Bom Waktu Bernama RUU KUHAP? Masyarakat Sipil Ingatkan Potensi Kekacauan Jika Buru-Buru Disahkan

Bom Waktu Bernama RUU KUHAP? Masyarakat Sipil Ingatkan Potensi Kekacauan Jika Buru-Buru Disahkan

Koalisi masyarakat sipil mengingatkan akan potensi kekacauan dan ancaman terhadap hak asasi manusia serta demokrasi jika RUU KUHAP disahkan secara terburu-buru.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah berupaya tanpa henti untuk menyempurnakan tatanan hukumnya, menjadikannya pilar keadilan dan ketertiban. Namun, di balik semangat reformasi, terkadang tersimpan potensi risiko besar. Kini, sorotan tajam mengarah pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang kabarnya akan segera disahkan. Bukan tanpa alasan, sebuah koalisi kuat yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil telah mengeluarkan peringatan keras: pengesahan RUU ini secara terburu-buru bisa menjadi bom waktu yang memicu kekacauan, mengancam hak asasi manusia, dan bahkan merongrong fondasi demokrasi kita.

Apakah kita akan menyaksikan sejarah terulang, di mana sebuah regulasi penting lahir tanpa proses yang matang dan partisipasi publik yang memadai? Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa RUU KUHAP menjadi begitu krusial, apa saja kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat sipil, serta implikasi jangka panjangnya bagi masa depan hukum dan keadilan di Indonesia. Mari kita selami lebih dalam sebelum terlambat.

Mengapa RUU KUHAP Menjadi Sorotan Panas?


RUU KUHAP adalah salah satu regulasi paling fundamental dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Ia mengatur segalanya mulai dari proses penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga jalannya persidangan dan eksekusi putusan. Reformasi terhadap KUHAP yang berlaku saat ini (UU Nomor 8 Tahun 1981) memang sudah lama didambakan, mengingat usianya yang sudah lebih dari empat dekade dan sejumlah ketentuan yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman serta prinsip hak asasi manusia modern. Namun, niat baik untuk mereformasi ini terancam ternoda oleh proses yang terburu-buru.

Misi Reformasi vs. Prosedur yang Dipertanyakan


Pada dasarnya, semangat untuk memperbarui KUHAP adalah keniscayaan. Ada banyak aspek yang perlu diperbaiki, misalnya terkait penguatan hak-hak tersangka/terdakwa, modernisasi alat bukti, hingga penyesuaian dengan kemajuan teknologi. Namun, koalisi masyarakat sipil, yang meliputi lembaga-lembaga kredibel seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, KontraS, hingga Elsam, menyoroti prosedur pembahasan RUU ini yang dinilai sangat minim partisipasi publik. Mereka khawatir, kurangnya dialog yang inklusif akan menghasilkan produk hukum yang jauh dari harapan, bahkan berpotensi merugikan masyarakat.

Partisipasi publik bukan sekadar formalitas, melainkan inti dari proses legislasi yang demokratis. Tanpa masukan dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk korban, akademisi, praktisi hukum, dan kelompok rentan, sebuah undang-undang berisiko gagal mengakomodasi kepentingan dan aspirasi luas, bahkan bisa menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan sempit.

Suara Kritis dari Koalisi Masyarakat Sipil


Peringatan dari koalisi masyarakat sipil bukanlah isapan jempol belaka. Mereka telah mengidentifikasi beberapa poin krusial yang sangat mengkhawatirkan. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi kekacauan hukum yang bisa timbul akibat rumusan pasal-pasal yang multitafsir atau memberikan kewenangan berlebihan tanpa kontrol yang memadai.

Ketidakpastian hukum ini bukan hanya akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam implementasinya, tetapi juga berpotensi menciptakan ketidakadilan bagi warga negara. Ketika aturan main tidak jelas, celah untuk penyalahgunaan kekuasaan akan terbuka lebar. Lebih lanjut, Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga pengawas perilaku hakim juga telah menyatakan keprihatinan serupa, menunjukkan bahwa kekhawatiran ini bukan hanya datang dari satu pihak.

Isu-Isu Substansi Krusial yang Mengkhawatirkan


Di luar masalah prosedur, substansi RUU KUHAP itu sendiri menyimpan beberapa "ranjau" yang bisa meledak di kemudian hari. Beberapa di antaranya meliputi:
* Kriminalisasi Ekspresi dan Protes: Beberapa pasal dikhawatirkan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi tindakan demonstrasi, kritik terhadap pemerintah, atau ekspresi pendapat yang sah secara demokratis. Ini akan menjadi pukulan telak bagi kebebasan sipil.
* Penyalahgunaan Kewenangan Aparat: Adanya pasal-pasal yang memberikan kewenangan luas kepada penyidik dan penuntut umum, tanpa diimbangi mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat, dapat membuka pintu bagi praktik-praktik sewenang-wenang seperti penangkapan/penahanan yang tidak proporsional atau penetapan tersangka yang prematur.
* Ancaman Terhadap Hak Asasi Manusia: Substansi yang bermasalah bisa mengikis jaminan perlindungan hak-hak dasar warga negara, seperti hak atas keadilan, hak untuk tidak ditahan tanpa alasan jelas, dan hak atas proses hukum yang adil (due process of law).
* Ketidakjelasan Mekanisme Praperadilan: Meskipun praperadilan adalah benteng terakhir bagi warga negara yang merasa haknya dilanggar oleh aparat, beberapa usulan dalam RUU ini dikhawatirkan justru melemahkan atau mempersempit ruang lingkup praperadilan.

Ancaman Nyata Bagi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia


Jika RUU KUHAP disahkan dalam kondisi yang bermasalah, dampaknya tidak hanya terbatas pada sektor hukum, tetapi akan merembet ke seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pembatasan Ekspresi dan Ruang Gerak Publik


Salah satu ciri utama negara demokratis adalah ruang bagi warganya untuk bebas berpendapat, mengkritik, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Jika RUU KUHAP memuat pasal-pasal yang bisa digunakan untuk membungkam kritik atau membatasi demonstrasi, maka itu berarti kemunduran signifikan bagi demokrasi Indonesia. Masyarakat akan hidup dalam ketakutan untuk menyuarakan aspirasinya, dan kontrol publik terhadap kekuasaan akan melemah. Ini pada gilirannya akan memicu ketidakpuasan dan potensi gejolak sosial yang lebih besar.

Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum


Kewenangan yang terlalu luas tanpa pengawasan yang memadai adalah resep untuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks KUHAP, ini bisa berarti penggunaan proses hukum sebagai alat politik, diskriminasi dalam penegakan hukum, atau bahkan pemerasan. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan jika aparat penegak hukum dianggap bisa bertindak sesuka hati tanpa konsekuensi yang jelas.

Mempertanyakan Legitimasi Hukum di Tengah Ketidakpercayaan Publik


Undang-undang yang dihasilkan dari proses yang tidak transparan dan minim partisipasi publik akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat. Apalagi jika substansinya dinilai merugikan warga negara. Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga legislatif dan yudikatif akan semakin dalam, menciptakan jurang antara negara dan rakyatnya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis kedaulatan hukum dan stabilitas nasional.

Jalan Keluar: Mendorong Dialog dan Partisipasi Bermakna


Melihat urgensi dan potensi risiko yang ada, jelas bahwa pengesahan RUU KUHAP tidak boleh dilakukan secara terburu-buru.

Belajar dari Masa Lalu: Jangan Terulang Kembali


Indonesia memiliki sejarah panjang di mana undang-undang yang terburu-buru disahkan berakhir dengan gelombang protes dan revisi yang memakan waktu. Kasus revisi UU KPK atau RKUHP yang sempat ditunda adalah contoh nyata bahwa tekanan publik dan partisipasi bermakna adalah kunci untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas. Kesalahan serupa tidak boleh terulang dalam penyusunan RUU KUHAP.

Pentingnya Keterlibatan Semua Pihak


Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog yang lebih luas, jujur, dan substansial. Melibatkan masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, dan perwakilan dari berbagai kelompok kepentingan bukan hanya sekadar memenuhi prosedur, tetapi esensi untuk menciptakan hukum yang adil dan berterima. Setiap masukan harus didengar, dipertimbangkan, dan diakomodasi demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

Menuju KUHAP yang Adil dan Beradab


Tujuan akhir dari reformasi KUHAP adalah terciptanya sistem peradilan pidana yang modern, humanis, efisien, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta keadilan substantif. Ini berarti sebuah KUHAP yang tidak hanya efektif dalam menindak kejahatan, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan beradaptasi dengan prinsip-prinsip demokrasi universal. Proses pembentukannya pun harus mencerminkan nilai-nilai tersebut.

RUU KUHAP adalah cerminan wajah keadilan Indonesia di masa depan. Jika ia lahir dari proses yang tergesa-gesa dan minim partisipasi, dengan substansi yang mengkhawatirkan, maka bukan hanya fondasi hukum yang rapuh, tetapi juga demokrasi dan hak asasi manusia akan berada di ambang bahaya. Sudah saatnya kita semua—pemerintah, DPR, dan seluruh elemen masyarakat—bersatu untuk memastikan bahwa RUU KUHAP ini tidak menjadi bom waktu, melainkan mercusuar keadilan yang kokoh bagi generasi mendatang. Mari kawal bersama proses ini. Apa pendapat Anda mengenai potensi pengesahan RUU KUHAP secara terburu-buru ini? Bagikan kekhawatiran atau harapan Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.