sama, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan global dan domestik. Upaya 'adu domba' adalah ancaman nyata bagi persatuan ini, namun dengan kesadaran dan komitmen dari semua pihak, ancaman tersebut dapat diubah menjadi peluang untuk memperkuat solidaritas dan membangun fondasi yang lebih kokoh bagi bangsa.

Kesimpulan

Pernyataan Budi Arie Setiadi dari Projo mengenai fenomena 'adu domba' antara Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto adalah pengingat penting akan dinamika politik yang kompleks. Ini menyoroti adanya pihak-pihak yang mungkin berusaha menciptakan perpecahan demi keuntungan sesaat. Namun, alih-alih menjadi ancaman yang melemahkan, peringatan ini seharusnya memicu kewaspadaan kolektif dan memperkuat komitmen terhadap persatuan.

Rekonsiliasi politik yang telah terjalin antara Jokowi dan Prabowo adalah aset berharga bagi stabilitas negara, terutama di tengah periode transisi kekuasaan. Projo, sebagai bagian integral dari perjalanan kedua pemimpin ini, memainkan peran krusial dalam menyuarakan pentingnya menjaga solidaritas. Mari kita bersama-sama menolak narasi perpecahan dan mendukung politik yang mengedepankan kebersamaan, dialog, dan fokus pada kemajuan bangsa. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan pesan penting tentang persatuan dan kewaspadaan terhadap intrik politik yang memecah belah.

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.