Badai Tanggung Jawab: Belajar dari Mundurnya Menteri Filipina, Bagaimana dengan Pejabat Kita?

Badai Tanggung Jawab: Belajar dari Mundurnya Menteri Filipina, Bagaimana dengan Pejabat Kita?

Dalam rapat kerja dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Raja Juli Antoni, anggota DPR Hendrawan Supratikno menyoroti standar akuntabilitas pejabat dengan mengutip mundurnya menteri Filipina akibat respons bencana banjir.

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read

Badai Tanggung Jawab: Belajar dari Mundurnya Menteri Filipina, Bagaimana dengan Pejabat Kita?



Setiap tahun, Indonesia dihadapkan pada berbagai bencana alam, mulai dari banjir bandang, tanah longsor, hingga gempa bumi. Di tengah duka dan kerugian yang melanda masyarakat, sorotan publik kerap tertuju pada respons dan kesiapan pemerintah. Namun, seberapa jauh pejabat negara kita bersedia memikul tanggung jawab atas kegagalan atau kelalaian dalam penanganan bencana? Pertanyaan ini kembali mengemuka setelah seorang anggota DPR RI menyinggung mundurnya menteri Filipina akibat respons banjir, dalam sebuah rapat penting.

Kisah dari Filipina ini bukan sekadar anekdot, melainkan sebuah cermin yang menantang kita untuk merefleksikan standar akuntabilitas publik di Tanah Air. Apakah sudah saatnya kita menuntut lebih dari sekadar permintaan maaf atau janji perbaikan?

Kisah dari Manila: Sebuah Standar Akuntabilitas Baru?


Di tengah hiruk pikuk politik Asia Tenggara, sebuah peristiwa di Filipina sempat menyita perhatian. Seorang menteri senior di negara tersebut, dikabarkan memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bukan karena kasus korupsi atau skandal pribadi, melainkan karena kritik tajam dari publik terkait respons pemerintah terhadap bencana banjir dahsyat yang melanda. Langkah ini, meski terkesan ekstrem, mengirimkan gelombang kejutan dan memicu perdebatan luas tentang makna sejati dari tanggung jawab publik.

Mundurnya seorang pejabat tinggi akibat tekanan publik atas kinerja penanganan bencana adalah hal yang relatif jarang terjadi di banyak negara, termasuk di Asia Tenggara. Kejadian ini mencerminkan tingginya ekspektasi masyarakat Filipina terhadap pemimpin mereka, serta kesediaan seorang pejabat untuk mengakui adanya kekurangan dalam respons krisis yang dipimpinnya. Ini bukan hanya tentang kegagalan logistik atau koordinasi, tetapi juga tentang kegagalan untuk meredakan penderitaan rakyat, kegagalan dalam memberikan rasa aman, dan kegagalan dalam memulihkan harapan.

Tindakan menteri Filipina ini, baik disengaja atau tidak, telah menetapkan standar baru. Ini bukan hanya tentang meminta maaf, tetapi tentang membayar harga politik atas kegagalan – sebuah bentuk pertanggungjawaban etis yang melampaui sanksi hukum formal. Dalam konteks budaya politik di mana pejabat seringkali berlindung di balik birokrasi atau menyalahkan faktor eksternal, tindakan ini menjadi pengingat yang kuat: kepemimpinan sejati adalah tentang memikul beban, bahkan ketika itu berarti melepaskan kekuasaan.

Menggugat Tanggung Jawab: Sorotan DPR untuk Pejabat Indonesia


Momen refleksi ini dibawa ke ranah publik Indonesia oleh Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno. Dalam rapat kerja dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Raja Juli Antoni, Hendrawan Supratikno secara terang-terangan menyinggung kejadian di Filipina tersebut. Meskipun konteks rapat adalah mengenai isu pertanahan dan potensi konflik, Hendrawan menggunakan contoh menteri Filipina itu sebagai tamparan keras atas mentalitas sebagian pejabat di Indonesia.

Pertanyaan yang mengemuka dari pernyataan Hendrawan Supratikno adalah: mengapa standar akuntabilitas yang serupa sulit diterapkan di Indonesia? Bencana alam adalah keniscayaan, tetapi respons pemerintah terhadap bencana seringkali menjadi sumber frustrasi masyarakat. Kasus-kasus seperti banjir Jakarta yang berulang, lambatnya penanganan pengungsi, atau buruknya koordinasi antarlembaga, seringkali hanya berujung pada permintaan maaf atau janji perbaikan, tanpa ada konsekuensi politik yang signifikan bagi para pemegang kebijakan.

Sorotan Hendrawan ini bukan sekadar kritik kosong. Ini adalah seruan agar para pejabat Indonesia tidak hanya sibuk dengan rutinitas administratif, tetapi juga memiliki kepekaan moral dan etika publik yang tinggi. Ketika masyarakat menderita, seorang pemimpin diharapkan tidak hanya tampil di depan kamera, tetapi juga menunjukkan empati mendalam dan mengambil langkah-langkah konkret, termasuk berani mengambil risiko politik jika dianggap perlu demi kepentingan rakyat.

Lebih dari Sekadar Mundur: Esensi Etika dan Profesionalisme Publik


Akuntabilitas publik tidak selalu harus berujung pada pengunduran diri. Namun, kasus Filipina ini menjadi simbol dari esensi yang lebih dalam: etika dan profesionalisme publik. Seorang pejabat negara memegang amanah yang besar. Mereka diberi kekuasaan dan fasilitas untuk melayani rakyat. Oleh karena itu, ketika amanah tersebut tidak dapat dijalankan dengan baik, terutama dalam situasi krisis yang mengancam nyawa dan mata pencaharian, pertanggungjawaban harus ditegakkan.

Aspek-aspek Etika Publik yang Penting:



  • Transparansi: Keterbukaan dalam setiap langkah dan keputusan, terutama dalam pengelolaan sumber daya dan informasi selama krisis.

  • Responsivitas: Kecepatan dan ketepatan dalam menanggapi kebutuhan masyarakat yang terkena dampak.

  • Empati: Kemampuan untuk merasakan dan memahami penderitaan rakyat, yang tercermin dalam setiap kebijakan dan tindakan.

  • Integritas: Jujur dan tidak memihak, bebas dari konflik kepentingan dalam menjalankan tugas.

  • Komitmen: Dedikasi penuh untuk menyelesaikan masalah dan memulihkan kondisi pasca-bencana.


Ketika aspek-aspek ini gagal terwujud, kepercayaan publik akan terkikis. Dan begitu kepercayaan publik runtuh, legitimasi kekuasaan juga akan melemah, berpotensi menciptakan jurang antara pemerintah dan rakyat yang sulit dijembatani.

Tantangan Implementasi di Indonesia: Antara Etika dan Realitas Politik


Mengapa budaya akuntabilitas yang ekstrem seperti di Filipina sulit tertanam kuat di Indonesia? Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi:

1. Budaya Politik:


Dalam beberapa dekade terakhir, politik Indonesia cenderung pragmatis. Pengunduran diri karena alasan etis atau kegagalan kinerja adalah hal yang langka, kecuali di bawah tekanan politik atau hukum yang sangat besar. Seringkali, fokus lebih pada mempertahankan posisi dan kekuasaan daripada mengambil tanggung jawab penuh atas kegagalan.

2. Mekanisme Pengawasan:


Meskipun ada mekanisme pengawasan seperti DPR, Ombudsman, atau KPK, efektivitasnya dalam memaksa pejabat untuk bertanggung jawab secara moral atau politis masih bisa diperdebatkan. Seringkali, prosesnya panjang dan berliku, dan kadang kala terhambat oleh kepentingan politik.

3. Kekuatan Masyarakat Sipil:


Meskipun masyarakat sipil dan media di Indonesia cukup vokal, tekanan yang mereka berikan kadang belum cukup kuat untuk mendorong pejabat mengambil langkah drastis seperti pengunduran diri, terutama jika pejabat tersebut memiliki dukungan politik yang kuat.

Membangun Budaya Tanggung Jawab: Peran Kita Sebagai Warga


Peristiwa di Filipina adalah pengingat bahwa standar akuntabilitas publik adalah tolok ukur kematangan demokrasi dan tata kelola yang baik. Ini adalah panggilan bagi kita semua, sebagai warga negara, untuk tidak lelah menuntut standar yang lebih tinggi dari para pemimpin kita.

Pemerintah yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang mendengarkan, belajar dari kesalahan, dan berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan, bahkan jika itu berarti mengorbankan jabatan demi kepentingan yang lebih besar.

Apa yang bisa kita lakukan?



  • Terus Mendorong Transparansi: Dukung inisiatif yang menuntut keterbukaan data dan proses pengambilan keputusan.

  • Aktif dalam Pengawasan: Gunakan media sosial, petisi, dan forum publik untuk menyuarakan kritik dan tuntutan akuntabilitas.

  • Pilih Pemimpin dengan Integritas: Dalam setiap pemilihan, prioritaskan calon yang menunjukkan rekam jejak integritas, empati, dan komitmen terhadap pelayanan publik.



Kesimpulan


Kasus menteri Filipina yang mundur karena banjir adalah sebuah pelajaran berharga. Ini menunjukkan bahwa di mata publik, kinerja buruk dalam krisis dapat memiliki konsekuensi politik yang serius. Bagi Indonesia, tantangan ini adalah kesempatan untuk merefleksikan kembali etika dan akuntabilitas para pejabat kita. Sudah saatnya kita tidak hanya puas dengan janji dan permintaan maaf, tetapi menuntut tindakan nyata dan pertanggungjawaban yang jelas.

Mari kita dorong bersama terwujudnya pemerintahan yang tidak hanya responsif terhadap bencana, tetapi juga bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap amanah yang diemban. Apa pendapat Anda? Apakah pejabat di Indonesia sudah siap memikul tanggung jawab sebesar itu? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.