Ahli Gizi di SPPG: Mengurai Polemik, Mengapa Peran BGN Krusial untuk Generasi Emas Indonesia?

Ahli Gizi di SPPG: Mengurai Polemik, Mengapa Peran BGN Krusial untuk Generasi Emas Indonesia?

Kepala Badan Pangan Nasional (BGN), Arief Prasetyo Adi, mengklarifikasi polemik mengenai peran ahli gizi dalam program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) atau Sistem Pangan Gizi Perkembangan (SPPG).

Ari Pratama Ari Pratama
Oct 25, 2025 9 min Read
H1: Ahli Gizi di SPPG: Mengurai Polemik, Mengapa Peran BGN Krusial untuk Generasi Emas Indonesia?

Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kesehatan dan tumbuh kembang optimal adalah dambaan, yang sayangnya seringkali terhalang oleh masalah gizi, terutama stunting. Di tengah upaya gigih pemerintah memerangi stunting melalui berbagai program, salah satunya Sistem Pangan Gizi Perkembangan (SPPG), muncul sebuah polemik yang menarik perhatian publik. Peran ahli gizi dari Badan Pangan Nasional (BGN) dalam program ini dipertanyakan, memicu perdebatan sengit tentang efektivitas dan efisiensi anggaran.

Namun, benarkah ada tumpang tindih peran atau pemborosan? Atau justru ada kesalahpahaman yang perlu diluruskan demi kebaikan bersama? Artikel ini akan mengupas tuntas polemik tersebut, menjelaskan klarifikasi dari Kepala BGN, dan menegaskan mengapa kehadiran ahli gizi, bagaimanapun skema pendanaannya, adalah investasi krusial bagi masa depan generasi emas Indonesia. Mari kita selami lebih dalam fakta di balik layar program vital ini.

H2: Memahami Akar Polemik: Pertanyaan dari Senayan untuk BGN

Polemik ini bermula dari pernyataan anggota Komisi IV DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal. Dalam forum resmi, ia secara terang-terangan mempertanyakan keterlibatan ahli gizi dari BGN dalam implementasi SPPG. Pertanyaan Cucun tidaklah tanpa dasar. Ia menyoroti Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah, yang menjadi payung hukum SPPG. Perpres ini secara jelas menekankan pentingnya pengadaan pangan lokal dan koordinasi lintas sektor, melibatkan kementerian/lembaga seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Sosial (Kemensos).

Cucun merasa bahwa peran Kemenkes, dengan fokusnya pada status gizi masyarakat dan pembinaan ahli gizi, sudah cukup kuat. Sementara Kemensos bertugas mendistribusikan bantuan kepada masyarakat rentan. Oleh karena itu, ia mempertanyakan urgensi BGN untuk menempatkan dan bahkan menganggarkan ahli gizi dalam program SPPG, yang ia khawatirkan akan menimbulkan tumpang tindih peran dan pemborosan anggaran negara. Pertanyaan ini, meskipun kritis, sesungguhnya mencerminkan harapan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap program pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wajar jika publik ingin memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan seefektif mungkin untuk mencapai tujuan besar, yaitu menyejahterakan rakyat dan mengatasi masalah gizi.

H2: BGN Menjawab: Meluruskan Mispersepsi dan Menegaskan Mandat

Menanggapi keraguan yang disampaikan, Kepala BGN, Arief Prasetyo Adi, memberikan klarifikasi yang komprehensif. Respon ini sangat penting untuk meluruskan mispersepsi dan memastikan pemahaman publik yang utuh mengenai peran BGN dalam SPPG.

H3: Bukan Pelaksana, tapi Penjamin Kualitas

Arief Prasetyo Adi menegaskan bahwa BGN tidak bertindak sebagai pelaksana langsung dalam distribusi atau pemberian makanan tambahan di SPPG. Mandat BGN jauh lebih strategis, yaitu sebagai penjamin mutu dan kualitas gizi dari program tersebut. Mereka memastikan bahwa makanan yang diberikan benar-benar sesuai standar gizi, efektif dalam mencegah stunting, dan relevan dengan konteks lokal.

Bayangkan saja, SPPG melibatkan beragam jenis makanan dan diselenggarakan di berbagai daerah dengan karakteristik pangan lokal yang berbeda. Tanpa panduan ahli, risiko pemberian makanan yang tidak tepat gizi atau bahkan tidak aman bisa saja terjadi. Di sinilah peran BGN menjadi krusial: menyediakan panduan teknis, standar, dan pelatihan bagi pelaksana di lapangan, agar setiap porsi makanan benar-benar menjadi nutrisi yang membangun, bukan sekadar mengisi perut.

H3: Siapa yang Danai Ahli Gizi Ini? Klarifikasi Soal Anggaran

Salah satu poin penting yang menjadi sorotan adalah masalah pendanaan ahli gizi. Arief menjelaskan bahwa ahli gizi atau tenaga gizi yang ditempatkan di daerah untuk mendukung program SPPG TIDAK didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) BGN. Sebaliknya, pendanaan ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah setempat.

Artinya, inisiatif penempatan ahli gizi ini adalah bentuk dukungan dan rekomendasi dari BGN kepada pemerintah daerah, yang kemudian daerah sendiri yang mengalokasikan anggarannya. Ahli gizi ini berperan sebagai pendamping teknis bagi pemerintah daerah, membantu mereka menyusun menu berbasis pangan lokal, memastikan kecukupan gizi, serta mengawasi proses persiapan dan penyajian makanan. Klarifikasi ini menepis anggapan adanya tumpang tindih anggaran antara BGN dengan kementerian lain.

H3: Sinergi, Bukan Duplikasi: Hubungan dengan Kemenkes dan Kemensos

Arief juga menjelaskan bahwa peran BGN sangat sinergis dengan Kemenkes dan Kemensos, bukan duplikasi. Masing-masing lembaga memiliki fokus dan tanggung jawab yang berbeda namun saling melengkapi.

* Kementerian Kesehatan (Kemenkes): Bertanggung jawab pada aspek kesehatan dan status gizi individu, termasuk data stunting, penanganan medis, dan pembinaan tenaga kesehatan.
* Kementerian Sosial (Kemensos): Fokus pada identifikasi dan distribusi bantuan sosial kepada keluarga penerima manfaat, termasuk keluarga yang membutuhkan bantuan pangan.
* Badan Pangan Nasional (BGN): Fokus pada aspek ketahanan pangan, ketersediaan, stabilitas harga, serta kualitas dan keamanan pangan. Dalam konteks SPPG, BGN memastikan aspek gizi dari pangan yang diberikan agar sesuai standar dan efektif dalam menanggulangi stunting.

Kerja sama ini memastikan bahwa program SPPG berjalan secara holistik, mulai dari identifikasi sasaran, penyediaan pangan, hingga jaminan kualitas gizi yang optimal. Tanpa peran BGN dalam memastikan aspek gizi, program pangan bisa saja hanya sekadar "memberi makan" tanpa jaminan kualitas nutrisi yang dibutuhkan anak-anak untuk tumbuh optimal.

H2: Lebih dari Sekadar Pemberian Makan: Peran Vital Ahli Gizi di Lapangan

Mengapa ahli gizi begitu vital? Seringkali kita hanya melihat program pemberian makanan sebagai tindakan sederhana "memberi makan." Namun, di balik itu, ada ilmu gizi yang kompleks dan krusial. Seorang ahli gizi memiliki peran multifaset yang sangat penting dalam keberhasilan SPPG:

1. Formulasi Menu Berbasis Pangan Lokal: Ahli gizi tidak hanya membuat menu berdasarkan teori, tetapi juga berdasarkan ketersediaan pangan lokal. Ini penting untuk keberlanjutan program, efisiensi biaya, dan penerimaan masyarakat. Mereka memastikan menu seimbang, memenuhi kebutuhan makro dan mikronutrien anak-anak sesuai usia.
2. Edukasi dan Pelatihan: Mereka melatih para juru masak lokal, kader Posyandu, dan masyarakat tentang cara memilih bahan baku, mengolah makanan dengan benar agar nutrisinya terjaga, hingga praktik kebersihan dan keamanan pangan.
3. Pengawasan Kualitas dan Higienitas: Ahli gizi memastikan standar kebersihan di seluruh rantai persiapan makanan, dari bahan mentah hingga siap saji. Ini krusial untuk mencegah keracunan makanan atau penyakit bawaan pangan lainnya yang justru dapat memperburuk kondisi gizi anak.
4. Adaptasi Terhadap Kebutuhan Khusus: Di beberapa daerah, anak-anak mungkin memiliki kebutuhan gizi khusus atau alergi. Ahli gizi dapat membantu mengadaptasi menu agar aman dan bermanfaat bagi semua anak.
5. Pemantauan dan Evaluasi: Mereka membantu dalam pemantauan efektivitas program, mengumpulkan data tentang perubahan status gizi anak, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan program di masa mendatang.

Singkatnya, tanpa ahli gizi, program SPPG berisiko menjadi "sekadar memberi makan" tanpa kepastian akan dampaknya terhadap peningkatan gizi anak. Mereka adalah garda terdepan yang memastikan setiap gigitan makanan berkontribusi pada pembangunan "generasi emas" Indonesia yang cerdas, sehat, dan berdaya saing.

H2: Investasi Jangka Panjang untuk Masa Depan Bangsa

Stunting bukanlah masalah sepele. Dampaknya bukan hanya pada fisik anak yang kerdil, tetapi juga pada perkembangan kognitif, produktivitas di masa dewasa, dan pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi nasional. Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat stunting bisa mencapai 2-3% dari PDB suatu negara.

Dengan memahami bahwa ahli gizi yang ditempatkan di daerah didanai oleh APBD dan berperan sebagai penjamin kualitas program, kita dapat melihat ini sebagai investasi yang sangat cerdas. Ini bukan pemborosan, melainkan upaya strategis untuk mencegah kerugian yang jauh lebih besar di masa depan. Setiap rupiah yang diinvestasikan untuk memastikan kualitas gizi anak adalah investasi pada sumber daya manusia Indonesia, yang akan menjadi tulang punggung pembangunan bangsa.

H2: Mari Bersama Mendukung Program Pangan Bergizi Nasional

Polemik seperti ini memang penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Namun, setelah klarifikasi diberikan, adalah tugas kita bersama untuk mendukung program-program yang esensial ini. Membangun generasi yang sehat dan cerdas membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak: pemerintah dengan kebijakannya, ahli dengan ilmunya, dan masyarakat dengan partisipasinya.

Marilah kita tingkatkan pemahaman kita tentang program-program pemerintah, bukan hanya sekadar bertanya, tetapi juga mencari tahu kejelasan di balik setiap kebijakan. Dengan demikian, kita bisa menjadi masyarakat yang lebih cerdas dan mendukung penuh upaya-upaya pemerintah dalam menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Kesimpulan:
Polemik seputar peran ahli gizi BGN dalam SPPG kini telah terang benderang. Kepala BGN telah menjelaskan secara gamblang bahwa peran mereka adalah sebagai penjamin kualitas gizi, bukan pelaksana, dan pendanaan ahli gizi di daerah berasal dari APBD, bukan APBN BGN. Jauh dari kata tumpang tindih, kehadiran ahli gizi ini justru merupakan elemen krusial yang memastikan program SPPG efektif dalam memerangi stunting. Mereka adalah para profesional di garis depan yang mengoptimalkan setiap potensi pangan lokal menjadi nutrisi berkualitas bagi anak-anak Indonesia. Mari kita jadikan klarifikasi ini sebagai fondasi untuk mendukung program-program gizi nasional dengan pemahaman yang utuh dan optimisme. Masa depan generasi emas Indonesia ada di tangan kita semua, dimulai dari piring makan yang bergizi. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan pemahaman yang benar dan positif!

Comments

Integrate your provider (e.g., Disqus, Giscus) here.

Related articles

Tetap Terhubung dengan Kami!

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru, tips ahli, serta wawasan menarik langsung di kotak masuk email Anda.

Dengan berlangganan, Anda setuju dengan syarat dan ketentuan kami.